Rabu, 31 Agustus 2016

Atticus Finch

Atticus Finch[1]

Jika aku menjadi seorang ayah kelak, aku akan menghadapi anak-anakku seperti seorang Atticus Finch.

Sebab, aku tidak tahan mendengar seorang anak 2 tahun diteriaki oleh ibunya.

Panas matahari tidak akan membakar hidup-hidup anaknya.

Pikiranku kacau, melihat seorang anak laki-laki 4 tahun membuntuti ibunya pada jam setengah 3 pagi.

Aku tidak bisa tertidur, ketika mendengar sepasang suami  istri bertengkar hebat di pagi hari sementara anaknya yang masih SD menunggui ayahnya untuk mengantarkan ke sekolah dengan rasa takut.

Di tempat yang berbeda, seorang anak yang masih SD dibiarkan oleh orang tuanya mengendarai motor ugal-ugalan seperti preman.

Hal-hal memang berbeda satu sama lain, tapi kesalahan tetaplah kesalahan. Kebaikan tetaplah kebaikan. Dan kebenaran tetaplah kebenaran.



[1] Atticus Finch adalah salah satu tokoh dalam novel karya Harper Lee yang berjudul To Kill A Mockingbird.

Warisan Ini Harus Dihadapi

Aku tahu, ratusan tahun Belanda pernah di sini.,

Juga, cerita tentang Coen, kemudian seorang pembunuh berprestasi pengagum Napoleon, Deandels.

Apa lagi? Perampasan tanah oleh pabrik-pabrik Belanda? Kerja paksa?

Tinggalkan padi, tanam kopi! Tinggalkan padi, tanam kopi! Kopi! Kopi! Kopi!

Apa yang diwariskan kemudian?

Semua orang gila jabatan! Sampai sekarang! Gila jabatan!

Sekolah semakin mahal, hingga akhirnya hanya “priayi” yang bersekolah.

Sekolah semakin mahal, hanya “priayi” yang bersekolah.

Zaman seperti mundur sejauh ratusan tahun, jauh sekali.

“Aku ingin sekolah! Aku ingin sekolah!”, teriak seseorang 20 tahun kemudian.

Sekolah. Berapa harga untuk sekolah di sebuah kampus humanisme?

Waktu terdorong mundur. Suatu saat orang-orang miskin tidak akan bisa bersekolah. Padahal bangsa ini adalah bangsa miskin.

Saking miskinnya sehingga orang-orang miskin akan kembali dipaksa meninggalkan padinya. Tanam kopi! Tinggalkan padi! Tanam kopi!

Setelah itu, seorang laki-laki muda muncul dari kegelapan menariki gerobak sampah. Jam 2 pagi.

Sekali lagi kukatakan, seorang laki-laki muda muncul dari kegelapan menariki gerobak sampah. Jam 2 pagi.

Oh Tuhan! Apa benar, “kalau hati dan pikiran Manusia sudah tak mampu mencapai lagi, bukankah hanya kepada Tuhan juga orang berseru?”[1]



[1] Lihat Pramudya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa.