Minggu, 28 Juli 2013

HUKUM GRAVITASI DAN MASA KANAK-KANAK





Apa esensi yang kita nanti ataupun yang seharusnya kita dapatkan ketika berada dalam sebuah proses bersama dengan banyak manusia? Disinilah kelemahanku. Kecenderungan untuk selalu bertanya-tanya soal sebuah esensi namun melupakan langkah-langkah yang harus ditempuh dalam perjalanannya. Dan tulisan kali ini ku mulai dari ke-gegabahan-ku, ku mulai dari kelemahanku.
Ini adalah sebuah kesengajaan, sehingga tulisan ini mengandung banyak sekali pertanyaan-pertanyaan dan aku menjadi seseorang yang cerewet menurut beberapa orang. Itu bukan persoalan karena, menurutku, terkadang di satu masa seseorang harus menjadi cerewet dan banyak bertanya karena jika tidak kita tidak akan menemukan Apa esensi dari proses ini, Mengapa aku, kamu, dan semuanya melakukan hal ini, Dimana harus mencari jawabannya, Bagaimana cara untuk menemukan inti dari semuanya, dan Kapan aku bisa mengetahui esensi dari proses ini, dan yang lebih penting adalah Kapan bisa kutemukan esensi dari “dirimu”. Sederhana saja, aku hanya menggunakan metode 5W 1H untuk mencari dan menjawab semuanya. Cerewet, tapi sederhana. Dan sekedar pengingat, akan lebih baik jika yang kebetulan membaca tulisan ini memposisikan diri sebagai orang pertama, konseptor, penyimpul, penggagas, atau apapun istilahnya.
Sebagai bagian dari awal tulisan, kita akan berbicara tentang proses alam dan hal yang manusiawi, yaitu keterkaitan antara proses gravitasi alam dan masa awal dari ke-manusiawi-an manusia dimulai – pertanyaan yang muncul pada masa kanak-kanak. Apa relasi antara gravitasi alam dengan masa kanak-kanak?
Hukum gravitasi, sederhananya adalah sesuatu yang memiliki daya lebih besar akan menarik sesuatu yang punya daya lebih kecil. Ataupun sebaliknya, dimana sesuatu yang kecil akan tertarik pada sesuatu yang lebih besar. Kaitannya dengan tujuanku dalam tulisan ini, gamblang saja, aku akan menarik sesuatu. Anggap saja masa kanak-kanak merupakan “gravitator”nya.
Mengapa masa kanak-kanak? Karena pada usia kanak-kanak kita memiliki banyak pertanyaan. Ketika dewasa, manusia sering kali menjadi enggan bertanya dan sedikit sok tahu tentang perasaan orang lain. Padahal, dalam beberapa hal, khususnya untuk sesuatu yang melewati proses kerja-sama, pertanyaan-pertanyaan sama seperti air yang akan mengisi jalur irigasi agar padi bisa tumbuh dan manusia bisa makan nasi. Dan orang-orang dewasa-lah yang kemudian membunuh insting bertanya pada anak-anak dengan memberikan jawaban-jawaban dangkal dan kemarahan. Padahal, masa kanak-kanak adalah awal dari hidup manusia, memiliki daya tarik yang besar, namun terlupakan. Aku tidak menyalahkan kedewasaan secara keseluruhan, karena dewasa juga merupakan proses yang manusiawi.
“Ibu, itu apa?”
“Yah, kok daun warnanya hijau, ya?”
“Bang, ini cara mainnya gimana, ya?”
“Om, kapan oom lahir?”
“Nte, air terjun Niagara itu dimana, ya?”
Kurang lebih seperti itulah pertanyaan anak-anak, sederhana tapi cerewet, dan tentusaja penting. Orang-orang dewasa jarang sekali memaknai pertanyaan-pertanyaan seperti diatas sebagai sesuatu yang sederhana dan penting, kecuali cerewet. Maka harus dibatasi. Pembatasan yang dilakukan oleh orang-orang dewasa ternyata memiliki dampak yang sangat fatal tanpa disadari oleh mereka. Karena pembatasan tersebut bukan hanya menghilangkan beberapa pertanyaan saja, namun juga membunuh salah satu sisi manusiawi pada seorang individu, yaitu keberanian untuk mengkritisi. Padahal pada awalnya manusia adalah makhluk yang cerewet dan bawel.
Pemaknaan yang salah atas pertanyaan anak-anak sekiranya harus diperbaiki, orang dewasa seharusnya tidak jengkel atas pertanyaan bawel yang muncul dari mulut anak-anak, melainkan mengasah pertanyaan itu agar menjadi lebih tajam. Pada akhirnya, manusia tidak lagi harus memulai bahkan mengenal sikap kritis ketika dibangku SMA atau kuliah, dan yang lebih menyedihkan lagi adalah apabila nantinya hal tersebut mati sama sekali.
Menilik kembali ke pertanyaan di awal tulisan ini, pertanyaan tersebut muncul akibat dari pemaknaan yang salah oleh karena itu terlalu luas dan terlalu cepat. Pertanyaan tersebut tidak mengiris tipis buah kentang karena pisau yang digunakan tidak pernah diasah dan seharusnya buah kentang yang dapat dibagi menjadi banyak hanya menjadi sedikit. Karena sebuah kesimpulan bukan untuk di pertanyakan, melainkan diciptakan dari pertanyaan-pertanyaan kecil dalam keseharian.
Mau tidak mau, suka tidak suka, “pisau” tersebut harus sering di asah agar dapat mengiris buah kentang menjadi lebih banyak. Dengan kata lain, seorang manusia mesti banyak bertanya agar dapat merinci peristiwa yang dapat dikritisi, walaupun dengan harus “menjadi anak-anak lagi”. Sebagai konseptor, mempertanyakan esensi dari sesuatu yang sudah dibangun oleh dirinya sendiri menggambarkan adanya logika yang terbalik. Sekali lagi kita tarik kembali ke masa kanak-kanak, dimana pada masa itu sebelum kita menyimpulkan bahwa daun warnanya hijau kita akan memberikan pertanyaan-pertanyaan terlebih dahulu. Apakah itu? Kok bisa gitu ya? dan pertanyaan-pertanyaan lain, sampai akhirnya kita dapat memberi tanda pada suatu objek. Bahwa yang menempel di pohon dan berwarna hijau itu namanya adalah daun. Mekanisme yang sangat sederhana sekali.
Namun kecenderungan orang-orang dewasa terhadap pertanyaan anak-anak adalah langsung memberitahukan bahwa yang menempel di pohon itu adalah daun, tanpa menjawab pertanyaan yang muncul berikut-berikutnya lalu menyumpal mulut anak-anak dengan es krim dan permen agar tidak bertanya lagi. Sehingga anak-anak cuma bisa mengunyah dan terbiasa disuap ketika muncul hasrat untuk mengkritisi. Tak dapat dipungkiri lagi mental yang terbentuk dari anak-anak adalah mental pragmatis dan ketika menjadi dewasa mereka hanya bisa mengunyah dan mengunyah. Manusia telah kehilangan apa yang disebut sebagai proses dari masa anak-anak.
Norma, adat, agama, dan batasan-batasan yang diciptakan oleh manusia adalah bukti bahwa manusia diarahkan menuju hidup yang pragmatis. Tuhan dijadikan landasan dari terciptanya norma, adat, dan agama, lalu disisipkan ke dalam jiwa dan pikiran manusia dengan pemaknaan tunggal, bahwa Tuhan tak dapat di kritisi, jadi norma, adat, dan agama juga tidak bisa dikritisi. Padahal, menurutku, jauh di dalam hati manusia selalu bertanya-tanya kepada dan mengenai Tuhan. Untuk itulah kemudian orang-orang yang malas berpikir menciptakan norma, adat, dan agama sebagai jalur untuk melarikan diri dari pertanyaan-pertanyaan sederhana dan ke-cerewet-an manusia. Hal itu sama saja dengan menghancurkan gravitasi bumi dan akhirnya bumi tidak lagi menjadi planet yang unik dan berbeda dari planet-planet lain di alam semesta, semuanya menjadi nihil.
Manusia yang hidup dalam realitas memiliki daya gravitasi dan menjadi “anak-anak” adalah tempat manusia menginjakkan kakinya. Walaupun setiap manusia bercita-cita dapat menggapai langit, namun gravitasi agar bisa menginjakkan kaki di bumi merupakan sebuah signifikasi atau penanda bahwa manusia itu hidup. Karena, kecuali bumi, dari Merkurius hingga Saturnus tidak ada gravitasi, oleh karena itu disana tidak ada kehidupan, alias nihil.
Lembaga-lembaga seperti sekolah, kampus, karang taruna, atau organisasi-organisasi pemuda merupakan mediasi untuk melatih dan menyalurkan keberanian dan sifat kritis individu. Dengan catatan, tidak ada pihak yang mendominasi dan otoriter di dalam lembaga-lembaga atau organisasi tersebut. Dimana setiap individu memiliki hak yang sama dalam hal melakukan kritik.
Sebab, terkait dengan kerja dalam organisasi, sifat kritis sangat berguna dan dapat memberikan dampak positif dalam hal pemahaman akan proses kerja organisasi. Yang tentunya juga berbuntut pada tingkat keberhasilan dari kerja organisasi itu sendiri. Kurangnya sikap kritis dalam kerja organisasi merupakan salah satu masalah yang cukup penting untuk dimafhumi dan diperbaiki. Metode yang telah dipaparkan sebelum ini mengenai “proses gravitasi dan masa kanak-kanak” barangkali dapat menjadi bahan renungan dan – semoga saja – layak menjadi pembelajaran dalam hal mengatasi ketakutan-ketakutan untuk mengkritisi sehingga pisau yang tumpul-pun dapat menjadi tajam kembali seperti pada masa kanak-kanak dan bekerja sesuai dengan fungsinya.


Sabtu, 06 Juli 2013

Manusia : Kita Keluar Dari Taman dan Menuju Palung

Apakah alasan atas terjadinya sesuatu dalam hidup ini? Baik itu peristiwa pernikahan, orang-orang datang menonton acara kesenian, orang-orang merokok, bahkan adanya pencuri dan pihak yang kehilangan. Segala peristiwa pasti memiliki alasan sehingga dapat terjadi.

Di suatu siang seorang teman datang kerumah kontrakanku dan mengabarkan ia kehilangan uang dan handphone-nya. Dan kedatangan temanku inilah yang membukakan satu pintu untukku, yaitu munculnya ide menulis. Kemudian ia menceritakan segala perasaannya dan hal-hal yang mungkin menjadi penyebab kehilangan tersebut. Jujur saja aku turut prihatin, tapi pikiranku menembus jauh kedalam dan luas jauh melewati rasa prihatin itu. Karena siapapun tahu, hal seperti ini dapat dinilai secara manusiawi.

Tapi, kali ini aku lebih tertarik untuk menilainya dari sisi yang lebih luas. Segala peristiwa yang terjadi dalam kehidupan ini sebenarnya memiliki penyebab yang sama, alasan-alasan yang terbangun dalam melakukan tindakan tidak bisa dilepaskan dari pengaruh lingkungan sosio-kultural setiap pelaku kehidupan.

Orang-orang pergi ke sebuah pesta pernikahan, menonton acara kesenian, dan orang-orang kemalingan, semuanya terjadi atas pengaruh lingkungan sosio-kulturalnya. Pencuri bisa menjadi pencuri di dorong oleh berbagai kemungkinan situasi sosial yang dia alami, misalnya kemiskinan, pergaulan, dan banyak lagi. Orang-orang yang menonton acara kesenian disebabkan oleh ketertarikannya akan seni yang tercipta karena lingkungan sosialnya juga.

Pemahaman  atas suatu lingkungan sosial akan membuat siapa saja memahami dan lebih mengerti kemana saja dan dengan cara seperti apa dirinya akan melangkahkan kakinya dalam hidup. Terkadang seseorang menghindar, menghampiri sesuatu, merasakan, dan memikirkan sesuatu, semua itu akan lebih tertata jika dirinya telah melakukan penilaian tentang situasi dan kondisi lingkungan sosio-kulturalnya. Semua itu dilakukan tidak lebih untuk menciptakan segala sesuatu yang di inginkan oleh manusia, kenyamanan.

Memahami gejala atau teori-teori sosial merupakan hal yang sangat penting bagi setiap orang karena setiap manusia hidup didalamnya. Gejala atau teori-teori tersebut membuat seseorang dapat menganalisa permasalahan yang ia hadapi dan melakukan langkah-langkah untuk mengatasinya. Dan barangkali ini juga untuk mengatasi keterkejutan sosial atas masalah-masalah sosial yang muncul. Karena saya pikir kehidupan dapat terlihat lebih sederhana dengan adanya teori-teori sosial.

Karena segala sesuatu memang terlihat sederhana jika dilihat dari sudut yang membuat kita dapat melihat lebih luas, namun akan berbeda jika kita masuk kedalamnya. Dititik inilah, saya sedikit meragukan teori-teori sosial sebagai sesuatu yang dapat menyederhanakan permasalahan manusia. Ilmu-ilmu yang mempelajari mengenai peristiwa-peristiwa sosial mungkin saja luput akan beberapa hal. Karena saya percaya bahwa, manusia merupakan makhluk yang paling dinamis dan penuh masalah. Dan ilmu-ilmu sosial harus mengikuti perkembangan manusia agar dapat menganalisa dan menemukan solusi dari permasalahan sosial yang terjadi. Seperti obat.

Bagaimana mungkin beberapa orang pemikir masalah-masalah sosial dapat menemukan solusi dari permasalahan pedalaman setiap manusia dan menciptakan teori-teori umum atas masalah tersebut. Karena walaupun teori-teori sosial menjadikan manusia sebagai objek, namun di satu fase dalam hidup manusia, teori-teori ini tidak berguna sama sekali.

Akhirnya aku dapat mengatakan bahwa ilmu-ilmu sosial belum bisa membaca pedalaman seorang manusia yang paling dalam, dimana ada peristiwa-peristiwa luar biasa yang terjadi. Terkadang kita merasakan isi dada kita bergemuruh, atau tiba-tiba tanpa alasan kita menjadi suka bahkan cinta terhadap sesuatu yang kita lihat. Hal-hal seperti ini barangkali bisa dianalisa melalui pendekatan-pendekatan ilmu sosial, namun hal ini tidak dapat di generalisir dengan satu atau dua teori saja. Sebab setiap manusia berbeda-beda, baik perasaan maupun masalah-masalah yang dialami.

Mungkin saja ilmu psikologi punya sesuatu untuk ditawarkan mengenai masalah ini. Saya sendiri menyimpulkan bahwa manusia merupakan makhluk yang menyimpan penyakit, dan setiap penyakit akan sembuh jika ada obatnya. Menganalisa penyakit saja tidak akan merubah apa-apa.

Atau barangkali, setiap manusia harus menciptakan teori sendiri mengenai masalah-masalah yang ada dipedalamannya. Atau sebutlah ini proses mencari jati diri. Dititik inilah, aku masih belum dapat percaya terhadap teori-teori sosial sebagai acuan untuk hidup yang cukup baik, terutama untuk masalah pedalaman perasaan manusia. Ternyata manusia itu lebih dalam dari yang dibayangkan.

Aku percaya bahwa, setiap manusia memiliki palung yang sangat dalam yang bakal diselami setiap pribadi. Ini tepat setelah seseorang menemukan siapa dirinya, kemudian ia akan menyelami palung tersebut. Kenapa? Hal ini agak mirip dengan kodrat manusia yang dikatakan oleh guru sosiologi saya di SMA dulu, bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang harus hidup berdampingan dengan manusia-manusia lainnya. Yang membedakan adalah, manusia sebagai makhluk sosial dan harus hidup berdampingan dengan manusia lain ialah untuk mengisi kekosongan sosial dalam hidupnya, misalnya seorang petani butuh penjual pupuk. Dan masyarakat luas membutuhkan petani untuk mendapatkan bahan-bahan makanan.

Namun, ketika seorang menusia menyelami palung yang ada dalam dirinya, walaupun kelihatan sama-sama mencari sesuatu untuk mengisi kekosongannya, tetapi bukanlah kekosongan sosial melainkan lebih dalam dari itu. Aku membayangkan, didalam diri manusia ada satu sosok manusia lagi yang duduk sendiri disebuah bangku taman. Sosok manusia tersebut tak lain adalah kita sendiri, yang pada masanya kita akan mencarinya.

Ketika seseorang telah menemukan sosok kembarnya itu, atau sebutlah jati diri, untuk sementara waktu ia akan merasakan sesuatu bahwa hidupnya mendekati sempurna, bahwa ia akan dapat melakukan apa saja. Tapi, pada waktunya pula, seseorang akan sadar bahwa pada bangku taman yang ia duduki tersebut masih tersisa tempat untuk seseorang. Disaat itulah, aku, kita, dan semua akan melangkah keluar dari taman yang indah namun sepi, untuk kemudian bertemu dengan palung yang dalam, dingin, sedikit beku dan harus diselami untuk menemukan siapakah gerangan yang akan mendampingi diri kita di bangku taman itu. Manusia sudah ditakdirkan untuk kesepian. Tak ada jalan lain untuk mengatasi masalah-masalah yang terjadi didalam pedalaman seorang manusia selain berenang dan menyelami palung tersebut.

Didalam palung itulah, pergulatan yang paling dahsyat dalam hidup seseorang terjadi. Terkadang seseorang berpikir, untuk melarikan diri dari itu semua, melepaskan segala yang berbau perasaan dan mengutamakan kebutuhan berdasarkan pertimbangan logika. Kemudian menemukan hal-hal baru dalam hidupnya. Tapi, apakah mereka bahagia? Bagaimanakah itu kebahagiaan? Adakah alat ukur kebahagiaan?

Dititik ini, aku mulai meragukan diriku sendiri dan apa yang kutuliskan sebelum ini diatas. Berpikir tentang sesuatu yang salah atau benar, memperhatikan cara seseorang mengatasi masalah. Namun, entah kenapa, setelah melihat berbagai cara orang bergulat dengan perasaan ataupun logikanya, aku masih saja menceburkan diri kedalam palung ini, berenang, kemudian menyelam. Kemudian kukatakan pada diriku sendiri, bahwa hidup itu adalah pilihan. Lalu kutinggalkan bayang-bayang kehidupan diluar palung ini, dan yang kulakukan adalah terus bergerak mengejar sesuatu yang kurasa cukup indah untuk mengisi kekosongan pada bangku taman yang kutinggalkan.

SEBUAH PENUTUP :


“Di palung itu, aku melihat seseorang wanita yang kubayangkan akan menjadi wanita yang duduk disampingku pada bangku taman yang kutinggalkan kemaren. Cukup lama kemudian, aku menyadari bahwa palung yang kuselami ini sangat dalam, dingin menusuk, bahkan mendekati titik beku. Aku terus menyelami palung, bergerak mendekati si wanita tersebut. Terlalu jauh, jauh sekali. Pada satu titik kedalaman yang mampu membuat mataku menjadi nanar, pikiranku kosong, dan menjadi orang yang kebingungan, aku berpikir untuk meninggalkan wanita yang kukejar ini. Namun, ketika melihat keatas dan sekitar, semuanya dingin menusuk dan gelap. Aku belum bisa kemana-mana sebelum muncul sinar cahaya yang lain selain sinar yang dipancarkan wanita itu. Maka, mau tidak mau aku bergerak terus menuju dirinya. Keadaan semakin dingin, gelap, dan bahkan beku. Aku melihat kulitku tersayat air dingin yang mulai menjadi es. Dan kemudian……”