Jumat, 22 April 2016

Perempuan

Apa yang saya lihat dari feminisme? Sekitar dua tahun yang lalu, saya pernah, selama satu semester, mengikuti perkuliahan dengan tema: Gender. Bukan mata kuliah wajib, namun mengapa saya mengambil kelas tersebut? Alasannya adalah, saya tertarik dengan feminisme karena rasa ingin tahu. Itu saja. Pengetahuan soal hal tersebut, jujur, baru saya mulai ketika kelas gender yang saya ambil dimulai. Tidak banyak cerita yang saya dapat tentang kesetaraan gender pada kelas tersebut, dengan seorang Doktor perempuan sebagai pengajar, selain masalah; bagaimana perempuan selalu mendapat “jatah” lebih sedikit dibandingkan laki-laki dalam dunia kerja dan sedikit mengenai budaya patriarkal yang memposisikan wanita pada level macak, masak, manak.
           
Tentu saja, Ibu saya adalah seorang perempuan. Tapi, terlepas dari itu, di rumah tempat saya dibesarkan, antara Ayah dan Ibu saya tidak terjadi apa yang dikenal sekarang dengan ketidaksetaraan gender. Setiap pagi ayah saya bekerja, sementara itu ibu saya berbelanja ke pasar. Selama Ayah saya bekerja di pasar, Ibu saya memastikan segala hal di rumah beres. Apapun itu. Tidak ada aturan yang diciptakan, atau perintah dari Ayah saya terkait semua yang Ibu saya kerjakan di rumah. Dan hal itu terjadi hingga detik ini. Jika kuasa selalu memposisikan perempuan di bawah laki-laki, mengapa hal tersebut tidak terjadi dengan Ibu saya? Atau, jika saya sedikit meragukan dalam hal ini, seseorang mungkin akan bertanya untuk menguji; siapa yang mengatakan, sehingga saya bisa mengatakan kalau kuasa memposisikan perempuan di bawah  kaum laki-laki? Dan jawaban yang bisa saya berikan adalah, Dewi Candraningrum, seorang pemimpin redaksi di Jurnal Perempuan, yang menggambarkan hubungan kuasa dan perempuan tersebut ke dalam benak saya di suatu seminar yang diselenggarakan di ruang LPPM Universitas sanata Dharma, 22 April 2016. Memang, Ibu saya bukan satu-satunya perempuan di dunia. Tetapi, dan itu sama saja artinya dengan, tidak semua perempuan di dunia yang mengalami masalah ketidaksetaraan gender.
           
Cara ibu saya bersikap di dalam rumah, sama sekali tidak memberikan gambaran bahwa perempuan, sebagai suatu gender liyan, berada di bawah laki-laki. Saya akui, bahwa Negara, bahwa Indonesia, didominasi oleh kaum laki-laki. Walaupun sebagai seorang laki-laki, saya sendiri tidak pernah tertarik dengan tindak-tanduk politik di Negara saya. Lalu, muncul pertanyaan dalam benak saya, apakah semua perempuan menghendaki posisi sebagai politisi/negarawan? Atau, mungkin saja, seperti saya, lebih banyak yang merasa tidak tertarik dengan urusan kekuasaan semacam itu. Sehingga mereka tidak perlu sibuk-sibuk untuk menjelaskan bahwa suatu Negara dikuasai oleh laki-laki dan dengan begitu berarti secara politis perempuan kurang diperhatikan. Huuh, saya pikir saya harus menghindar dari realitas semacam itu.
           
Jika ada yang ingin adil, maka kita harus mengingat, pada Woodstock 1969, ratusan ribu orang dari seluruh penjuru Amerika Serikat terhipnotis oleh penampilan Janis Joplin. Panggung Rock n Roll, adalah satu dimensi di mana kesetaraan gender dan feminisme tidak mesti menjadi bermasalah. Joan Baez, Janis Joplin, Grace Slick (Jefferson Airplane) Melanie Safka, berada di panggung yang sama, di depan penonton yang sama, dan pada ajang yang sama, dan mereka tercatat bersama-sama dalam sejarah Rock n Roll dengan Jimi Hendrix, The Who, Johnny Winter dan Joe Cocker. Lalu apa? Apakah kita harus menghitung jumlah performer pada konser tersebut hanya untuk membuktikan bahwa laki-laki mendominasi. Di dalam Rock n Roll, hanya ada peace and love. Janis Joplin adalah penderita Body Dismorphya, tapi dia mampu menjadi bintang Rock n Roll. Sebagai perempuan, dia sangat pantas untuk dikagumi. Sayangnya, di beberapa seminar tentang perempuan yang pernah saya ikuti, nama Janis Joplin tidak pernah muncul.
          
  Apakah feminisme benar-benar mewakili semua perempuan di alam semesta ini? Ketika Dr. Reyes menjadi pembicara tentang masalah “perempuan” di ruang Pusdema Universitas Sanata Dharma, entah mengapa, pikiran bahwa perempuan adalah alien muncul di benak saya. Ruang tersebut mencipatakan atmosfer yang membuat saya berpikir demikian. Sebagai penolakan, akhirnya saya pergi meninggalkan diskusi tersebut sebelum acara selesai. Sebab, di benak saya Janis Joplin selalu muncul berulang kali untuk mematahkan segala teori tentang masalah ketidaksetaraan gender yang disampaikan dalam diskusi saat itu. Saya merasa harus menjauhkan diri dari persoalan kekuasaan jika hendak melihat perempuan sebagai sesuatu yang tidak berbeda level dengan laki-laki, dan saya 100% yakin akan hal tersebut.

           
Perempuan, menurut saya, tidak semuanya dapat diartikan ke dalam feminisme. Baik Dr. Reyes, maupun Dr. Phil. Dewi Candraningrum, bisa saya saya pastikan, bahwa mereka tidak memiliki Rock n Roll dalam jiwanya.