Cerita soal Budaya
Secara etimologis, kata budaya
berasal dari bahasa latin yaitu, cultura,
yng menunjuk pada pengolahan tanah, perawatan dan pengembangan tanaman atau
ternak. Pengertian tersebut berubah menjadi gagasan tentang keunikan adat
kebisaan suatu masyarakat.
Dalam tulisan Takdir Alisjahbana
yang berjudul “Perkembangan Sejarah
Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Jurusan Nilai-nilai”, dikatakan bahwa
kebudayaan merupakan keseluruhan keperluan-keperluan baru yang berasal dari
budi manusia dan yang menjadi dasar dari keseluruhan hidupnya.
Disini Takdir Alisjahbana menarik
kesimpulan tentang kebudayaan dari hal yang paling mendasar, yaitu perbandingan
antara manusia dengan hewan. Dari pengertian kebudayaan menurut Takdir, melalui
perbandingan antara manusia dan hewan, diketahui bahwa manusia memiliki
keperluan-keperluan yang lebih banyak daripada hewan. Jika hewan hidup
berdasarkan dorongan insting semata, manusia memiliki insting, perasaan, dengan
pikiran, kemauan dan fantasi, yang dinamakan dengan budi.
Dari tulisan Takdir Alisjahbana tersebut,
inti dari penjelasan mengenai kebudayaan-nya mengacu pada manusia sebagai
makhluk yang ber-budaya yang membedakannya dengan makhluk lain. Ini merupakan
pandangan yang paling mendasar mengenai manusia dan budaya.
Karena berkaitan dengan budi yang mendorong
keinginan manusia, maka mau tidak mau budaya memiliki cakupan yang sangat luas.
Keinginan manusia menentukan aktivitas-nya, sehingga budaya, yang berasal dari
akal-budi, tetap hidup di dalam segala hasil dari aktivitas manusia. Baik itu
politik, ekonomi, sosial, seni, agama, dan lain-lain.
Menambahkan apa yang telah ditulis
oleh Takdir Alisjahbana tentang kebudayaan, Fransiskus Simon dalam bukunya yang
berjudul “Kebudayaan dan Waktu Senggang”,
menjelaskan pengertian kebudayaan dengan lebih rinci.
Dalam karyanya tersebut, istilah
kebudayaan dalam pemhaman klasik kerap diduga berasal dari bahasa Sansekerta,
yakni Buddhayah. Kata tersebut
terdiri dari kata “budi” dan “daya”. Budi adalah makna akal, pikiran,
pengertian, paham, pendapat, perasaan. Sedangkan daya mengandung kompleksitas
makna dari yang tersurat dalam budi, juga sebagai himpunan kemampuan dan segala
usaha yang dikerjakan dengan menggunakan hasil pendapat budi untuk memperbaiki
sesuatu dengan tujuan mencapai kesempurnaan.
Kebudayaan dipengaruhi oleh alam dan
lingkungan, begitu juga sebaliknya, alam dan lingkungan-pun juga dipengaruhi
oleh kebudayaan. Perbedaan kondisi alam dan lingkungan menentukan terjadinya
perbedaan-perbedaan dalam kebudayaan, dan perbedaan kebudayaan menentukan perbedaan
kondisi alam dan lingkungan.
Pada musim dingin, orang-orang
Indian menggunakan pakaian yang terbuat dari kulit hewan. Sementara itu,
masyarakat Indonesia pada masa sebelum adanya teknologi media seperti televisi,
internet, radio, dan sebagainya, tidak mengenal dan menggunakan pakaian yang
terbuat dari kulit hewan karena di Indonesia tidak terdapat musim dingin. Alam
mempengaruhi budaya karena manusia harus menyesuaikan diri dengan lingkungan
alam sekitar agar dapat bertahan hidup.
Di sisi lain, budaya manusia turut
mempengaruhi alam dan lingkungan. Orang-orang Indian, untuk beradaptasi dengan
lingkungannya, membutuhkan kulit hewan sebagai bahan untuk membuat pakaian
musim dingin. Untuk mendapatkan kulit hewan, orang-orang Indian harus berburu
hewan yang kulitnya dapat dijadikan pakaian musim dingin. Proses berburu hewan
tersebut, akan merubah kondisi alam.
Jika total jumlah orang Indian di
Benua Amerika adalah 30 juta jiwa, dan minimal setiap orang Indian harus
memiliki 2 pakaian musim dingin, maka akan ada 60 juta hewan yang akan dibunuh
di benua Amerika. Aktivitas tersebut mengurangi populasi dari hewan yang
menjadi buruan, berkurangnya populasi hewan menandai pengaruh budaya manusia
Indian terhadap kondisi alam di benua Amerika.
Kondisi alam juga menuntut manusia
terus bergerak untuk memenuhi kebutuhan hidup. Seiring dengan perkembangan
zaman, kebutuhan hidup manusia-pun mengalami perkembangan-perkembangan pula.
Manusia tidak lagi hanya melakukan pemenuhan akan kebutuhan dasar hidup seperti
makan, tempat tinggal, dan pakaian. Pada tahun 1497, seorang pelaut Venesia
bernama John Cabbot tiba di Amerika Utara dengan mengemban tugas dari Raja
Inggris.
John Cabbot tidak lagi melakukan perjalanan hanya untuk menanggulangi rasa
lapar, melainkan ada kepentingan negara serta kepentingan pribadi dari John
Cabbot sendiri.
Setibanya di Amerika Utara, John
Cabbot beserta kolega bertemu dengan orang Indian yang sudah terlebih dahulu
tinggal di Amerika. Pertemuan tersebut sekaligus mewakili pertemuan dua budaya
yang berbeda, yaitu Inggris dan Indian. Selain berinteraksi dengan alam,
kebudayaan juga melakukan interaksi dengan kebudayaan lain diluar dirinya. Dan
manusia adalah media bagi perkembangan kebudayaan tersebut.
Sebagai media perkembangan
kebudayaan, disadari atau tidak, manusia mengemban tugas yang cukup berat dalam
proses interaksinya. Mempertemukan dua kebudayaan yang berbeda tidak lagi
terlihat praktis dengan melakukan pelayaran menggunakan kapal. Kemajuan
teknologi adalah keberhasilan manusia dalam menyederhanakan “tugas” dengan
ditemukannya alat-alat seperti telepon, radio, televisi, sebagai sarana
penyebaran kebudayaan yang lebih praktis.
Amerika
Serikat Era Perang Vietnam
Setelah Perang Dunia II, tepatnya
tahun 1945, pihak sekutu berhasil menyingkirkan Jepang dari Vietnam. Pada masa
yang sama, Amerika serikat sedang melakukan upaya besar-besaran memerangi
komunis. Setelah Jepang dikalahkan sekutu, Prancis menguasai Vietnam kembali
dengan bantuan ekonomi dari Amerika Serikat untuk dapat bertempur di Vietnam.
Bantuan ekonomi oleh Amerika Serikat
terhadap Prancis ini dilihat sebagai upaya untuk membuka pintu perang dengan
komunisme. Ketika Prancis kalah dalam perang Vietnam pada tahun 1954, Amerika
Serikat masih melanjutkan misinya melawan komunis di Vietnam. Tujuan utama
Amerika Serikat di Vietnam semakin tampak setelah kepergian Prancis dari
Vietnam.
Di Amerika Serikat sendiri, terjadi
protes dari masyarakat, terutama anak muda, terhadap perang di Vietnam setelah
pertempuran yang penuh kengerian ditampilkan di televisi dan dianggap semakin
jauh dari tujuan utama Amerika Serikat di Vietnam sendiri.
Vietnam sendiri terbagi menjadi dua
bagian wilayah, utara wilayah komunis yang dikuasai Ho Chi Minh, sedangkan
selatan wilayah antikomunis dibawah kekuasaan Ngo Dinh Diem. Pada masa
pemerintahan Nixon, militer Amerika Serikat semakin membabi-buta. Pasukan
tentara Amerika Serikat menyerang seluruh wilayah Vietnam, bahkan juga
menginvasi Kamboja pada 1970 untuk memutus jalur persediaan Vietnam Utara, dan
menggunakan negara tersebut untuk perjalanan ke Vietnam Selatan.
Hal ini menimbulkan protes dari
masyarakat Amerika Serikat sendiri, yang ditandai dengan mahasiswa dari banyak
universitas turun ke jalan. Dalam salah satu unjuk rasa di Kent State, Ohio,
dikatakan bahwa pasukan garda nasional yang diturunkan untuk mengatasi keadaan
mengalami panik dan akhirnya membunuh empat orang mahasiswa.
Aksi protes terhadap perang Vietnam
yang oleh anak muda Amerika Serikat melahirkan generasi dengan semangat anti
perang dan cinta damai. Generasi ini kemudian membentuk sekelompok orang yang
bernama ‘Hippies’. Kelompok Hippies ini adalah budaya anti-mainstream yang
lahir di Amerika Serikat yang menolak perang Vietnam.
Kemudian kelompok Hippies ini
mengasingkan diri dan hidup sederhana, melakukan protes terhadap kemapanan
lewat cara hidup sehari-hari seperti; musik, menghisap ganja, tarian, dan seks
bebas.
Hippies merupakan wujud dari
kekecewaan anak-anak muda terhadap pemerintah yang tidak henti-hentinya mengirimkan
pasukan untuk berperang di Vietnam. Kelompok ini melepaskan diri dari kehidupan
bernegara dan memutuskan untuk hidup bebas tanpa terikat oleh hukum yang diatur
negara atau yang disebut juga sebagai Budaya Tandingan. Kelompok ini pula-lah
yang kemudian budaya-nya menjadi populer dan mempengaruhi bahkan ditiru oleh
anak-anak muda di luar Amerika Serikat, termasuk Indonesia.
Budaya
dan Propaganda
Antara budaya dan manusia terdapat
proses interaksi yang saling memberi pengaruh di antara keduanya. Seperti yang
dikatakan Webber dalam Paradigma Definisi Sosial-nya, bahwa manusia merupakan
pencipta kebudayaan. Barangkali pandangan Webber ini bersifat antroposentris
dan menganggap posisi manusia berada di atas kebudayaan. Namun terdapat
kesenjangan antara manusia dan kebudayaan dari apa yang dikatakan oleh Webber
tersebut, sementara manusia dan kebudayaan sendiri adalah dua hal berbeda yang
tidak saling mendeterminasi. Melainkan sama-sama memberi pengaruh yang setara
antara keduanya.
Pada satu sisi, manusia terlahir
pada satu lingkungan tertentu yang mempengaruhi sikapnya, di sisi lain, sesuai
dengan hakikatnya sebagai makhluk yang akan terus bergerak, manusia juga
memiliki peluang untuk memberi pengaruh terhadap suatu budaya. Misalnya peristiwa
merantau pada budaya Minang, ini akan menyebabkan terjadinya pertemuan antara
dua kebudayaan yang berbeda. Sehingga muncul kemungkinan akan lahir budaya baru
yang terjadi akibat pertemuan dua budaya tersebut.
Beralih pada persoalan lain, yaitu
propaganda. Propaganda merupakan bagian dari masyarakat yang berkaitan dengan
kebudayaan atau bahkan terlahir dari kebudayaan itu sendiri. Sejarahnya,
propaganda pertama kali muncul pada 1916 di Amerika saat Presiden Widrow Wilson
melakukan Operasi Propaganda pertama yang dilakukan oleh pemerintahan modern
pertama.
Dia memenangkan pemilihan presiden untuk pertama kali dengan platform “Perdamaian Tanpa Penaklukan”.
Itu terjadi ditengah berkecamuknya Perang Dunia I. Menurut Noam Chomsky, rakyat
Amerika Serikat pada masa itu sangat anti-perang dan merasa tidak ada alasa
untuk terlibat dalam ‘Perang Eropa’ yang
sedang berkecamuk, padahal waktu itu pemerintahan Wilson sebenarnya terlibat
dan punya andil dalam perang itu.
Pertanyaan Chomsky tersebut dapat dipertegas
dengan apa yang ditulis di dalam buku berjudul “Garis Besar Sejarah Amerika”, dimana presiden Wilson mengeluarkan
peringatan bahwa Amerika tidak akan meninggalkan hak tradisionalnya sebagai
negara netral yang dapat mengadakan perdagangan laut lepas. Pernyataan Wilson
ini merupakan tanggapan atas penentangan Inggris dan Jerman terhadap pelayaran
Amerika di laut lepas.
Kemudian pemerintahan Wilson membuat
komisi propaganda resmi pemerintah, Creel
Commission. Dalam waktu 6 bulan, komisi ini berhasil merubah masyarakat
anti-perang menjadi massa yang histeris dan haus perang, yang bernafsu
menghancurkan semua yang berbau Jerman.
Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa
propaganda merupakan sesuatu yang lahir dari budaya yang berkepentingan untuk
mempertahankan dirinya karena tuntutan kondisi zaman. Serta bagaimana
kebudayaan menunjukkan pengaruhnya kepada dunia lewat propaganda. Dengan kata
lain, propaganda merupakan cara kebudayaan untuk menunjukkan eksistensi dengan
alat-alatnya seperti platform dan media
massa.
Generasi
Muda Indonesia 1945-1960an
Setelah Soekarno-Hatta
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, yang tidak
terlepas dari pengaruh generasi muda di tandai dengan peristiwa Rengasdengklok,
bangsa Indonesia kembali disibukkan dengan beberapa masalah yang mengancam
kemerdekaan. Masih berkuasanya Belanda di Papua Barat, dan dilanjutkan dengan
Agresi Militer I dan II membuat seluruh pejuang kemerdekaan belum berhenti dari
“tugas-tugasnya”.
Pada masa itu, perjuangan mempertahankan
kemerdekaan sangat mendapatkan pengaruh yang sangat besar dari golongan muda. Para
pemuda dituntut untuk bergerak memperjuangkan kebebasan ditengah kondisi
lingkungan yang berada dibawah tekanan kolonial. Pihak kolonial melakukan
penindasan terhadap masyarakat Indonesia yang disebabkan oleh aturan perang
pada saat itu, dimana negara yang kalah dalam perang harus memberikan wilayah
jajahannya kepada negara pemenang.
Namun, di pihak Indonesia sendiri
telah terjadi perkembangan-perkembangan pemikiran seiring dengan munculnya
sekolah-sekolah berpendidikan barat pada masa kolonial Belanda. Sekolah-sekolah
tersebut memberi kesadaran baru kepada anak-anak muda Indonesia yang mendapat
kesempatan belajar tentang prinsip-prinsip kebebasan ala barat.
Bersama dengan masuknya prinsip
humanisme ke Indonesia yang di bawa dari negeri Belanda oleh Douwes Dekker,
yang menyebarkan pengaruhnya lewat Organisasi Tiga Serangkai.
Perjalanan waktu ditambah dengan
kondisi seperti ini pada akhirnya merubah pola pikir pemuda Indonesia dan
mengerti tentang pentingnya kebebasan individu dan bangsa. Sehingga keadaan
yang dihadapi bangsa Belanda ketika ingin menguasai kembali Indonesia selepas
dari Jepang sangatlah berbeda. Belanda menemukan perlawanan, baik dari segi
militer, maupun secara politik.
Paling tidak ada dua hal mengenai
anak-anak muda yang dapat dilihat dari situasi Indonesia pada masa tersebut,
pertama golongan pemuda yang bergerak di bidang militer, kedua golongan pemuda
yang bergerak di bidang intelektual. Kedua hal ini merupakan kebudayaan yang
muncul setelah terjadi pertemuan antara budaya barat dan budaya Indonesia yang
bermacam-macam pula.
Golongan pemuda militer dan golongan
pemuda intelektual merupakan fenomena budaya di Indonesia pada masa pasca
proklamasi. Kedua golongan inilah yang kemudian melakukan perlawanan terhadap
pihak Belanda secara militer dan politik.
Gelombang-gelombang perlawanan
semacam ini terus berjalan hingga pada masa Agresi Militer I dan II. Setelah
Agresi Militer, golongan pemuda yang bergerak di bidang militer kehabisan
“tugas” dan masalah-masalah kenegaraan diambil alih oleh golongan pemuda
intelektual dengan berlangsungnya perjanjian-perjanjian tentang kedaulatan,
hutang, pembebasan Papua Barat, KAA, dan lain sebagainya.
Perubahan ini mengaburkan cerita
tentang kemiliteran di Indonesia yang sudah tidak lagi kontributif karena
segala macam bentuk perjuangan berpindah-haluan ke bidang intelektual. Di masa
ini, para akademisi muda Indonesia memegang peran penuh dalam hal urusan kenegaraan.
Indonesia memasuki era politik dan
melemahkan peran militer di struktur politik kekuasaan Indonesia. Dengan
diangkatnya Soekarno sebagai presiden pertama Indonesia serta dengan prinsip
anti-imperialisme-nya mengarahkan Indonesia pada komunisme.
Kecenderungan seperti ini
berlangsung terus hingga akhirnya pada tanggal 30 September 1965 PKI diberantas
oleh pihak militer karena anggapan-anggapan negatif yang dilemparkan kepada
Soekarno dan PKI. Soeharto berperan penting pada perubahan besar yang terjadi
di Indonesia pada masa itu dengan lahirnya Orde Baru.
Tuduhan pihak militer terhadap Orde
Lama yang disertai dengan kudeta kekuasaan ini bisa jadi karena kegerahan
militer atas tak adanya peran penting bagi mereka dalam aktivitas kenegaraan.
Dengan intervensi dari negara-negara yang berperang melawan komunisme seperti
Amerika Serikat, militer di bawah pimpinan Soeharto mendapatkan cara untuk
merebut kendali kekuasaan di Indonesia.
Beberapa tahun pasca runtuhnya Orde
Lama, pucuk kekuasaan dipegang penuh oleh golongan tua yang militeristik.
Kudeta 30 September 1965 menimbulkan sikap anti-komunis di kalangan
pemerintahan, sehingga apapun simbol-simbol yang identik atau di identikkan
sebagai PKI mendapat perlakuan yang sadis dari penguasa Orde Baru.
Hal ini menyebabkan terpenjaranya
prinsip-prinsip kebebasan sampai 30 tahun kemudian. Ideologi di Indonesia di
dominasi secara militer oleh penguasa. Pemerintah menyebarkan pengaruhnya lewat
propaganda-propaganda anti PKI. Tapi, sikap anti PKI ini seakan-akan hanya
menjadi topeng dari penguasa Orde Baru, karena pada kenyataannya banyak terjadi
pelanggaran HAM dan penyingkiran pengikut PKI menjadi kabur dengan banyaknya
orang-orang yang belum tentu PKI turut serta terseret dalam proses penyingkiran
tersebut.
Bahkan pemerintahan Orde Baru
terkesan bukan berperang melawan komunis, melainkan hanya menyingkirkan
pihak-pihak intelektual yang memiliki kemungkinan mengaburkan kembali peran
militer dalam politik kekuasaan di Indonesia. Sehingga kebebasan di Indonesia
pada masa itu terancam bahkan terpenjara karena pemerintah Orde Baru
menyusupkan teropong pengintainya di setiap institusi yang ada.
Tokoh-tokoh angkatan tua pro-komunis
telah disingkirkan oleh Soeharto dan kolega, yang tersisa adalah angkatan muda
yang terdiri dari mahasiswa yang memiliki potensi untuk melakukan perlawanan
menanggapi terpenjaranya kebebasan pada masa Orde Baru. Meskipun belum tampak
perlawanan oleh angkatan muda ini, namun sebagai ahli strategi militer dan di
terapkan dalam mempertahankan kekuasaan, Soeharto sangat mungkin sudah membaca
situasi yang akan mengancam posisinya. Dan sangat mungkin pula pada saat itu
Soeharto sudah mulai melakukan kontrol terhadap angkatan muda. Dan itu terbukti
pada tahun-tahun berikut pemerintahannya.
Masuknya
Budaya Amerika Serikat
Pada
saat situasi negara dikendalikan oleh kediktatoran Orde Baru yang membuka jalan
masuknya sistem kapitalisme barat, dan di mulai dengan ditandatanganinya
undang-undang tentang investasi asing, anak-anak muda di Indonesia terkena
imbas dari dikenalkannya budaya-budaya Amerika lewat media.
Di satu sisi, pihak penguasa
disibukkan dengan urusan ekonomi dan politik, di sisi lain, anak-anak muda
Indonesia di kota-kota besar pada umumnya saat itu disibukkan dengan
musik-musik beserta fashion ala Amerika Serikat yang berkembang pesat.
Musik-musik barat masuk ke Indonesia
dengan menampilkan ikon-ikon-nya ke hadapan anak-anak muda Indonesia di
tahun-tahun 70-an. Karena pada tahun tersebut, di Amerika Serikat sendiri dunia
musik tengah menjadi polemik. Kemunculan Budaya Tandingan yang juga disebut
dengan Hippies, serta musisi-musisi seperti John Lennon, Jimi Hendrix, dan
Janis Joplin, membuat gerah pemerintah Amerika Serikat yang pada saat itu
dipimpin oleh Nixon dan sedang bergulat dalam perang Vietnam.
Musisi-musisi dan Hippies tersebut
melakukan perlawanan terhadap kebijakan pemerintahan yang masih mengirim
tentara untuk berperang di Vietnam. Perlawanan yang dilakukan diwujudkan lewat
konser-konser musik. Konser musik yang paling berpengaruh di Amerika Serikat
bahkan sampai saat ini adalah Woodstock tahun 1969. Sebuah konser yang
dilakukan selama 3 hari di New York dan membawa semangat perdamaian dan
kebebasan. Dan konser yang dihadiri oleh John Lennon sebagai performer di salah satu kota di Amerika
Serikat sebagai bentuk gugatan atas ditahannya John St. Clair karena tertangkap
basah memberikan marijuana kepada seorang polisi wanita yang menyamar juga
merupakan bentuk perlawanan tersebut.
Di Amerika Serikat, fenomena
tersebut merupakan manifestasi dari generasi muda dalam menanggapi kondisi
negara yang dianggap tidak menghargai hak asasi manusia. Dan memunculkan
ikon-ikon yang banyak digemari dan bahkan menjadi panutan bagi generasi muda
Amerika Serikat.
Pada tahun 1970, tahun ke-5 dari
pemerintahan Orde Baru, selain menanam modal di area perekonomian Indonesia,
Amerika Serikat juga sudah mengirim trend
yang ada disana ke Indonesia lewat media-media. Sehingga aksi-aksi protes yang
dilakukan oleh musisi-musisi di Amerika Serikat lewat musik dan gaya hidup,
disadari atau tidak, telah menjadi komoditas dagang di Indonesia.
Gejala besar pada masa itu adalah
generasi muda Indonesia, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung,
Bali, dan Surabaya, dibanjiri dengan kebudayaan barat lewat musik dan gaya
hidup lainnya yang menjelma menjadi kompensasi dari permasalahan politik dan
kebebasan yang mereka alami.
Hal ini menimbulkan dua hal yang
merugikan pihak Indonesia sendiri. Pertama, masuknya investasi asing secara
besar-besaran merusak alam di Indonesia, seperti yang terjadi di Papua oleh PT.
Freeport. Kedua, ikon-ikon yang dijual oleh Amerika Serikat ke Indonesia lewat
aksi-aksi perlawanan musisi dan Hippies semakin memacu semangat generasi muda
Indonesia untuk melakukan perlawanan serupa kepada pemerintah Orde Baru.
Sementara, Amerika Serikat tidak rugi sepeser-pun.
Dalam sebuah penelitian, ditemukan
fakta bahwa musik barat menjadi musik yang paling diminati oleh generasi muda
pada era Orde Baru. Seperti yang dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Data penjualan musik rekaman di
Indonesia (per unit) tahun 1996-1999:
Jenis
|
1996
|
1997
|
1998
|
1999 (Okt)
|
Kaset Indonesia
|
65,396,589
|
49,794,676
|
27,635,739
|
30,100,077
|
Kaset Luar Negeri (Barat)
|
11,374,089
|
14,005,340
|
9,637,200
|
11,395,590
|
CD Indonesia
|
265,475
|
778,370
|
315,910
|
532,900
|
CD Luar Negeri
|
474,980
|
2,053,840
|
2,732,410
|
2,086,290
|
VCD Karaoke
|
19,500
|
701,870
|
1,335,390
|
4,196,590
|
LD Karaoke
|
21,375
|
21,975
|
2,205
|
1,05 0
|
Total
|
77,552,008
|
67,356,071
|
41,658,674
|
48,312,497
|
Dari data tersebut, dalam rentang
waktu hampir tiga dekade semenjak awal pemerintahan Orde Baru, kebudayaan
Amerika Serikat (musik) terbukti sangat mempengaruhi generasi muda di
Indonesia, khususnya di kota-kota besar. Penjualan musik lokal mengalami
penurunan hampir separuh dalam kurun waktu 3 tahun. Sementara itu penjualan
musik luar negeri selalu mengalami pertambahan setiap tahunnya. Ini menandai
pengaruh budaya Amerika Serikat yang berkembang pesat di kalangan generasi muda
Indonesia.
Proses
Masuknya Budaya Amerika Serikat di Indonesia
Melalui musik, Amerika Serikat
mempengaruhi generasi muda Indonesia. Musik menjadi sarana untuk mengirim
ikon-ikon yang dipuja-puja oleh generasi muda Indonesia (Xenosentrisme). Dalam
penelitian yang sama, apa yang disebut dengan Xenosentrime di Indonesia tidak
dapat dibantah lagi ketika muncul pernyataan mengenai alasan anak-anak muda
menyukai musik luar negeri (Amerika Serikat). Pernyataan “ya, suka aja,” merupakan
alasan dominan yang didapatkan dari penelitian.
Musik-musik dari Amerika Serikat
menggunakan sarana yang sangat tepat untuk mempengaruhi generasi muda
Indonesia. Musik, media, kondisi politik, dan kemudaan dipertemukan sekaligus
dijadikan faktor pendukung perdagangan sehingga menjadi menguntungkan. Pada
kondisi seperti itulah muncul apa yang disebut dengan Xenosentrisme, pemujaan
kepada budaya asing melalui ikon-ikon yang dimunculkan.
Fenomena ini juga membuktikan bahwa
media sangat menentukan trend, dan
dalam kasus ini, menenggelamkan wajah musik-musik lokal seperti kroncong, dangdut, gamelanan, yang dianggap tidak bergengsi. Kemudian menjadi sangat
jelas bahwa generasi muda di Indonesia pada tahun 70-an, pada umumnya di
kota-kota besar, dari sudut pandang penulisan ini, adalah dimanfaatkan oleh
Amerika Serikat karena memberikan keuntungan ekonomi.
Kemunculan
Xenosentrisme di Indonesia
Penolakan terhadap kebijakan
pemerintah yang pro-Amerika Serikat oleh generasi muda pada masa Orde Baru
menjadi bias makna karena keberhasilan Amerika Serikat menyusupkan
kebudayaannya. Hal ini tidak mudah untuk disadari, seiring dengan gejolak
negara pada masa itu yang sangat mempengaruhi.
Namun, hal yang patut untuk
dipersoalkan adalah; apakah Xenosentrisme bisa dianggap sebagai fenomena
negatif karena terpengaruhnya budaya Indonesia oleh kebudayaan Amerika Serikat?
Yang perlu diketahui sebelum
menjawab pertanyaan diatas adalah sifat dari kebudayaan; dinamis, dan sebagai
tambahan, kebudayaan terlepas dari penilaian negatif atau positif, benar dan
salah, baik dan buruk. Kebudayaan mengarah kepada universalitas seiring dengan
perkembangan zaman, dimana kemajuan teknologi semakin memperpendek jarak antara
satu budaya dengan budaya lainnya.
Sampainya
kebudayaan Amerika Serikat ke Indonesia semakin memperjelas sifatnya.
Bergeraknya waktu dan perkembangan zaman sangat memungkinkan terjadinya
universalitas kebudayaan. Dengan kata lain, hanya akan ada beberapa kebudayaan
besar yang berkembang di bumi, tergantung pada wawasan dan keinginan dasar dari
individu.
Ketika kebudayaan dinilai sebagai
hal yang universal, maka tidak ada lagi yang disebut kebudayaan lokal. Karena
kebudayaan bergerak menembus batas-batas geografis wilayah. Setiap individu di
negara manapun, dapat menikmati dan menyukai kebudayaan manapun seiring dengan
perkembangan wawasan.
Sehingga tidak terdapat lagi
perasaan untuk memelihara kebudayaan yang dianggap sebagai milik tanah air-nya
sendiri. Dengan sifatnya yang universal, tiap kebudayaan di posisikan sama,
tanpa pengistimewaan tertentu. Manusia menjadi pusat dari kecenderungan budaya
yang dipilih.
Prinsip bahwa manusia memiliki
kebebasan dan mencapai eksistensinya berdasarkan ide/ratio,
dengan kata lain segala sesuatu berasal dari manusia, berlaku dalam proses
perkembangan budaya. Sebagai tambahan, individualitas dan kebudayaan adalah dua
hal yang berbeda namun saling terkait dan mendasari segala perubahan budaya.
Generasi Muda di Indonesia pada
tahun 70-an, disadari atau tidak, mengalami proses kebudayaan yang universal.
Mempertahankan kebudayaan lokal dengan cara memberi sekat antara satu
kebudayaan dengan yang lain dengan menggunakan prinsip wilayah geografis akan
menjadi tidak efektif karena tidak sesuai bahkan bertentangan dengan
perkembangan zaman.
Meskipun dalam beberapa hal fenomena
generasi muda Indonesia tahun 70-an mendapat kecaman dari pihak penguasa Orde
Baru, pergerakan budaya tidak akan mengalami stagnasi. Pengalienasian
orang-orang berambut gondrong (yang dipengaruhi oleh budaya Hippies), pada
umumnya anak muda, dari masyarakat dengan menutup kesempatan dalam urusan
administrasi kenegaraan buktinya tidak menghapus perkembangan “budaya Amerika”
di Indonesia. Bahkan sampai saat ini.
Jika Xenosentrisme memiliki konotasi
negatif dari fenomena yang terjadi pada generasi muda Indonesia yang pada
umumnya menyukai musik barat, hal tersebut dapat dibantah oleh hakikat
kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan sebagai sesuatu yang universal mengubur
pandangan negatif tentang generasi muda Indonesia yang di asumsikan melakukan
pemujaan terhadap kebudayaan asing. Dan menjelaskan fakta bahwa generasi muda
Indonesia tahun 70-an lebih menyukai musik Amerika Serikat dibanding musik
lokal hanya masalah pilihan semata.
Dengan universalitasnya, dan
menanggalkan konotasi negatif atas kebudayaan, manakah yang bisa disebut
sebagai “kebudayaan asing”?
Sekilas akhiran
Pergerakan
kebudayaan harus disadari sebagai sesuatu yang bebas dan tak dapat dibendung
dengan peraturan-peraturan universal apalagi batas wilayah geografis. Seperti
yang terjadi pada pembahasan diatas, pelarangan-pelarangan dari rezim Orde Baru
terhadap budaya Amerika Serikat yang mendukung perlawanan dari generasi muda
tidak menghalangi gerak dari kebudayaan.
Konotasi negatif pada istilah
‘budaya asing’ sebagai sesuatu yang harus disikapi secara protektif bukanlah
jalan keluar untuk menjaga kemurnian ‘budaya lokal’. Proteksi semacam ini
bahkan bertentangan dengan prinsip kebudayaan yang dinamis.
Sebagai hasil karya pemikiran
manusia, maka filterisasi atas masuknya budaya baru sepenuhnya adalah kuasa
individu, manusia. Kebudayaan terlepas dari aturan-aturan universal yang
seolah-olah memberikan identitas permanen pada suatu kebudayaan tertentu.
Selain tidak sesuai dengan prinsip kebudayaan, hal ini juga membatasi kebebasan
ide manusia sebagai penghasil kebudayaan itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar