Rabu, 08 Februari 2017

I

JAM BEKER

"Siapapun boleh membacanya, mengomentarinya, tetapi, tolong, jangan tanyakan tentang apa."

Jangan tunjukkan kebencian, sedikitpun. Jangan. Jangan pernah. Tutupi sebisa mungkin. Sebisa mungkin. Berikan kepada Tuhan. Tuhan? Hahaha. Rasa takut, ia muncul, larut, dan menyebar hingga ke ujung rambut. Disitulah aku berpikir bahwa aku akan gila atau sudah gila. Kalimat yang kubuat diatur dan dipenjara. Oleh negara? Rasa takut, ia muncul, larut, dan rasa nyeri muncul di otot lengan tangan kiriku. Manusia memiliki batasnya masing-masing. Aku ragu, beginikah sakitnya berada di ambang batas. Paranoid. Aku lelah, memikirkan tidur. Aku tidak menggunakan apa-apa lagi untuk "melarikan diri" sudah sejak setahun yang lalu. Tapi, mengapa aku merasa bahwa arwahku sedang ingin keluar dari dalam tubuh ini? Ya, usiaku 24 tahun tahun ini. Lahir bulan September tanggal 25. Aku seorang Libra. Lihat, timbangan itu membuatku resah. Aku lahir di tanggal dan bulan yang sama dengan William Faulkner.
Orang lain adalah kehidupan yang aneh. Aku tidak tahu, karena mereka, orang lain itu, aku menghembuskan nafas berat yang terdengar seperti tawa. Namun, tawa sinis yang sudah sangat sering kulakukan. Teman? Tanpa mereka, aku mungkin akan mati, dengan mereka, aku tersiksa. Bayangan seorang perempuan bijak berkelebat di dalam pikiranku dan berkata, "cobalah berpikir positif", aku tidak ingin mengikuti perintahnya karena aku takut akan jatuh cinta padanya. Firasatku pun mengatakan, perempuan seperti itu, siapapun dia, akan pergi meninggalkanku. Perempuan itu, sepertihalnya teman-temannya, perempuan-perempuan lain. Aku bisa mencintai mereka satu per satu dengan atau tanpa alasan, namun, lebih baik aku tidak memikirkan mereka semua.
Aku tidak ingin berhenti memikirkan mereka, para perempuan. Bahkan, aku rela menghabiskan seluruh malam hanya untuk mengutarakan perasaanku tentang mereka. Bagaimana mereka jika sedang tersinggung, bagaimana mereka ketika berkhianat, bagaimana mereka ketika melakukan hal-hal jahat yang tak pernah dilakukan oleh siapapun di dunia ini kecuali oleh mereka sendiri. Dengan sinis dan jujur kukatakan, itulah yang membuat mereka tampak sempurna. Namun, pada kenyataannya, aku tidak ingin membuat mereka marah.
Beberapa perempuan yang kukenal, adalah perempuan-perempuan rumit dan terlalu mudah untuk dicintai. Aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak menduga-duga. Aku mencoba untuk berpikir positif, bahwa, mereka akan dengan mudah mencintaiku sepertihalnya diriku terhadap mereka, sehingga aku setidaknya bisa merasakan sedikit ke-normal-an dalam hidup, meskipun aku tidak dapat mengerti sepenuhnya apa itu normal. Kondisi itu, membuat bayangan-bayangan berkelebat di dalam pikiranku: Ben Kingsley sebagai Mahatma Gandhi; poster John Lennon setelah The Beatles berakhir; tulisan "televisi"; Misty Mountain yang sekarat di dalam film Nice Guy, seorang anak kecil yang menyelimutinya dengan baju tidur, David Letterman dan Howard Stern. Aku tidak bisa menghentikan bayangan-bayangan itu. Bayangan-bayangan itu kemudian digantikan oleh setumpuk ide yang berserakan yang kucoba untuk menatanya.
Baiklah. Aku mencoba untuk jujur dengan cerita ini. Hal yang sebenarnya ingin aku ceritakan adalah cerita tentang kekacauan yang muncul akibat pandangan umum yang sangat keras dan dipenuhi dengan rambu-rambu intelektualitas. Kekacauan itu sendiri terjadi di dalam diriku seperti kutukan yang akan terus hadir selama aku mencoba melawan dengan tidak mau mempercayai penyebab-penyebabnya.
Aku lahir di sebuah kota kecil. Aku pertama kali bersentuhan dengan fiksi pada saat berusia 11 tahun dan tidak berhenti membaca fiksi sampai sekarang. Namun, tidak seperti karya fiksi yang sudah kubaca, aku selalu gagal menciptakan karakter di dalam fiksiku sendiri. Aku sudah mencoba dan bisa, namun kugagalkan karena membuatku tidak dapat menikmati hidup. Karakter yang muncul dalam fiksiku, duniaku, kubiarkan tidak sempurna. Kubiarkan mereka muncul dari kebetulan-kebetulan dan tidak kutuntut diriku untuk menjelaskan apalagi mempertanggungjawabkan kehadiran mereka. Dengan demikian, aku dapat menyadari caraku dalam memandang dunia.
Menurutku, ada dua dunia. Pikiran dan realitas. Sebagai pribadi, aku merasa utuh di keduanya. Sebagai bagian dari masyarakat, aku merasa bahwa karakter-karakter lain yang muncul secara kebetulan di dalam fiksiku adalah sekumpulan ketidaksempurnaan, orang lain. Begitulah cara pikiranku menyerap dunia luar ke dalam dirinya.
Seorang perempuan yang menjadi salah satu karakterku, tidak mengerti dengan beberapa lembar naskah yang kuberikan padanya sekalipun jika perempuan itu jatuh cinta padaku. Ia menatap naskah itu, wajahnya tetap cantik dengan rambut panjangnya yang terurai menutupi sebagian wajahnya, ia tersenyum dengan tulus dan penuh cinta, tetapi aku tidak yakin, apakah ia mengerti dengan apa yang sedang dihadapinya, naskah itu. Aku terpaksa membuatnya tersenyum manis demi menghibur diriku sendiri. Hanya senyum.
Ia tahu bahwa naskah yang kuberikan adalah cerita yang aneh, sesekali air mukanya berubah, lalu kuminta kembali naskah itu dengan keramahan naluriahku. "Apakah kamu kebingungan?", tanyaku. Dia mengatakan bahwa ceritaku bagus dan membuat dirinya semakin jatuh hati padaku. Aku adalah seorang pria dewasa sekarang, dan aku berhak sepenuhnya atas hidupku. Ia mengatakan bahwa ia dapat memaklumi setiap hal yang kutulis dalam naskah itu, berpikir sejenak, lalu ia berkata, "Aku dapat menerima apapun yang kau tulis."

Aku mengalihkan perhatian kepada naskah yang kini sudah berada di pangkuanku. Beberapa menit tenggelam ke dalam naskah, aku mulai merasa aneh perempuan itu masih duduk di sampingku, walaupun dengan sepenuh hati aku menginginkan ia duduk di sana selama mungkin. Terserah, apakah ia kemudian bermain dengan androidnya, dia harus duduk di sana. Dan ia memang hanya duduk di sana, sambil bermain dengan salah satu aplikasi androidnya. Sekarang, sepasang manusia tengah duduk bersama dimana kertas HVS bertuliskan cerita aneh bersanding dengan aplikasi instagram dari sebuah alat komunikasi zaman sekarang. Pukul delapan pagi, sebuah jam beker berdering: mataku terbuka karena deringnya, dan hal pertama yang aku lihat adalah android milik karakter perempuanku berada di atas naskah yang sedang kutulis. Namun, jam beker yang berdering itu tidak membangunkannya, perempuan itu.

***
MAROON CURTAIN

Ia masih tertidur dan kubiarkan ia tetap seperti itu karena aku ingin membiarkan mimpinya mengalir begitu saja, atau juga karena ia sendiri mungkin tidak ingin kehilangan mimpinya yang mengalir begitu saja. "Suatu saat, engkau akan kuberi nama." ucapku padanya meskipun aku tahu bahwa ia sedang tertidur. Perempuan itu hanya bernafas dan bernafas. Tubuhnya membelakangi jendela bertirai maroon. Aku melihat cahaya matahari di sana. Kupejamkan mataku namun tidak jatuh tertidur.
"Jangan katakan bahwa aku lelah", sekali lagi aku berbicara di hadapan seorang perempuan yang sedang tertidur. Namun, kali ini ia mendengarnya. Aku mendengar suara senyumnya, "hmmmh". Ini situasi yang aneh, namun aku menahan diri untuk tidak mengernyitkan dahi. Sebab, mataku berada tepat di depan matanya. Kasur di bawah tubuhku telah menjebak diriku ke dalam situasi yang aneh ini. Aku ingin melarikan diri.
"Aku harus bekerja." Ucapku. Sejujurnya, karakterku yang satu ini sangat menyiksaku, mengikat pikiranku. Apakah dia sebenarnya? "I wanna go home." ucap perempuan itu kemudian. Ia beranjak dari kasur, mengganti pakaiannya, dan pergi.