Di sebuah desa kecil, sepasang binatang aneh hidup
dengan ketidakmengertian mereka akan hidup. Pagi hari, ketika itu matahari
masih seperempat dari posisi terbit, sambil bercinta, mereka kehilangan
beberapa hal penting yang cukup berharga, yaitu cincin emas yang mereka curi
dari pasar yang sebenarnya juga dihidupi oleh para pencoleng yang sedang
bersembunyi.
Binatang aneh tersebut menamai diri mereka manusia,
paling tidak begitulah yang aku dengan dari cerita di warung kopi “Surgawi” di
ujung gang rumahku. Suatu hari
pernah aku bertanya pada si pemilik warung, namanya Rustam:
“Pak,
kenapa mereka disebut manusia?” tanyaku.
“Kau
tahu kenapa? Karena mereka selalu curiga dan takut seakan-akan telah melakukan
kesalahan di tengah masyarakat kita yang kuno ini”. Kemudian Pak Rustam
mengerling ke arah pintu warungnya yang terbuka lebar, meletakkan jari telunjuk
di bibirnya yang legam memberi pertanda bahwa rahasia harus dibicarakan pada
waktu yang tepat. Kedua binatang yang merasa manusia itu sedang berjalan di
jalanan depan warung “Surgawi” milik Pak Rustam. Sekitar beberapa langkah,
mereka berputar arah kemudian masuk ke dalam warung lalu memesan dua gelas kopi
hitam.
“Kopi
hitam dua Pak Rustam, tanpa gula jangan lupa!” seseorang (aku menyebutnya
seseorang sesuai dengan anjuran Pak Rustam, demi menjaga etika, begitu katanya)
dari mereka memesan.
“Siap! Jangan lupa nanti mampir lagi, malam ini warung
saya ada hajatan. Syukuran kecil-kecilan”. Undangan Pak Rustam dibalas dengan
acungan jari jempol dari seseorang yang memesan tadi.
Aku sendiri, menjadi kehilangan topik sejak kedua
manusia itu masuk ke warung Pak Rustam. Aku menyesal telah membiasakan diriku
menjadi seorang penggosip. Pak Rustam tahu itu, karena dia adalah orang yang
paling bijak di kampung ini, dia akhirnya bercerita hal-hal sepele untuk
berbasa-basi denganku.
“Oi!
Jangan melamun!” Aku terkejut, “seseorang” yang memesan kopi hitam tadi
mengagetkanku. Aku hanya tersenyum. Ia memperkenalkan dirinya,
“Isa.”
Sejak perkenalan itulah, aku menyadari bahwa dia memang lebih pantas menjadi
seorang manusia.
Sekian bulan telah berlalu,
aku sudah dua kali mengunjungi rumahnya. Hidupnya tak lebih dari sederhana:
memiliki seorang kekasih yang menurutnya begitu sempurna. Terkadang, aku
menganggap apa yang dipikirkannya tentang kekasihnya memang benar belaka. Tapi
ada satu hal, sebuah rahasia, yang tidak kupahami dengan baik dari
kehidupannya. Sampai akhirnya dia beranjak dari desa ini, rahasia tersebut tak
pernah bisa kuketahui.
Beberapa pekan sebelum dia
menghilang, dia mengundangku ke rumahnya. Pada malam aku datang bertamu, dia
bercerita banyak sekali tentang kisah hidupnya. Kata demi kata yang terurai
dari mulutnya membuatku hanya bisa diam dan menjadi pendengar yang akan selalu
membenarkan apa yang dikatakan oleh lawan bicaraku ini.
“Aku bertemu dengan dia (sambil merengkul bahu
istrinya yang duduk bersebalahan dengannya) beberapa tahun yang lalu, mungkin
sepuluh tahun”, katanya. Kemudian melanjutkan ceritanya,
“Bukankah kita belum terlalu mengenal satu sama lain
pada saat kita sudah merasa saling jatuh cinta?”, aku kira itu adalah
pertanyaan yang dilemparkan padaku, ternyata aku salah, dia sedang menggoda
istrinya. Melihat mereka saling tersenyum, aku merasa cemburu.
“Dia adalah yang terbaik yang pernah kutemui”,
lanjutnya.
“Oh, (dia menyebutkan namaku), sudahkah kamu merasa
jatuh cinta?”, serangan kilat ini membuatku tergagap-gagap mencari kata-kata. Tanganku
reflek menggaruk-menggaruk kantong jaket lusuhku, seakan-akan mengerti bahwa
otakku sedang melakukan hal yang serupa.
“Mungkin
sudah. Oh, bukan! Aku yakin sudah. Bukankah begitu menurut anda?” aku
menatapnya dengan harapan akan keluar jawaban yang luar biasa.
“Hahahaha!
Kita tidak pernah tahu banyak akan hal itu. Aku semakin yakin”, aku mendelik
aneh mendengarkan jawabannya.
“Bagaimana dengan anda? Tidakkah cinta membuat anda
bahagia?” , aku balik bertanya.
“Apa?”
“Tidakkah cinta membuat anda bahagia?”, ternyata
pertanyaanku baru saja membuka pintu masalalu singkatnya.
Beberapa bulan lalu. . . .
Mobil itu berhenti di
terminal sebelah pasar terbesar di sebuah desa kecil. Ketika pintu belakang
terbuka, dua orang berpakaian aneh keluar dan menatap sekeliling, berbicara
singkat, kemudian langsung berjalan kaki menuju rumah yang letaknya hanya
beberapa puluh meter dari pasar. Kedua pasangan itu berpelukan di depan pintu
rumah, kemudian berciuman sebentar, lalu masuk. Semua orang menatap aneh kepada
mereka. Namun, suara pintu tertutup mengembalikan pasar kepada hiruk-pikuk
seperti semula.
Ketika malam tiba, rumah itu
masih menutup pintunya. Beberapa orang yang sering bergosip di warung kopi
dekat pasar milik Pak Rustam menatap dengan keingintahuan yang menggebu-gebu
tentang siapa mereka, dan kenapa mereka bersikap seperti itu. Ada yang
berpendapat bahwa, mereka adalah pasangan yang baru saja menikah. Adapula yang
berpendapat mereka itu hanya dua orang dengan otak mesum yang ingin merusak
tradisi dan adat di desa.
Beberapa bulan setelah
mereka tinggal di rumah itu, mereka mulai menampakkan diri di tengah
masyarakat, bahkan menjadi akrab dengan pemilik warung kopi “Surgawi”, Pak
Rustam. Kehidupan mereka tidak berubah, begitu juga gosip dan tatapan sinis
dari masyarakat desa, selain Pak Rustam. Namun, gosip tetaplah gosip, tidak
akan berubah menjadi suatu yang jujur. Di tengah-tengah rahasia umum yang hidup
di sekitar kedua pasangan itu, akhirnya mereka benar-benar menghilang dari
peradaban desa. Entah mengapa, aku tidak tahu. Karena tidak ada penduduk desa
yang pernah memperingati, apalagi mengusir mereka.
Beberapa tahun kemudian, aku
masih mengikuti dan mencari tahu penyebab mereka menghilang. Dari seorang teman
yang mengaku dekat dengan pasangan tersebut, menceritakan sesuatu yang
membuatku sedih;
“Mereka bahkan tidak pernah merasa punya waktu untuk
bercinta. Sebab, si pasangan lelaki terlalu sibuk mengurusi kekasihnya yang
selalu kehilangan kepercayaan dirinya karena dihantui ketakutan”. Kata seorang
teman yang tidak mau identitasnya dibuka itu.
“Tekanan?”, tanyaku.
Sang “Teman Rahasia” kemudian memberiku sebuah cerita ilustrasi
tentang pasangan kekasih tersebut;
“Aku mencintaimu”, ucap sang lelaki kepada
perempuannya.
“Aku juga, Sayang. Kamu tidak perlu ikut memikirkan
hal yang aku pikirkan. Lakukan saja apa yang kau ingin lakukan”. Kemudian
mereka bercinta. Seusai bercinta, mereka kembali bercerita.
“Aku sangat merasa terganggu. Kita kehilangan
kepantasan yang seharusnya pantas kita rasakan. Aku akan melakukan beberapa hal
beberapa hari kemudian, terkait hidup kita”. Ucap sang lelaki memulai
pembicaraan.
“Peluk aku erat-erat”, segera saja sang lelaki
mendekap perempuannya itu. Lalu berbicara lagi,
“Aku menyesal telah memuja pelangi pada waktu hujan
beberapa hari lalu. Mata-mata yang kita perhatikan sore hari setelah hujan itu,
bukanlah mata-mata yang lahir untuk menyembah kebenaran. Siapakah yang pantas
melihat pelangi itu, Sayang? Hanya kita”
“Kemudian apa arti dari kehidupan yang dijepitkan pada
nasib yang kita pakai ini? Hanya kamu, yang akan mengatakan kata-kata yang
kuyakini itu benar. Kita tidak akan berlama-lama disini, karena begitulah
seharusnya”. Mereka masih berpelukan di ranjang yang masih berbau aroma
bercinta. Si lelaki meneruskan ceritanya,
“Kita adalah manusia. Benarkan, Sayang?”, tanya si
lelaki kepada perempuannya dengan lembut.
“Itu
istilah paling indah yang pernah kudengar, Sayang. Lanjutkan ceritamu”,
“Aku
hanya berusaha membahasakan antonym dari spesies yang kita hidupi saat ini.
Bukankah kita merasa lain? Binatang, istilah seperti apa itu?”
“Lanjutkan
ceritamu, Sayang”,
“Kita
harus tetap membuka pintu rumah ini selebar mungkin, berjalan di tengah desa,
dan mampir ke warung Pak Rustam. Dia punya kopi yang sangat enak. Ngomong-ngomong,
kau tahu siapa lelaki yang tadi kita temui di warung Pak Rustam?”
“Bukankah
kau sudah berkenalan dengannya?”, mereka terdiam sejenak.
“Iya, aku sudah mengenalnya, Sayang. Ayo kita tidur”.
Keesokan harinya…..
Si lelaki mencium
perempuannya pada saat matanya terbuka untuk pertama kalinya di pagi itu. Kemudian
mereka bercinta.
“Soal laki-laki di warung Pak Rustam kemaren, aku
bermimpi tentang dirinya semalam. Dia datang
membawakan sepucuk surat yang tidak mampu kumengerti bahasa tulisannya. Dia tersenyum,
kemudian pergi meninggalkan beranda rumah kita”. Setelah semuanya sempurna di
pagi itu – tentu saja dengan kopi hitam panas di meja, rokok, dan perempuannya
yang duduk mendengarkannya bercerita di beranda rumah mereka – si lelaki memulai
ceritanya yang terdengar seperti lantunan pujangga.
“Mimpimu
lucu. Hehehe”,
“Apakah
hal yang paling membuatmu jengkel, Sayang?”
“Hal
yang paling membuatmu jengkel, itulah hal yang paling membuatku jengkel”.
“Aku
memiliki kehidupan baru setelah kau menjadikan duniaku sebagai kita,
ketakutanku bersandar di samping bunga-bunga mawar berduri. Lelaki itu akan
kuundang kemari beberapa kali”.
Lalu,
aku merangkai sendiri kisah-kisah itu ke dalam sudut pandangku;
Pada
kunjunganku yang pertama. . .
“Siapakah
yang menurutmu paling tidak setuju dengan istilah manusia yang kuucapkan padamu
barusan?”, Tanya lelaki itu. Pada saat itulah, aku menyadari bahwa ia memiliki
wajah yang keras namun mampu berkata halus seperti beledu. Dia melanjutkan
ceritanya sebelum aku sempat memikirkan jawaban dari pertanyaannya.
“aku
selalu bercinta, bahkan bunga-bunga liar sekalipun bertepuk tangan melihat
keringatku menetes ke wajah manis kekasihku. Bagaimana menurutmu?”
“Aku
mengetahui banyak tentang ungkapan-ungkapan. . . .”, kalimatku terhenti,
tiba-tiba ia kembali mengucapkan puisi-puisinya,
“Jujur
saja, aku sedang merasakan kesedihan mendalam. Begitu pula dengan kekasihku. Tahukah
kau apa artinya ini? Orang-orang disana akan menari-nari jika ada berita yang tak
pernah mengenal cara, buatku, itu bukanlah dunia. Itu adalah takdir yang salah.
Aku sangat bersedih, begitu
juga dengan kekasihku”, dia menyeruput kopinya, begitu pula denganku. Aku tahu,
saat itu aku hanya akan menjadi pendengar.
“Bisakah kau menceritakan padaku tentang keramaian di
luar beranda ini?”, kemudian dia menyerahkan giliran padaku.
“Aku
hanya ingin mendengarkan ceritamu”, kemudian dia terdiam sejenak, masuk ke
dalam rumah. Sayup-sayup kemudian semakin jelas kudengar musik menyala dari
dalam.
“Pembicaraan
ini sudah berakhir”, aku membatin.
Pada kunjunganku yang kedua dan yang terakhir. . . .
“Aku tidak mengerti kenapa semakin lama hidup ini
semakin menyedihkan. Beberapa anak-anak berlari-larian di depan rumah, namun
ketika kulihat mata mereka, teryata mereka bukan lagi anak-anak. Itulah hal
yang membuatku merasa sangat sedih. Kekasihku mengerti akan hal itu”, tidak
kusangka, wajahnya begitu marah pada saat itu. Kemudian dia mengajak kekasihnya
nimbrung dalam pembicaraan.
“Sayang”, si lelaki menyambut sapaan itu dengan
merangkul bahu kekasihnya. Aku merasa malu, dan sadar telah kehilangan banyak
hal dalam hidupku. Mereka mengenalkanku pada makna manusia yang sebenarnya,
cinta. Aku luar biasa cemburu. Dia menceritakan sekilas tentang kisah cintanya
dengan kekasih yang sangat ia cintai itu. Namun aku membuat kesalahan kecil
yang sangat berarti dalam hidup mereka berdua, pasangan tersebut.
“Tidakkah cinta membuat anda bahagia?”, ucapku. Dia terdiam
sangat lama, seperti mengingat-ingat masalalunya, kemudian mengucapkan
kata-kata yang membuatku merasa sangat sedih,
“Kita bertemu kembali di kenyataan, Teman. Aku
menelusuri lorong waktu yang dicetak dalam bentuk biang lala. Kau kutemukan di bawah,
di ujung permainan, dan itu sekarang. Tidakkah kau merasakan bahwa waktu kita
telah hilang barusaja? Seharusnya kau sudah melangkahkah kakimu pulang dari
sekarang”.
Dia menyuruhku pulang. Semenjak kakiku melangkah
dari beranda rumahnya, kemudian aku menatap sekali ke belakang, ke arah
pasangan tersebut untuk terakhir kalinya, aku tidak lagi pernah melihat mereka.
Setelah tiga tahun berlalu, ada satu hal yang
membuatku masih merasakan sedih yang begitu sangat menyiksa;
Bukan cerita sedih yang dituturkannya padaku pada
waktu-waktu kami berbincang. Bukan pula kecemburuanku yang mendalam pada cara
mereka berhubungan, bukan itu. Hal yang membuatku sangat bersedih hati adalah
kesadaran yang diwariskannya kepadaku tentang kebusukan mental orang-orang di
desa ini. Hal yang ia sembunyikan sebagai teka-teki di dalam kalimat yang ia
ucapkan padaku dulu. Aku menyadarinya dengan lambat-laun. Hingga akhirnya aku
menyadari bahwa cerita yang ia tuturkan dulu adalah mantra yang mereka baca
untuk menurunkan kutukan yang mereka alami sebagai takdir kepadaku.
Aku melewati hari-hariku tanpa sedetikpun dapat
lepas dari kisah sedih yang datang padaku tiga tahun yang lalu. Tidak semuanya
dapat kumengerti dengan baik, karena memang cerita tersebut tidak akan ada yang
mengerti. Semuanya sangat kompleks seperti alam semesta. Namun kutukannya
sangat nyata, aku tidak bisa menghilangkan kesedihan yang menghantamku sejak
mengenalnya di warung kopi “Surgawi” milik Pak Rustam dulu. Kini aku memulai
suatu petualangan yang sangat panjang dan berat. Dialah yang mengiringiku menuju
garis start, dengan sangat menyedihkan, aku memulai kehidupan sebagai pelajar
yang belajar untuk menjadi manusia. Dan itu sangat menyedihkan.
11
Maret 2015, Rabu. . .
Fauzan
Kumbang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar