Jumat, 10 Februari 2017

II

AKU
Menurutku, dia pergi karena tidak yakin dengan apa yang akan dikatakannya. Pernah suatu hari dia berkata bahwa aku mengurungnya dengan kebenaran-kebenaran yang kupaksakan padanya. Kapan aku pernah melakukan hal semacam itu? Aku menanggapinya dengan mengatakan bahwa aku tidak bermaksud seperti itu, sebaliknya, aku justru ingin membebaskannya. Entah dari apa. Upayaku untuk membuka pintu-pintu yang masih tertutup dianggapnya sebagai dinding pembatas.
Di malam harinya, kami makan di sebuah restoran kecil di dekat sungai yang mengalir dari barat kota menuju selatan, sebuah desa kecil yang terkenal dengan perkebunan kopinya.
"Bagaimana fiksimu?" Ia menyalakan sebatang rokok. Wajahnya lesu.
"Aku tidak tahu, aku masih sangat malas memikirkan pakaian apa yang digunakan oleh karakter-karakterku. Aku tahu itu penting, tapi aku tidak dapat menikmati hidup jika aku melakukannya. Hal-hal semacam itu membuatku merasa terkurung."
"Lalu, apa yang kau lakukan?" Kali ini, dia terlihat agak bersemangat. Secercah cahaya muncul di wajahnya.
"Aku mencoba untuk keluar, terus menerus, hingga akhirnya secara perlahan aku dapat melihatnya sebagai tantangan. Kecuali, aku memang orang yang pantas untuk dikurung. Apakah menurutmu aku pantas?"
"Kau yang mengurungku." Kali ini dengan nada bercanda.
"Aku bahkan tidak bisa menjelaskan apakah penjara adalah tempat yang baik atau buruk. Maksudku, bukan karena kita melanggar aturan, lalu kita dipenjara, dan kita menyadari kesalahan yang sudah kita lakukan. Bukan penjara seperti itu yang aku pikirkan. Penjara ini adalah penjara yang ada di dalam diriku, di dalam dirimu, dan di dalam diri semua orang. Dimana mereka yang tidak terkurung hanyalah para sipir. Jika kau berusaha menemukan jalan keluar, aku berusaha menemukan jalan keluar, maka kau tidak akan berkata bahwa aku yang mengurungmu."
"Siapa para sipir itu? Apakah mereka orang baik?"
"Semua yang kukenal adalah kaum intelektual."
"Kau mengenal mereka?"
"Ya, tentu saja. Beberapa tahun lalu. Maksudku, aku juga membaca buku, kau juga membaca buku, dan tidak terhitung jumlahnya di dunia ini orang yang membaca buku. Itu saja. Aku tidak perlu merecoki bagaimana dan apa yang kau pikirkan setelah itu. Aku tidak ingin terlihat pintar dengan cara kau harus terlihat bodoh. Begitu juga sebaliknya."
"Kenapa?"
"Karena kau membaca buku, aku membaca buku, dan tidak terhitung jumlahnya di dunia ini orang yang membaca buku." Lagu Leonard Cohen mengalun indah dimainkan oleh beberapa lelaki muda di atas panggung restoran.
I had lit a green little candle, to make you jealous of me. But, the room just filled up with mosquitos, they heard that my body was free.
"Boleh aku bertanya sesuatu?"
"Silahkan." Jawabku.
"Seberapa kesal kau terhadap mereka?"
"Sangat." Jawabku dingin.
Pembicaraanku dengannya di malam itu menyelesaikan permasalahan yang kami pendam sekian tahun lamanya. Hanya dialog. Itulah yang aku butuhkan. Setelah itu, kami menyaksikan Bill Burr di acara Conan sambil berbaring di atas kasur.
"Bukankah kau seorang penulis di dalam fiksimu?"
"Ya. Bagaimana menurutmu?" Ia kemudian menarik naskah dari atas meja. Tangan kirinya melintasi dadaku, lalu membolak-balikkan halaman naskah sambil berkata,
"Tidak adakah sesuatu yang mengganggumu?"
"Ya, tapi aku sudah menemukan jawabannya. Karya ini sudah terekam dengan baik sehingga menjadi rekaman terbaik yang pernah ada."
"Aku pikir ini adalah bentuk yang paling mendekati kemurnian dari sebuah karya kontemporer." Ucapnya sembari menaruh kembali naskah itu ke atas meja, tangannya melintasi tanganku, lalu kembali menonton televisi.
"Seharusnya kau tidak menanyakannya." Ucapku sambil bercanda.
"Kenapa?"
"Tidak apa-apa. Aku hanya bercanda. Aku berharap sesuatu yang besar terjadi, semacam ledakan ide yang luar biasa. Bill Burr menggunakan baju yang serupa dengan yang digunakannya di acara Stephen Colbert. Apa kau menyadarinya?"
"Ya. Dia menggunakan kaos polos berwarna hitam dengan lengan panjang."
"Apakah itu penting?"
"Ya, untuk sebuah karya visual. Kita dapat menangkap detail semacam itu di sana. Tapi aku lebih menyukai apa yang aku dengarkan daripada yang aku lihat. Kecuali pada saat bermimpi, sebab tidak ada seorang pun yang bisa menyediakan mimpi untuk orang lain. Hanya penglihatan seperti itu yang aku sukai."
"Imajinasi." ucapku.

Malam itu, akhirnya dia mengerti bahwa aku berada di pihaknya dan pengertian itu adalah sebuah rekaman yang harus ia jaga sebaik mungkin. Lalu aku bermimpi, beberapa teman-teman intelektual menatapku dengan penuh kebencian. Aku tidak dapat bergerak, apalagi pergi dari tempat aku berdiri. Namun, lambat laun aku menyadari bahwa tatapan itu tidak benar-benar mengarah padaku, tetapi hanya kepada tubuhku yang berdiri seperti patung. Mereka dapat melihat pakaian yang aku kenakan, tetapi tidak dapat menyadari bahwa ada seseorang yang sedang menatap mereka semua dengan tatapan yang jauh dari rasa benci: Aku.