Minggu, 27 Desember 2015

Filsafat

Bagaimana jika......

Socrates,

Plato,

Aristoteles,

St. Augustine,

John Locke,

Descartes,

Spinoza,

David Hume,

Hegel,

Karl Marx dan Engels,

Foucault,

Freud,

Mereka semua,

Berdiskusi via Facebook?

Democracy

Democracy

Jangan pernah meletakkan binatang di bawah kolong rumah. Sebab, bagaimanapun kita adalah sesama makhluk.

Para manusia saja yang menganggap dirinya lebih tinggi.

Dan media menjualnya dalam bingkisan kutipan.

Yang kemudian para manusia baca, tonton, dengar, dan sebagainya.

Seperti kata sebuah pepatah demokratis,


“Dari Manusia, Untuk Manusia, Oleh Manusia”.

Selasa, 22 Desember 2015

Ishak, apa yang terjadi pada Layla?

Ada yang tidak biasa dengan Layla, waktu dirinya tengah menunggu waktu bagi seseorang untuk membuatnya bahagia pada hari ini. Sekitar pukul 10.15 pagi, waktu itu sekolah sedang jam istirahat, semua anak-anak kelas 3 IPS 3 seperti sedang menanti-nanti sembari menatap ke kursi pojok paling belakang; seorang wanita berusia menjelang 17 tahun yang tersipu malu. Di lorong jalan di depan kelasnya, beberapa orang wanita, yang notabene ada teman Layla sendiri, berteriak histeris melihat Ishak berjalan sendiri dan berhenti di depan Laila, seorang gadis pemurung yang sudah sejak SMP digilainya.

Semua orang di sekolah sudah tahu itu, suatu saat mereka akan menjalin hubungan. Tapi enam tahun adalah waktu yang cukup lama untuk menahan gejolak untuk memiliki. Tapi, itulah yang terjadi. Sejak usia 12 tahun, Ishak sudah tidak mengerti, dan kebingungan mengenai apapun tentang Layla. Hari ini, semua orang di sekolahan akan mengetahui bagaimana akhir dari perjuangan cinta Ishak. Semuanya akhirnya akan tahu.

6 tahun silam....

Ia tengah merasa dalam suasana hati yang paling bahagia pada waktu itu. Kegemilangan prestasi, kemudahan yang diterimanya karena itu, teman-teman yang menghormatinya, membuat dirinya merasa begitu percaya diri menjalani apapun sehari-harinya. Tahun pertama di SMP, semuanya terlihat luar biasa dan sempurna. Di dalam kesempurnaan itu, Ishak secara tidak sengaja menemukan hal yang merubahnya di masa depan. Yaitu Layla yang sudah lebih dahulu terpikat, mulai mencari-cari sesuatu dari dalam mata Ishak.

Wanita itu dengan sangat luar biasa menancapkan bayangannya di dalam benak Ishak. Ketika mereka sedang bertatapan mata di waktu jam pelajaran, tak lama kemudian suara petir menyadarkan lamunan yang tak akan pernah mereka lupakan itu. Mereka - dan semua - kembali pada pelajaran. Waktu itu kelas 7 tiga sedang menjalankan pelajaran terakhir. Sementara di luar, mendung sudah mulai menutupi sinar matahari. Suara petir barusan diikuti oleh hujan deras yang mengurung semua orang dalam ketakutannya di dalam kelas.

Suara lonceng sudah berbunyi menandai jam pulang. Namun, hujan masih begitu deras dan mereka terkurung di sana. Ishak berdiri di tepian saluran yang berada di tepi bawah atap yang berbatasan langsung dengan hujan. Tentu saja, ia tak berniat untuk melangkah ke dalam hujan. Dia akan menunggu untuk itu. Tetapi, seseorang mendorongnya sehingga ia mau tidak mau harus sedikit membasahi seragam sekolahnya.

Akhirnya, Ishak berada di rumah dalam keadaan basah kuyup. Ia tidak mau menunggu lagi kapan waktunya hujan berhenti. Ketika ditanya, "kau benar-benar sendiri tadi?" oleh ibunya, Ishak mengatakan bahwa ia bertemu Ibu Susi tadi di perjalanan dan kemudian berbagi payung dengannya.

Dia melihat ke bawah tudung, ada goreng ikan nila dicampuri dengan cabe yang digiling dan digoreng pula. Rasa bumbu khas ibunya menyatu di dalam khayalannya yang lapar. Ini adalah hari yang paling bahagia dalam hidupnya.

"Hmmm, aku sangat lapar." Ucap Ishak dilanjutkan dengan suapan pertamanya.

"Tapi, tadi kalau saja aku tidak terlanjur basah setelah didorong oleh anak itu, tentu saja aku tidak akan bertemu dengan masakan lezat ini sekarang. Aku bertekad pulang karena bajuku sudah basah. Kebetulan yang menyenangkan."

Keesokan paginya, di dalam kelas 10 menit sebelum lonceng jam pelajaran pertama berbunyi.

Layla terlihat gelisah. Sejak awal dia tiba di kelas, dia sudah seperti itu. Suara bisikan teman-temannya terdengar samar-samar oleh Layla, tapi diacuhkannya. Lima menit sebelum jam pelajaran pertama, seseorang masuk ke dalam kelas dan duduk di sudut yang berbeda dengan Layla. Laki-laki itu tampak masih mengantuk. Ia menghempaskan ranselnya di atas meja kemudian menempelkan kepalanya di atas benda tersebut. Seseorang melemparnya dengan bola kertas. Ketika ia terbangun, seorang lelaki pendek tertawa padanya. Kemudian, lelaki itu kembali menempelkan kepala ke tempat sebelum. Tak lama kemudian, ia kembali dilempari dengan bola kertas, kali ini tepat mengenai bagian wajahnya sebelah kanan. Dia hendak marah namun dengan cepat segalanya hilang ketika melihat Layla tiba-tiba berdiri di sampingnya.

"Aku minta maaf." Ucap Layla sembari mengulurkan tangannya.

"Untuk apa?" Tanya Ishak di balik muka kusutnya.

"Mendorongmu ke dalam hujan."

"Kamu sengaja, ya?"

"Aku duduk di depanmu saja mulai hari ini." Kemudian Layla membawa peralatannya ke kursi barunya.

Ishak ingat sekali, bahwa waktu itu mereka sedang menjalankan mata pelajaran matematika di bawah pengajaran Bapak Masrijon, salah satu guru senior di sekolah. Urutan variabel, angka, dan rumus-rumus yang membosankan yang tertera di papan tulis tidak berhasil mengalihkan pikiran mereka berdua. Pada hari itu, mereka sudah memulai sesuatu yang liar; meninggalkan pelajaran dan hanya berbicara tentang diri mereka sendiri satu sama lain. Sampai-sampai beberapa menit kemudian tidak terdengar lagi suara guru matematika itu, begitu juga dengan suara semua siswa di kelas. Ishak mencoba menatap ke arah guru tersebut untuk mengetahui apa yang terjadi, ia kemudian kembali menundukkan kepala. Sebab, yang ditatapnya pertama kali saat ia menatap gurunya adalah mata Bapak Masrijon.

"Kalian tahu apa itu hati? Di mana letak hati itu? Jika ada yang tahu (ia kemudian menunjukkan ibu jarinya kepada semua siswa di kelas)." Guru matematika itu mengakhiri pertanyaannya dengan senyum yang dilemparkannya secara bergantian kepada Layla dan Ishak.

Pertanyaan itu membuat mereka berpikir. Terutama Ishak, tidak pernah sekalipun berhenti memikirkan pertanyaan itu, hal yang paling menjauhkannya dari Layla. Dan benar saja, dua tahun terakhir di masa SMP dia habiskan waktunya untuk mencintai diri sendiri. Entah bagaimana, Ishak mampu membiarkan dirinya merasa sepi di malam hari dan meninggikan egonya di waktu sekolah. Layla hanya menjauh dan menjauh, bertemu dengan teman-temannya, mendirikan geng wanita bersama dua orang teman dekatnya, dan merekrut banyak anggota baru. Sementara Ishak, hanya sibuk dengan dirinya. Bahkan ketika ia tahu dan melihat sendiri bagaimana banyak laki-laki lain menggoda Layla, rasa cemburunya yang menggila disekap sebelum hal itu bangkit dan menyiksa Ishak pada malam hari. Perasaan seperti itu hanya membuat ia merasa sangat remaja.

Satu hal yang pasti, apapun yang Ishak lakukan untuk mengatakan bahwa ia mampu berdiri sendiri di hadapan Layla, tetap saja Ia tak akan mempu untuk menipu dirinya sendiri bahwa di saat semua orang tidak menyadari, Ishak selalu mencuri pandang jika Layla terlihat. Entah apa yang ada di dalam kepalanya? Bagaimana cara ia berpikir? Tidak ada seorangpun yang mengerti. Tapi dia terlihat yakin atas apa yang dilakukannya, atas penderitaan yang dimulainya.

Begitu juga dengan Layla, dia mampu menemukan dirinya sendiri. Melepas Ishak memang cukup menghancurkan perasaannya, tapi kehidupannya semakin menguat. Ia menjadi tertarik dan mengerti akan banyak hal. Pernah mendirikan sebuah geng wanita paling disegani di sekolah membuat Layla sangat mengerti akan loyalitas berteman. Tak terlupakan.

Ishak sendiri, akhirnya mulai bermain musik. Ia menutup masa SMP-nya dengan menjadi band pengisi di acara perpisahan. Dengan begitu sederhana dia membawakan Sweet Child of Mine. Dan mendapatkan seorang gadis.

Masa SMA...

Sebuah permulaan baru. Kini Ishak menggunakan celana abu-abu panjang, bukan celana biru-pendek lagi. Itu terjadi ketika beberapa waktu lalu, Ishak, tepat pada hari sama dengan hari diumumkannya siswa yang diterima di SMA 1, mengirimkan dua pesan pendek lewat ponselnya secara bergantian. Setelah mengirimkan pesan pendek untuk kekasihnya, Ishak juga mulai membuka komunikasi dengan Layla. Permulaan baru yang akan menghancurkan hati seseorang beberapa hari kemudian.

"Aku bosan." Begitu isi pesan pendek Ishak kepada kekasihnya.

"Jelaskan!" Beberapa menit kemudian kekasihnya membalas pesan Ishak.

"Aku hanya bosan, dan aku serius."

"Aku menyesal! Kamu orang yang salah!" Begitulah akhirnya, hubungan Ishak dan kekasihnya berakhir.

Sementara pada pesan pendek lainnya, Ishak menuliskan puisi-puisi indah untuk Layla. Begitu menyenangkan, menurut Ishak. Kemudian, waktu tiba-tiba melambat semenjak saat itu. Ishak dan Layla seperti menjadi dunia malam yang penuh dengan cerita cinta saling menyandarkan diri di sekitar hangatnya kobaran api untuk di malam itu.

Setelah menunggu lama, hari ini akhirnya Ishak memberanikan diri. Sudah dua tahun semenjak kenaikan kelas 10. Layla masih duduk gelisah di sudut paling belakang ruang kelas. Ishak kini berada tepat di depannya, berdiri sambil memasukkan tangan ke dalam kantong celananya. Ishak akan mengutarakan perasaannya pada Layla hari ini. Semua orang di sekolah sudah menunggu peristiwa ini terjadi.

Semuanya seperti terbangun dari mimpi. Mimpi indah untuk Ishak, tontonan di dalam impian tidur bagi kebanyakan orang, dan pikiran yang sangat menyenangkan untuk dirasuki bagi Layla. Ishak terbangun dari tidurnya, menatap jam dinding, dan mengumpat.

"Sialan! Aku terlambat lagi!"

Jalanan begitu macet pada pukul 9 pagi di jalanan kota. Menghindari macet dan stress, Ishak mengikuti mobil di depannya berbelok ke arah rumah makan cepat saji. setelah memarkir mobilnya beberapa meter dari mobil yang diikutinya tadi, Ishak menyempatkan diri untuk berpikir sejenak tentang siapa dirinya. Seorang anak laki-laki lima tahunan keluar dari mobil yang berada di depan mobil Ishak tadi, gerak-geriknya membuyarkan pikiran Ishak. Anak itu bersama ibunya. Setelah memastikan dirinya sendirian, ia keluar dari mobil dan berjalan pelan ke dalam rumah makan.

Ketika menutup pintu, anak lima tahunan dari terlihat sedang bermain di pojok anak sementara ibunya pergi memesan dan menunggui makanan datang. Ishak memilih meja di sebelah pintu masuk. Ia memesan hotdog dan beer untuk pagi yang sumpek itu. Anak lima tahunan tadi berkeliaran ke sana ke mari, keluar-masuk, setelah mendapatkan segelas es krim dari ibunya.

Anak itu terlalu gembira pada saat itu berlari melewati pintu masuk, sehingga tidak menyadari gelas es krim ditangannya kini bersentuhan dengan rok kantoran milik seorang wanita yang barusaja masuk. Sisa es krim melelehi rok tersebut. Kemudian si anak menangis berlari menuju sang ibu.

"Anda tidak apa-apa?" Tanya Ishak kepada wanita yang terkena lelehan es krim tersebut sembari memberikan tisu. Tapi, sejujurnya, ia tidak terlalu yakin bahwa anak kecil itu benar-benar bersama ibu aslinya.

"Aku tidak apa-apa. Terima kasih."

"Bukankah aku mengenalmu?"

Pukul 11 siang Ishak baru tiba di ruang kerjanya. Di sepanjang jalan dari pintu masuk kantor hingga pintu masuk ruang kerjanya, tatapan orang tidak beralih dari dirinya. Termasuk bos-nya.

"Ishak!" Sapa sang Boss.

"Ya, Pak!"

"Sudah berapa kali kau terlambat?"

"Eh, mungkin sekitaaaaar, 9-10 kali, Pak."

"Itu artinya kau juga ingat, sudah berapa kali aku memaafkan kesalahanmu."

"Maafkan saya, Pak"

"Kembali ke ruanganmu." Sang Boss berlalu di balik pintu kamarnya.

Dia tidak berhasrat kerja hari ini. Dia ingin mencari alasan yang tepat agar dia dapat pulang dengan izin. Sebab, dia hanya ingin di rumah hari ini. Sendiri.

Seperti pada saat itu, dia sendiri menemui Layla dan berdiri cukup lama di hadapannya. Apa yang akan dikatakannya? Tidak, dia hanya melihat, dengan sangat lama, sehingga begitu dalam, dan terjadi dengan begitu saja. Siswa lain yang menyaksikan hal itu tidak mengerti dengan apa yang sedang dilakukan Ishak. Dengan tiba-tiba menatap seorang perempuan dengan sangat lama. Semua orang semakin tidak mengerti ketika melihat Ishak dengan santainya berbalik badan dan pergi kembali ke kelasnya. Tapi sebagian dari mereka yang menyaksikan, ada yang mengerti ketika tak lama setelah Ishak menjejakkan langkah pertamanya, Layla menitikkan air mata tanpa suara sehingga tidak terdengar di telinga Ishak.

Saat ini, dirinya pun kembali sendiri dan terbawa kembali pada masalalu. Pikirannya melompat kepada tingkah laku anak kecil sewaktu sedang berada di rumah makan cepat saji, kemudian melompat kepada macet, seorang ibu yang mengantre, dan seorang perempuan yang dilelehi es krim oleh anak berusia lima tahunan. Wanita itu muncul lagi dalam pikirannya. Ishak melihat dirinya tengah berbincang dengan si wanita es krim. Ia mendekati dirinya dan wanita itu,

"Bukankah aku mengenalmu?"

"Mama. Ini tisunya. Aku dan Tante Ovi duduk di sana, Mama." Anak yang nakal itu ternyata melelehi rok ibunya sendiri dengan es krim. Prasangka Ishak tentang ibu asli anak itu ternyata benar.

"Terima kasih. Hati-hati mulai dari sekarang. Ini anakku, di lima tahun, barusaja beberapa bulan di taman kanak-kanak. Dia anak yang pandai."

"Siapa namanya?"

"Robert, perkenalkan dirimu pada oom ini."

"Nama saya Robert, Om."

"Sekarang, waktunya Oom ini yang mengenalkan dirinya kepada Robert." Layla tersenyum aneh bersama dengan ucapan itu.

"Namaku Ishak, panggil saja aku begitu. Bagaimana ibumu? Apakah dia baik?"

"Ishak, kamu tidak pantas membicarakan ini di depan Robert! Dia tidak tau apa-apa!" Sanggah Layla.

"Mengapa kamu begitu tersinggung?" Ishak menyadari, akan ada pertarungan hebat malam ini.

"Jangan teriak kepada ibuku, Tuan! Anda boleh pergi dari sini!" Robert membela ibunya.

"Kau akan tahu Robert, akan tergila-gilanya aku pada ibumu sebelum engkau lahir ke dunia yang aneh ini. Kau akan tahu itu. Kemudian, kau tak akan berani berteriak padaku seperti pada masa kau kecil ini. Tak akan ada keindahan. Kau akan tahu itu."

"Cukup!! Ishak, kau BAJINGAN!!!" Teriak Layla.

"Ya, aku memang bajingan. Tapi aku juga mencintaimu. Apa ada yang salah dengan itu?"

"Kau!! Kau memang..." kemudian Layla tersengguk dan menangis tanpa suara. Dan melanjutkan perkataannya, "tidak pernah berubah. Kau tahu? Aku menyesal selalu menjauh darimu. Aku menyesal, setelah mengetahui bahwa kau tidak pernah berubah. Robert anak pertamaku, dan dia sedikit mengingatkanku pada dirimu."

"Apakah kita akan berbicara sambil berdiri seperti ini, atau kau bersedia untuk duduk dan bicara denganku? Mengerti?" Tanggap Ishak.

"Baiklah. Sekarang, apa maumu?" Tanya Layla.

"Tidurlah denganku. Malam ini saja. Aku mohon!"

"Kau pikir aku ini apa? Lalu, bagaimana dengan Robert?

"Robert bisa tidur di apartmenku. Masih ada beberapa kamar kosong untuknya."

"Apakah kamu serius?"

"Aku sangat serius dan mengerti bahwa kau masih bersuami."

"Jadi?"

"Tidurlah denganku malam ini."

"Baiklah, tapi ajak Robert bermain."

"Ok!"

Mereka duduk di atas sofa yang di letakkan lima meter dari layar televisi. Di antara kedua hal itu, manusia dan televisi, Robert bermain sendirian dengan boneka robotnya yang bertarung melawan dinosaurus. Malam itu cuaca cukup dingin tentunya.

"Bagaimana keadaanmu?" Ishak membuka pembicaraan.

"Masih berpikir mengapa saat ini bisa terjadi."

"Coba kau jelaskan lebih dalam kalimat yang baru saja kau ucapkan, Nona!" Ishak memancing amarah Layla, hal yang paling disukainya.

"Aku menyadari pancingan itu, dan aku menginginkannya!" Mereka berciuman. Menunggu jam tidur Robert tiba, dan bercinta untuk pertama kalinya.

Minggu, 20 Desember 2015

Tomorrow Never Comes

People trying to get a storm in their beautiful life,
Through every single things in the bottom of the time.
Standing in the name God. So far away from home, then I'll be a homeless
whose sleeping in the rent room.
Talking to my time and mistakes about The Landlord said in the
Sunday morning before.
"What I am supposed to do?" Someone said,
in the times when every people back to their houses, a night.
Dark Said,"Go back home!! Your children have been waiting."
At home, 2.25 AM, the kids haven't been sleeping at all,
waiting for their angels, but they are all sleepy.
And Tomorrow never comes.