Rabu, 19 Maret 2014

Meneropong Generasi Muda Indonesia tahun 70-an : "Aku Percaya Bahwa Budaya itu Universal..."


Cerita soal Budaya
            Secara etimologis, kata budaya berasal dari bahasa latin yaitu, cultura, yng menunjuk pada pengolahan tanah, perawatan dan pengembangan tanaman atau ternak. Pengertian tersebut berubah menjadi gagasan tentang keunikan adat kebisaan suatu masyarakat.
            Dalam tulisan Takdir Alisjahbana yang berjudul “Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Jurusan Nilai-nilai”, dikatakan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan keperluan-keperluan baru yang berasal dari budi manusia dan yang menjadi dasar dari keseluruhan hidupnya.
            Disini Takdir Alisjahbana menarik kesimpulan tentang kebudayaan dari hal yang paling mendasar, yaitu perbandingan antara manusia dengan hewan. Dari pengertian kebudayaan menurut Takdir, melalui perbandingan antara manusia dan hewan, diketahui bahwa manusia memiliki keperluan-keperluan yang lebih banyak daripada hewan. Jika hewan hidup berdasarkan dorongan insting semata, manusia memiliki insting, perasaan, dengan pikiran, kemauan dan fantasi, yang dinamakan dengan budi.
            Dari tulisan Takdir Alisjahbana tersebut, inti dari penjelasan mengenai kebudayaan-nya mengacu pada manusia sebagai makhluk yang ber-budaya yang membedakannya dengan makhluk lain. Ini merupakan pandangan yang paling mendasar mengenai manusia dan budaya.
            Karena berkaitan dengan budi yang mendorong keinginan manusia, maka mau tidak mau budaya memiliki cakupan yang sangat luas. Keinginan manusia menentukan aktivitas-nya, sehingga budaya, yang berasal dari akal-budi, tetap hidup di dalam segala hasil dari aktivitas manusia. Baik itu politik, ekonomi, sosial, seni, agama, dan lain-lain.
            Menambahkan apa yang telah ditulis oleh Takdir Alisjahbana tentang kebudayaan, Fransiskus Simon dalam bukunya yang berjudul “Kebudayaan dan Waktu Senggang”, menjelaskan pengertian kebudayaan dengan lebih rinci.
            Dalam karyanya tersebut, istilah kebudayaan dalam pemhaman klasik kerap diduga berasal dari bahasa Sansekerta, yakni Buddhayah. Kata tersebut terdiri dari kata “budi” dan “daya”. Budi adalah makna akal, pikiran, pengertian, paham, pendapat, perasaan. Sedangkan daya mengandung kompleksitas makna dari yang tersurat dalam budi, juga sebagai himpunan kemampuan dan segala usaha yang dikerjakan dengan menggunakan hasil pendapat budi untuk memperbaiki sesuatu dengan tujuan mencapai kesempurnaan.
            Kebudayaan dipengaruhi oleh alam dan lingkungan, begitu juga sebaliknya, alam dan lingkungan-pun juga dipengaruhi oleh kebudayaan. Perbedaan kondisi alam dan lingkungan menentukan terjadinya perbedaan-perbedaan dalam kebudayaan, dan perbedaan kebudayaan menentukan perbedaan kondisi alam dan lingkungan.
            Pada musim dingin, orang-orang Indian menggunakan pakaian yang terbuat dari kulit hewan. Sementara itu, masyarakat Indonesia pada masa sebelum adanya teknologi media seperti televisi, internet, radio, dan sebagainya, tidak mengenal dan menggunakan pakaian yang terbuat dari kulit hewan karena di Indonesia tidak terdapat musim dingin. Alam mempengaruhi budaya karena manusia harus menyesuaikan diri dengan lingkungan alam sekitar agar dapat bertahan hidup.
            Di sisi lain, budaya manusia turut mempengaruhi alam dan lingkungan. Orang-orang Indian, untuk beradaptasi dengan lingkungannya, membutuhkan kulit hewan sebagai bahan untuk membuat pakaian musim dingin. Untuk mendapatkan kulit hewan, orang-orang Indian harus berburu hewan yang kulitnya dapat dijadikan pakaian musim dingin. Proses berburu hewan tersebut, akan merubah kondisi alam.
            Jika total jumlah orang Indian di Benua Amerika adalah 30 juta jiwa, dan minimal setiap orang Indian harus memiliki 2 pakaian musim dingin, maka akan ada 60 juta hewan yang akan dibunuh di benua Amerika. Aktivitas tersebut mengurangi populasi dari hewan yang menjadi buruan, berkurangnya populasi hewan menandai pengaruh budaya manusia Indian terhadap kondisi alam di benua Amerika.
            Kondisi alam juga menuntut manusia terus bergerak untuk memenuhi kebutuhan hidup. Seiring dengan perkembangan zaman, kebutuhan hidup manusia-pun mengalami perkembangan-perkembangan pula. Manusia tidak lagi hanya melakukan pemenuhan akan kebutuhan dasar hidup seperti makan, tempat tinggal, dan pakaian. Pada tahun 1497, seorang pelaut Venesia bernama John Cabbot tiba di Amerika Utara dengan mengemban tugas dari Raja Inggris. John Cabbot tidak lagi melakukan perjalanan hanya untuk menanggulangi rasa lapar, melainkan ada kepentingan negara serta kepentingan pribadi dari John Cabbot sendiri.
            Setibanya di Amerika Utara, John Cabbot beserta kolega bertemu dengan orang Indian yang sudah terlebih dahulu tinggal di Amerika. Pertemuan tersebut sekaligus mewakili pertemuan dua budaya yang berbeda, yaitu Inggris dan Indian. Selain berinteraksi dengan alam, kebudayaan juga melakukan interaksi dengan kebudayaan lain diluar dirinya. Dan manusia adalah media bagi perkembangan kebudayaan tersebut.
            Sebagai media perkembangan kebudayaan, disadari atau tidak, manusia mengemban tugas yang cukup berat dalam proses interaksinya. Mempertemukan dua kebudayaan yang berbeda tidak lagi terlihat praktis dengan melakukan pelayaran menggunakan kapal. Kemajuan teknologi adalah keberhasilan manusia dalam menyederhanakan “tugas” dengan ditemukannya alat-alat seperti telepon, radio, televisi, sebagai sarana penyebaran kebudayaan yang lebih praktis.

Amerika Serikat Era Perang Vietnam
             Setelah Perang Dunia II, tepatnya tahun 1945, pihak sekutu berhasil menyingkirkan Jepang dari Vietnam. Pada masa yang sama, Amerika serikat sedang melakukan upaya besar-besaran memerangi komunis. Setelah Jepang dikalahkan sekutu, Prancis menguasai Vietnam kembali dengan bantuan ekonomi dari Amerika Serikat untuk dapat bertempur di Vietnam.
             
Bantuan ekonomi oleh Amerika Serikat terhadap Prancis ini dilihat sebagai upaya untuk membuka pintu perang dengan komunisme. Ketika Prancis kalah dalam perang Vietnam pada tahun 1954, Amerika Serikat masih melanjutkan misinya melawan komunis di Vietnam. Tujuan utama Amerika Serikat di Vietnam semakin tampak setelah kepergian Prancis dari Vietnam.
            Di Amerika Serikat sendiri, terjadi protes dari masyarakat, terutama anak muda, terhadap perang di Vietnam setelah pertempuran yang penuh kengerian ditampilkan di televisi dan dianggap semakin jauh dari tujuan utama Amerika Serikat di Vietnam sendiri.
            Vietnam sendiri terbagi menjadi dua bagian wilayah, utara wilayah komunis yang dikuasai Ho Chi Minh, sedangkan selatan wilayah antikomunis dibawah kekuasaan Ngo Dinh Diem. Pada masa pemerintahan Nixon, militer Amerika Serikat semakin membabi-buta. Pasukan tentara Amerika Serikat menyerang seluruh wilayah Vietnam, bahkan juga menginvasi Kamboja pada 1970 untuk memutus jalur persediaan Vietnam Utara, dan menggunakan negara tersebut untuk perjalanan ke Vietnam Selatan.
            Hal ini menimbulkan protes dari masyarakat Amerika Serikat sendiri, yang ditandai dengan mahasiswa dari banyak universitas turun ke jalan. Dalam salah satu unjuk rasa di Kent State, Ohio, dikatakan bahwa pasukan garda nasional yang diturunkan untuk mengatasi keadaan mengalami panik dan akhirnya membunuh empat orang mahasiswa.
            Aksi protes terhadap perang Vietnam yang oleh anak muda Amerika Serikat melahirkan generasi dengan semangat anti perang dan cinta damai. Generasi ini kemudian membentuk sekelompok orang yang bernama ‘Hippies’. Kelompok Hippies ini adalah budaya anti-mainstream yang lahir di Amerika Serikat yang menolak perang Vietnam.
            Kemudian kelompok Hippies ini mengasingkan diri dan hidup sederhana, melakukan protes terhadap kemapanan lewat cara hidup sehari-hari seperti; musik, menghisap ganja, tarian, dan seks bebas.
            Hippies merupakan wujud dari kekecewaan anak-anak muda terhadap pemerintah yang tidak henti-hentinya mengirimkan pasukan untuk berperang di Vietnam. Kelompok ini melepaskan diri dari kehidupan bernegara dan memutuskan untuk hidup bebas tanpa terikat oleh hukum yang diatur negara atau yang disebut juga sebagai Budaya Tandingan. Kelompok ini pula-lah yang kemudian budaya-nya menjadi populer dan mempengaruhi bahkan ditiru oleh anak-anak muda di luar Amerika Serikat, termasuk Indonesia.

Budaya dan Propaganda
            Antara budaya dan manusia terdapat proses interaksi yang saling memberi pengaruh di antara keduanya. Seperti yang dikatakan Webber dalam Paradigma Definisi Sosial-nya, bahwa manusia merupakan pencipta kebudayaan. Barangkali pandangan Webber ini bersifat antroposentris dan menganggap posisi manusia berada di atas kebudayaan. Namun terdapat kesenjangan antara manusia dan kebudayaan dari apa yang dikatakan oleh Webber tersebut, sementara manusia dan kebudayaan sendiri adalah dua hal berbeda yang tidak saling mendeterminasi. Melainkan sama-sama memberi pengaruh yang setara antara keduanya.
            Pada satu sisi, manusia terlahir pada satu lingkungan tertentu yang mempengaruhi sikapnya, di sisi lain, sesuai dengan hakikatnya sebagai makhluk yang akan terus bergerak, manusia juga memiliki peluang untuk memberi pengaruh terhadap suatu budaya. Misalnya peristiwa merantau pada budaya Minang, ini akan menyebabkan terjadinya pertemuan antara dua kebudayaan yang berbeda. Sehingga muncul kemungkinan akan lahir budaya baru yang terjadi akibat pertemuan dua budaya tersebut.
            Beralih pada persoalan lain, yaitu propaganda. Propaganda merupakan bagian dari masyarakat yang berkaitan dengan kebudayaan atau bahkan terlahir dari kebudayaan itu sendiri. Sejarahnya, propaganda pertama kali muncul pada 1916 di Amerika saat Presiden Widrow Wilson melakukan Operasi Propaganda pertama yang dilakukan oleh pemerintahan modern pertama. Dia memenangkan pemilihan presiden untuk pertama kali dengan platform “Perdamaian Tanpa Penaklukan”. Itu terjadi ditengah berkecamuknya Perang Dunia I. Menurut Noam Chomsky, rakyat Amerika Serikat pada masa itu sangat anti-perang dan merasa tidak ada alasa untuk terlibat dalam  ‘Perang Eropa’ yang sedang berkecamuk, padahal waktu itu pemerintahan Wilson sebenarnya terlibat dan punya andil dalam perang itu.
            Pertanyaan Chomsky tersebut dapat dipertegas dengan apa yang ditulis di dalam buku berjudul “Garis Besar Sejarah Amerika”, dimana presiden Wilson mengeluarkan peringatan bahwa Amerika tidak akan meninggalkan hak tradisionalnya sebagai negara netral yang dapat mengadakan perdagangan laut lepas. Pernyataan Wilson ini merupakan tanggapan atas penentangan Inggris dan Jerman terhadap pelayaran Amerika di laut lepas.
            Kemudian pemerintahan Wilson membuat komisi propaganda resmi pemerintah, Creel Commission. Dalam waktu 6 bulan, komisi ini berhasil merubah masyarakat anti-perang menjadi massa yang histeris dan haus perang, yang bernafsu menghancurkan semua yang berbau Jerman.
            Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa propaganda merupakan sesuatu yang lahir dari budaya yang berkepentingan untuk mempertahankan dirinya karena tuntutan kondisi zaman. Serta bagaimana kebudayaan menunjukkan pengaruhnya kepada dunia lewat propaganda. Dengan kata lain, propaganda merupakan cara kebudayaan untuk menunjukkan eksistensi dengan alat-alatnya seperti platform dan media massa.

Generasi Muda Indonesia 1945-1960an
            Setelah Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, yang tidak terlepas dari pengaruh generasi muda di tandai dengan peristiwa Rengasdengklok, bangsa Indonesia kembali disibukkan dengan beberapa masalah yang mengancam kemerdekaan. Masih berkuasanya Belanda di Papua Barat, dan dilanjutkan dengan Agresi Militer I dan II membuat seluruh pejuang kemerdekaan belum berhenti dari “tugas-tugasnya”.
            Pada masa itu, perjuangan mempertahankan kemerdekaan sangat mendapatkan pengaruh yang sangat besar dari golongan muda. Para pemuda dituntut untuk bergerak memperjuangkan kebebasan ditengah kondisi lingkungan yang berada dibawah tekanan kolonial. Pihak kolonial melakukan penindasan terhadap masyarakat Indonesia yang disebabkan oleh aturan perang pada saat itu, dimana negara yang kalah dalam perang harus memberikan wilayah jajahannya kepada negara pemenang.
            Namun, di pihak Indonesia sendiri telah terjadi perkembangan-perkembangan pemikiran seiring dengan munculnya sekolah-sekolah berpendidikan barat pada masa kolonial Belanda. Sekolah-sekolah tersebut memberi kesadaran baru kepada anak-anak muda Indonesia yang mendapat kesempatan belajar tentang prinsip-prinsip kebebasan ala barat.
            Bersama dengan masuknya prinsip humanisme ke Indonesia yang di bawa dari negeri Belanda oleh Douwes Dekker, yang menyebarkan pengaruhnya lewat Organisasi Tiga Serangkai.
            Perjalanan waktu ditambah dengan kondisi seperti ini pada akhirnya merubah pola pikir pemuda Indonesia dan mengerti tentang pentingnya kebebasan individu dan bangsa. Sehingga keadaan yang dihadapi bangsa Belanda ketika ingin menguasai kembali Indonesia selepas dari Jepang sangatlah berbeda. Belanda menemukan perlawanan, baik dari segi militer, maupun secara politik.
            Paling tidak ada dua hal mengenai anak-anak muda yang dapat dilihat dari situasi Indonesia pada masa tersebut, pertama golongan pemuda yang bergerak di bidang militer, kedua golongan pemuda yang bergerak di bidang intelektual. Kedua hal ini merupakan kebudayaan yang muncul setelah terjadi pertemuan antara budaya barat dan budaya Indonesia yang bermacam-macam pula.
            Golongan pemuda militer dan golongan pemuda intelektual merupakan fenomena budaya di Indonesia pada masa pasca proklamasi. Kedua golongan inilah yang kemudian melakukan perlawanan terhadap pihak Belanda secara militer dan politik.
            Gelombang-gelombang perlawanan semacam ini terus berjalan hingga pada masa Agresi Militer I dan II. Setelah Agresi Militer, golongan pemuda yang bergerak di bidang militer kehabisan “tugas” dan masalah-masalah kenegaraan diambil alih oleh golongan pemuda intelektual dengan berlangsungnya perjanjian-perjanjian tentang kedaulatan, hutang, pembebasan Papua Barat, KAA, dan lain sebagainya.
            Perubahan ini mengaburkan cerita tentang kemiliteran di Indonesia yang sudah tidak lagi kontributif karena segala macam bentuk perjuangan berpindah-haluan ke bidang intelektual. Di masa ini, para akademisi muda Indonesia memegang peran penuh dalam hal urusan kenegaraan.
            Indonesia memasuki era politik dan melemahkan peran militer di struktur politik kekuasaan Indonesia. Dengan diangkatnya Soekarno sebagai presiden pertama Indonesia serta dengan prinsip anti-imperialisme-nya mengarahkan Indonesia pada komunisme.
            Kecenderungan seperti ini berlangsung terus hingga akhirnya pada tanggal 30 September 1965 PKI diberantas oleh pihak militer karena anggapan-anggapan negatif yang dilemparkan kepada Soekarno dan PKI. Soeharto berperan penting pada perubahan besar yang terjadi di Indonesia pada masa itu dengan lahirnya Orde Baru.
            Tuduhan pihak militer terhadap Orde Lama yang disertai dengan kudeta kekuasaan ini bisa jadi karena kegerahan militer atas tak adanya peran penting bagi mereka dalam aktivitas kenegaraan. Dengan intervensi dari negara-negara yang berperang melawan komunisme seperti Amerika Serikat, militer di bawah pimpinan Soeharto mendapatkan cara untuk merebut kendali kekuasaan di Indonesia.
            Beberapa tahun pasca runtuhnya Orde Lama, pucuk kekuasaan dipegang penuh oleh golongan tua yang militeristik. Kudeta 30 September 1965 menimbulkan sikap anti-komunis di kalangan pemerintahan, sehingga apapun simbol-simbol yang identik atau di identikkan sebagai PKI mendapat perlakuan yang sadis dari penguasa Orde Baru.
            Hal ini menyebabkan terpenjaranya prinsip-prinsip kebebasan sampai 30 tahun kemudian. Ideologi di Indonesia di dominasi secara militer oleh penguasa. Pemerintah menyebarkan pengaruhnya lewat propaganda-propaganda anti PKI. Tapi, sikap anti PKI ini seakan-akan hanya menjadi topeng dari penguasa Orde Baru, karena pada kenyataannya banyak terjadi pelanggaran HAM dan penyingkiran pengikut PKI menjadi kabur dengan banyaknya orang-orang yang belum tentu PKI turut serta terseret dalam proses penyingkiran tersebut.
            Bahkan pemerintahan Orde Baru terkesan bukan berperang melawan komunis, melainkan hanya menyingkirkan pihak-pihak intelektual yang memiliki kemungkinan mengaburkan kembali peran militer dalam politik kekuasaan di Indonesia. Sehingga kebebasan di Indonesia pada masa itu terancam bahkan terpenjara karena pemerintah Orde Baru menyusupkan teropong pengintainya di setiap institusi yang ada.
            Tokoh-tokoh angkatan tua pro-komunis telah disingkirkan oleh Soeharto dan kolega, yang tersisa adalah angkatan muda yang terdiri dari mahasiswa yang memiliki potensi untuk melakukan perlawanan menanggapi terpenjaranya kebebasan pada masa Orde Baru. Meskipun belum tampak perlawanan oleh angkatan muda ini, namun sebagai ahli strategi militer dan di terapkan dalam mempertahankan kekuasaan, Soeharto sangat mungkin sudah membaca situasi yang akan mengancam posisinya. Dan sangat mungkin pula pada saat itu Soeharto sudah mulai melakukan kontrol terhadap angkatan muda. Dan itu terbukti pada tahun-tahun berikut pemerintahannya.

Masuknya Budaya Amerika Serikat
            Pada saat situasi negara dikendalikan oleh kediktatoran Orde Baru yang membuka jalan masuknya sistem kapitalisme barat, dan di mulai dengan ditandatanganinya undang-undang tentang investasi asing, anak-anak muda di Indonesia terkena imbas dari dikenalkannya budaya-budaya Amerika lewat media.
            Di satu sisi, pihak penguasa disibukkan dengan urusan ekonomi dan politik, di sisi lain, anak-anak muda Indonesia di kota-kota besar pada umumnya saat itu disibukkan dengan musik-musik beserta fashion ala Amerika Serikat yang berkembang pesat.
            Musik-musik barat masuk ke Indonesia dengan menampilkan ikon-ikon-nya ke hadapan anak-anak muda Indonesia di tahun-tahun 70-an. Karena pada tahun tersebut, di Amerika Serikat sendiri dunia musik tengah menjadi polemik. Kemunculan Budaya Tandingan yang juga disebut dengan Hippies, serta musisi-musisi seperti John Lennon, Jimi Hendrix, dan Janis Joplin, membuat gerah pemerintah Amerika Serikat yang pada saat itu dipimpin oleh Nixon dan sedang bergulat dalam perang Vietnam.
            Musisi-musisi dan Hippies tersebut melakukan perlawanan terhadap kebijakan pemerintahan yang masih mengirim tentara untuk berperang di Vietnam. Perlawanan yang dilakukan diwujudkan lewat konser-konser musik. Konser musik yang paling berpengaruh di Amerika Serikat bahkan sampai saat ini adalah Woodstock tahun 1969. Sebuah konser yang dilakukan selama 3 hari di New York dan membawa semangat perdamaian dan kebebasan. Dan konser yang dihadiri oleh John Lennon sebagai performer di salah satu kota di Amerika Serikat sebagai bentuk gugatan atas ditahannya John St. Clair karena tertangkap basah memberikan marijuana kepada seorang polisi wanita yang menyamar juga merupakan bentuk perlawanan tersebut.
            Di Amerika Serikat, fenomena tersebut merupakan manifestasi dari generasi muda dalam menanggapi kondisi negara yang dianggap tidak menghargai hak asasi manusia. Dan memunculkan ikon-ikon yang banyak digemari dan bahkan menjadi panutan bagi generasi muda Amerika Serikat.
            Pada tahun 1970, tahun ke-5 dari pemerintahan Orde Baru, selain menanam modal di area perekonomian Indonesia, Amerika Serikat juga sudah mengirim trend yang ada disana ke Indonesia lewat media-media. Sehingga aksi-aksi protes yang dilakukan oleh musisi-musisi di Amerika Serikat lewat musik dan gaya hidup, disadari atau tidak, telah menjadi komoditas dagang di Indonesia.
            Gejala besar pada masa itu adalah generasi muda Indonesia, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Bali, dan Surabaya, dibanjiri dengan kebudayaan barat lewat musik dan gaya hidup lainnya yang menjelma menjadi kompensasi dari permasalahan politik dan kebebasan yang mereka alami.
            Hal ini menimbulkan dua hal yang merugikan pihak Indonesia sendiri. Pertama, masuknya investasi asing secara besar-besaran merusak alam di Indonesia, seperti yang terjadi di Papua oleh PT. Freeport. Kedua, ikon-ikon yang dijual oleh Amerika Serikat ke Indonesia lewat aksi-aksi perlawanan musisi dan Hippies semakin memacu semangat generasi muda Indonesia untuk melakukan perlawanan serupa kepada pemerintah Orde Baru. Sementara, Amerika Serikat tidak rugi sepeser-pun.
            Dalam sebuah penelitian, ditemukan fakta bahwa musik barat menjadi musik yang paling diminati oleh generasi muda pada era Orde Baru. Seperti yang dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Data penjualan musik rekaman di Indonesia (per unit) tahun 1996-1999:
Jenis
1996
1997
1998
1999 (Okt)
Kaset Indonesia
65,396,589
49,794,676
27,635,739
30,100,077
Kaset Luar Negeri (Barat)
11,374,089
14,005,340
9,637,200
11,395,590
CD Indonesia
265,475
778,370
315,910
532,900
CD Luar Negeri
474,980
2,053,840
2,732,410
2,086,290
VCD Karaoke
19,500
701,870
1,335,390
4,196,590
LD Karaoke
21,375
21,975
2,205
1,05 0
Total
77,552,008
67,356,071
41,658,674
48,312,497

            Dari data tersebut, dalam rentang waktu hampir tiga dekade semenjak awal pemerintahan Orde Baru, kebudayaan Amerika Serikat (musik) terbukti sangat mempengaruhi generasi muda di Indonesia, khususnya di kota-kota besar. Penjualan musik lokal mengalami penurunan hampir separuh dalam kurun waktu 3 tahun. Sementara itu penjualan musik luar negeri selalu mengalami pertambahan setiap tahunnya. Ini menandai pengaruh budaya Amerika Serikat yang berkembang pesat di kalangan generasi muda Indonesia.

Proses Masuknya Budaya Amerika Serikat di Indonesia
            Melalui musik, Amerika Serikat mempengaruhi generasi muda Indonesia. Musik menjadi sarana untuk mengirim ikon-ikon yang dipuja-puja oleh generasi muda Indonesia (Xenosentrisme). Dalam penelitian yang sama, apa yang disebut dengan Xenosentrime di Indonesia tidak dapat dibantah lagi ketika muncul pernyataan mengenai alasan anak-anak muda menyukai musik luar negeri (Amerika Serikat). Pernyataan “ya, suka aja,” merupakan alasan dominan yang didapatkan dari penelitian.
            Musik-musik dari Amerika Serikat menggunakan sarana yang sangat tepat untuk mempengaruhi generasi muda Indonesia. Musik, media, kondisi politik, dan kemudaan dipertemukan sekaligus dijadikan faktor pendukung perdagangan sehingga menjadi menguntungkan. Pada kondisi seperti itulah muncul apa yang disebut dengan Xenosentrisme, pemujaan kepada budaya asing melalui ikon-ikon yang dimunculkan.
            Fenomena ini juga membuktikan bahwa media sangat menentukan trend, dan dalam kasus ini, menenggelamkan wajah musik-musik lokal seperti kroncong, dangdut, gamelanan, yang dianggap tidak bergengsi. Kemudian menjadi sangat jelas bahwa generasi muda di Indonesia pada tahun 70-an, pada umumnya di kota-kota besar, dari sudut pandang penulisan ini, adalah dimanfaatkan oleh Amerika Serikat karena memberikan keuntungan ekonomi.

Kemunculan Xenosentrisme di Indonesia
            Penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang pro-Amerika Serikat oleh generasi muda pada masa Orde Baru menjadi bias makna karena keberhasilan Amerika Serikat menyusupkan kebudayaannya. Hal ini tidak mudah untuk disadari, seiring dengan gejolak negara pada masa itu yang sangat mempengaruhi.
            Namun, hal yang patut untuk dipersoalkan adalah; apakah Xenosentrisme bisa dianggap sebagai fenomena negatif karena terpengaruhnya budaya Indonesia oleh kebudayaan Amerika Serikat?
            Yang perlu diketahui sebelum menjawab pertanyaan diatas adalah sifat dari kebudayaan; dinamis, dan sebagai tambahan, kebudayaan terlepas dari penilaian negatif atau positif, benar dan salah, baik dan buruk. Kebudayaan mengarah kepada universalitas seiring dengan perkembangan zaman, dimana kemajuan teknologi semakin memperpendek jarak antara satu budaya dengan budaya lainnya.  
Sampainya kebudayaan Amerika Serikat ke Indonesia semakin memperjelas sifatnya. Bergeraknya waktu dan perkembangan zaman sangat memungkinkan terjadinya universalitas kebudayaan. Dengan kata lain, hanya akan ada beberapa kebudayaan besar yang berkembang di bumi, tergantung pada wawasan dan keinginan dasar dari individu.
            Ketika kebudayaan dinilai sebagai hal yang universal, maka tidak ada lagi yang disebut kebudayaan lokal. Karena kebudayaan bergerak menembus batas-batas geografis wilayah. Setiap individu di negara manapun, dapat menikmati dan menyukai kebudayaan manapun seiring dengan perkembangan wawasan.
            Sehingga tidak terdapat lagi perasaan untuk memelihara kebudayaan yang dianggap sebagai milik tanah air-nya sendiri. Dengan sifatnya yang universal, tiap kebudayaan di posisikan sama, tanpa pengistimewaan tertentu. Manusia menjadi pusat dari kecenderungan budaya yang dipilih.
            Prinsip bahwa manusia memiliki kebebasan dan mencapai eksistensinya berdasarkan ide/ratio, dengan kata lain segala sesuatu berasal dari manusia, berlaku dalam proses perkembangan budaya. Sebagai tambahan, individualitas dan kebudayaan adalah dua hal yang berbeda namun saling terkait dan mendasari segala perubahan budaya.
            Generasi Muda di Indonesia pada tahun 70-an, disadari atau tidak, mengalami proses kebudayaan yang universal. Mempertahankan kebudayaan lokal dengan cara memberi sekat antara satu kebudayaan dengan yang lain dengan menggunakan prinsip wilayah geografis akan menjadi tidak efektif karena tidak sesuai bahkan bertentangan dengan perkembangan zaman.
            Meskipun dalam beberapa hal fenomena generasi muda Indonesia tahun 70-an mendapat kecaman dari pihak penguasa Orde Baru, pergerakan budaya tidak akan mengalami stagnasi. Pengalienasian orang-orang berambut gondrong (yang dipengaruhi oleh budaya Hippies), pada umumnya anak muda, dari masyarakat dengan menutup kesempatan dalam urusan administrasi kenegaraan buktinya tidak menghapus perkembangan “budaya Amerika” di Indonesia. Bahkan sampai saat ini.
            Jika Xenosentrisme memiliki konotasi negatif dari fenomena yang terjadi pada generasi muda Indonesia yang pada umumnya menyukai musik barat, hal tersebut dapat dibantah oleh hakikat kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan sebagai sesuatu yang universal mengubur pandangan negatif tentang generasi muda Indonesia yang di asumsikan melakukan pemujaan terhadap kebudayaan asing. Dan menjelaskan fakta bahwa generasi muda Indonesia tahun 70-an lebih menyukai musik Amerika Serikat dibanding musik lokal hanya masalah pilihan semata.
            Dengan universalitasnya, dan menanggalkan konotasi negatif atas kebudayaan, manakah yang bisa disebut sebagai “kebudayaan asing”?

Sekilas akhiran
            Pergerakan kebudayaan harus disadari sebagai sesuatu yang bebas dan tak dapat dibendung dengan peraturan-peraturan universal apalagi batas wilayah geografis. Seperti yang terjadi pada pembahasan diatas, pelarangan-pelarangan dari rezim Orde Baru terhadap budaya Amerika Serikat yang mendukung perlawanan dari generasi muda tidak menghalangi gerak dari kebudayaan.
            Konotasi negatif pada istilah ‘budaya asing’ sebagai sesuatu yang harus disikapi secara protektif bukanlah jalan keluar untuk menjaga kemurnian ‘budaya lokal’. Proteksi semacam ini bahkan bertentangan dengan prinsip kebudayaan yang dinamis.
            Sebagai hasil karya pemikiran manusia, maka filterisasi atas masuknya budaya baru sepenuhnya adalah kuasa individu, manusia. Kebudayaan terlepas dari aturan-aturan universal yang seolah-olah memberikan identitas permanen pada suatu kebudayaan tertentu. Selain tidak sesuai dengan prinsip kebudayaan, hal ini juga membatasi kebebasan ide manusia sebagai penghasil kebudayaan itu sendiri.