Senin, 24 April 2017

NEUROTIK SEJAK LAHIR

Aku tulis kisahku di kertas yang samar-samar,
Ketakutan-ketakutan itu datang dengan caranya yang aneh.
Sepertinya, aku merasakan kebahagiaan sedang bersembunyi di antara lorong-lorong labirinnya.
Di dalam mimpiku, kadang ia ialah seorang wanita.
Dalam mimpiku, dia adalah keinginan besar untuk menjadi rockstar.
Dia membawaku ke dalam kemuliaan yang tercela, keberanian yang paranoid, keberuntungan yang sial, gerak yang diam.
“Aku ingin membuktikan bahwa Marx salah! “Ia terdiam, lalu menambahkan, “Namun, Kapitalis juga salah.”
Orang-orang memandangnya dengan tidak peduli, dengan kuping yang tak mendengarkan.
Bahkan, ia sudah murtad dari agama yang bernama ‘Akupun adalah bekas dari seseorang yang pernah tidak peduli dengan diriku sendiri’.
Dia adalah anak pahala dan dosa.
I got you!!!” Ucap Dunia ketika menyambutnya di dunia.
Lalu, ia berteriak sekencang-kencangnya, namun, kata dokter ia normal jika menangis.
“AAAAKKK!!! (Aku berteriak, bukan menangis)”, ucapnya.
Sekarang, siapa yang masih mengingat kesadaran mereka ketika kita pertama kali menyusui?
Mungkinkah kesadaran itu terasa seperti bagaimana rasanya dilahirkan?
Hal-hal yang harusnya terucapkan namun terlupakan?
Bukankah seperti itu takdir?
Aku sudah tahu takdirku, dan bisa membelokkannya ke arah manapun aku mau,
Dan itu perjalanan yang berat, kawan, karena setelah itu kita akan terlahir kembali.
Bukankah itu sebuah reinkarnasi?
Sayangnya, kita mengartikan dengan salah keniscayaan yang dimiliki oleh agama.
Seseorang, entah siapa namanya, berteriak, “Abad Kegelapan sudah berakhir!”, lalu, “DUARRR!”, berteriaklah si kecil Rennaisance.
Di Indonesia, istilah ini digubah oleh R. A. Kartini, seorang puteri bupati.
Bukankah Thomas Aquinas adalah anak zamannya Abad Kegelapan?
Bukankah Kartini juga?
Lalu, barulah kita menyerah dan ditakdirkan untuk dilahirkan kembali.
Bukankah setiap agama di Indonesia percaya dengan kebangkitan kembali? Terlepas dari dirayakan atau tidak?
Apakah kita harus membicarakan Sukarno?
Coba kita bandingkan dengan George Washington, siapa yang paling keren?
Dan kalian, hanya sibuk dengan pencarian akan sebuah pertanyaan seperti di atas.
Aku tidak peduli dengan siapa pun di antara mereka.
Tetapi, aku kagum kepada istilah ‘Ibu Pertiwi’, ‘Morherland’.
Dan, kalau harus memilih, siapa yang paling pantas mendapatkan gelar sebagai ‘Miss Universe’, aku akan memilih seorang pemenang.
Siapa yang memilih para Miss Universe ini?
Merekalah, rockstar.
Orang-orang yang tidak seharusnya berada di sana.
Mereka adalah teman Para Presiden.
Ada pertanyaan???
Mereka sama-sama menjadi incaran para wartawan. Sebuah bagian dari permainan politik.
Jika kita harus memilih antara Pak Presiden dan seorang rockstar, siapa di antara kita yang akan menolak keduanya, jika jawabannya adalah keduanya merupakan korporasi di balik layar Miss Universe? Milik media yang mempekerjakan para wartawan, orang-orang yang mengincar keduanya?
Mari kita lihat kembali apa yang terjadi dengan John F. Kennedy. Bayangkan jika peristiwa di Grassy Knoll hanya sebuah sandiwara. Bayangkan jika Abad Pertengahan dan Rennaisance adalah sebuah permainan.
Rasanya mungkin seperti mengalami kekalahan dan kemenangan, dikuasai atau menguasai.
Sesuatu terjadi padaku, dan aku tidak punya alasan lain untuk tidak mengatakannya.

Beranikah kita berhenti?