Aku tidak menyembah wanita yang aku cintai lagi. Sudah selesai dengan semuanya. Langitku sudah mendung sejak hati kecilku masih berupa janin. Adakah kau mengerti akan hal tersebut, Women? Untuk itu, seharusnya aku tidak mengenal cinta dengan cara seperti ini sama sekali.
Pernah suatu waktu aku mengalahkan puisiku sendiri dalam waktu satu malam. Lalu, kukatakan pada diriku, bahwa mimpi itu sama halnya dengan membangun istana untuk seorang putri kecil cengeng dan penangis. Tidak cocok untuk diberikan sehelai kain tanpa nama. Dia maunya Lea.
Tapi kini, sejak aku tidak bermasalah dengan hukum adat yang modern itu, semuanya menjadi indah pada waktunya. Dengan segala macam komedi yang telah kupersiapkan dengan diriku sendiri dari masa ke masa, akhinya blog pribadiku ini terisi kembali dengan cerita yang sangat tidak berhati-hati.
Aku rasa setiap pembaca sudah tahu apa yang mereka baca. Jika masih ada yang tidak, lalu untuk apa empat sampai tujuh tahun yang lalu itu? Di mana berpikir adalah intisari dari praktik dan segala yang muncul dan eksis di muka Bumi ini. Satu hal yang masih kupegang teguh sejak diriku masih kanak-kanak: aku tidak akan ke mana-mana.
Kuberitahu kau sesuatu...
Aku memulai kesalahanku yang sebenarnya kira-kira sekitar tujuh atau delapan tahun yang lalu. Matahari terbit dan aku bermain cinta dengan bidadari yang salah. Disitulah pintu kesalahannya. Begitu bidadari ini mulai mencintaiku, kebahagiaan melenyapkan semuanya. Termasuk kebahagiaan itu sendiri. Sehingga aku melakukan ikrar yang terlalu berlebihan dan mengemis, memohon, dan berfilsafat kemudian. Semuanya telah dimulai, dan aku tidak pernah bermain-main lagi.
Cinta yang kubawa sampai mati ini rasanya tidak perlu dikekalkan seperti keabadian. Selain itu, untuk hidup, perjuanganku sedang berjalan lurus menuju pintu-pintu pendaftaran bertema silverscreen serta seorang gadis dari Australia yang masih aku rahasiakan.
Di balik itu semua, aku kira masalalu telah mengundang untuk sejenak kembali mengembara ke titik-titiknya yang fana dimana puisi-puisiku masih berbicara tentang oase serta surga dan neraka. Atau eksistensi berbasis puzzle dengan teka-teki ringan mengenai Kurt Cobain yang kini masih melatihku untuk menjadi praktisi. Atau dengan imajinasi berani yang dulu sempat kusebarkan layaknya omong kosong yang berasal dari hati kecil yang terdalam.
Palung itu masih kutuju. Kurenangi bagian-bagian tersulitnya hingga diriku ternyata masih mampu merasakan ujung hidungku sendiri. Bangku taman yang kutinggalkan masih sendirian di bawah pohon yang tumbuh liar sejak kepergianku mencari seorang gadis kecil bernama Ningsih. Itulah rahasia yang bertahun-tahun kupetakan demi mencetak sejarah sebagai penanam harta karun paling dicari di seantero jagad raya yang sombong ini.
Di balik semua sejarah pembongkaran hawa nafsu, cinta dan prahara itu, aku kembali menyaksikan tulisan-tulisan lama yang tidak kutulis menggunakan tinta darah, tetapi keringatku yang membasahi kulit-kulit kertas itu sendiri telah lelah menjadi darah. Perannya terungkap sebagai pencatut misi rahasia yang seharusnya dimiliki oleh sel-sel lain, karena pada hakikatnya, darah mengalir di dalam tubuh manusia, bukan di udara terbuka seperti di medan perang.
Kini aku bebas dalam mengabarkan cerita. Rapi seperti stand up comedy Jim Carrey, merangsang seperti gesekan piano Albert Einstein di pelosok ide Bob Dylan bernama Desolation Row, menantang seperti puisi Zack de la Rocha yang mampu membuatnya turun dari gunung, tak tertangkal seperti Tom Morello, dan, for my healthy way of life, I decide to leave myself alone with the memories inside. Very beautiful, to see my party garden when nobody dance in it and no one knows how to make a loudy song. Very unhealhty.