JAM
BEKER
"Siapapun boleh membacanya, mengomentarinya,
tetapi, tolong, jangan tanyakan tentang apa."
Jangan
tunjukkan kebencian, sedikitpun. Jangan. Jangan pernah. Tutupi sebisa mungkin.
Sebisa mungkin. Berikan kepada Tuhan. Tuhan? Hahaha. Rasa takut, ia muncul,
larut, dan menyebar hingga ke ujung rambut. Disitulah aku berpikir bahwa aku
akan gila atau sudah gila. Kalimat yang kubuat diatur dan dipenjara. Oleh
negara? Rasa takut, ia muncul, larut, dan rasa nyeri muncul di otot lengan
tangan kiriku. Manusia memiliki batasnya masing-masing. Aku ragu, beginikah
sakitnya berada di ambang batas. Paranoid. Aku lelah, memikirkan tidur. Aku
tidak menggunakan apa-apa lagi untuk "melarikan diri" sudah sejak
setahun yang lalu. Tapi, mengapa aku merasa bahwa arwahku sedang ingin keluar
dari dalam tubuh ini? Ya, usiaku 24 tahun tahun ini. Lahir bulan September
tanggal 25. Aku seorang Libra. Lihat, timbangan itu membuatku resah. Aku lahir
di tanggal dan bulan yang sama dengan William Faulkner.
Orang
lain adalah kehidupan yang aneh. Aku tidak tahu, karena mereka, orang lain itu,
aku menghembuskan nafas berat yang terdengar seperti tawa. Namun, tawa sinis
yang sudah sangat sering kulakukan. Teman? Tanpa mereka, aku mungkin akan mati,
dengan mereka, aku tersiksa. Bayangan seorang perempuan bijak berkelebat di
dalam pikiranku dan berkata, "cobalah berpikir positif", aku tidak
ingin mengikuti perintahnya karena aku takut akan jatuh cinta padanya.
Firasatku pun mengatakan, perempuan seperti itu, siapapun dia, akan pergi meninggalkanku.
Perempuan itu, sepertihalnya teman-temannya, perempuan-perempuan lain. Aku bisa
mencintai mereka satu per satu dengan atau tanpa alasan, namun, lebih baik aku
tidak memikirkan mereka semua.
Aku
tidak ingin berhenti memikirkan mereka, para perempuan. Bahkan, aku rela
menghabiskan seluruh malam hanya untuk mengutarakan perasaanku tentang mereka.
Bagaimana mereka jika sedang tersinggung, bagaimana mereka ketika berkhianat,
bagaimana mereka ketika melakukan hal-hal jahat yang tak pernah dilakukan oleh
siapapun di dunia ini kecuali oleh mereka sendiri. Dengan sinis dan jujur
kukatakan, itulah yang membuat mereka tampak sempurna. Namun, pada
kenyataannya, aku tidak ingin membuat mereka marah.
Beberapa
perempuan yang kukenal, adalah perempuan-perempuan rumit dan terlalu mudah
untuk dicintai. Aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak menduga-duga. Aku
mencoba untuk berpikir positif, bahwa, mereka akan dengan mudah mencintaiku
sepertihalnya diriku terhadap mereka, sehingga aku setidaknya bisa merasakan
sedikit ke-normal-an dalam hidup, meskipun aku tidak dapat mengerti sepenuhnya
apa itu normal. Kondisi itu, membuat bayangan-bayangan berkelebat di dalam
pikiranku: Ben Kingsley sebagai Mahatma Gandhi; poster John Lennon setelah The Beatles berakhir; tulisan
"televisi"; Misty Mountain yang sekarat di dalam film Nice Guy, seorang anak kecil yang
menyelimutinya dengan baju tidur, David Letterman dan Howard Stern. Aku tidak
bisa menghentikan bayangan-bayangan itu. Bayangan-bayangan itu kemudian
digantikan oleh setumpuk ide yang berserakan yang kucoba untuk menatanya.
Baiklah.
Aku mencoba untuk jujur dengan cerita ini. Hal yang sebenarnya ingin aku
ceritakan adalah cerita tentang kekacauan yang muncul akibat pandangan umum
yang sangat keras dan dipenuhi dengan rambu-rambu intelektualitas. Kekacauan
itu sendiri terjadi di dalam diriku seperti kutukan yang akan terus hadir
selama aku mencoba melawan dengan tidak mau mempercayai penyebab-penyebabnya.
Aku
lahir di sebuah kota kecil. Aku pertama kali bersentuhan dengan fiksi pada saat
berusia 11 tahun dan tidak berhenti membaca fiksi sampai sekarang. Namun, tidak
seperti karya fiksi yang sudah kubaca, aku selalu gagal menciptakan karakter di
dalam fiksiku sendiri. Aku sudah mencoba dan bisa, namun kugagalkan karena
membuatku tidak dapat menikmati hidup. Karakter yang muncul dalam fiksiku,
duniaku, kubiarkan tidak sempurna. Kubiarkan mereka muncul dari
kebetulan-kebetulan dan tidak kutuntut diriku untuk menjelaskan apalagi
mempertanggungjawabkan kehadiran mereka. Dengan demikian, aku dapat menyadari
caraku dalam memandang dunia.
Menurutku,
ada dua dunia. Pikiran dan realitas. Sebagai pribadi, aku merasa utuh di
keduanya. Sebagai bagian dari masyarakat, aku merasa bahwa karakter-karakter
lain yang muncul secara kebetulan di dalam fiksiku adalah sekumpulan
ketidaksempurnaan, orang lain. Begitulah cara pikiranku menyerap dunia luar ke
dalam dirinya.
Seorang
perempuan yang menjadi salah satu karakterku, tidak mengerti dengan beberapa
lembar naskah yang kuberikan padanya sekalipun jika perempuan itu jatuh cinta
padaku. Ia menatap naskah itu, wajahnya tetap cantik dengan rambut panjangnya
yang terurai menutupi sebagian wajahnya, ia tersenyum dengan tulus dan penuh
cinta, tetapi aku tidak yakin, apakah ia mengerti dengan apa yang sedang
dihadapinya, naskah itu. Aku terpaksa membuatnya tersenyum manis demi menghibur
diriku sendiri. Hanya senyum.
Ia
tahu bahwa naskah yang kuberikan adalah cerita yang aneh, sesekali air mukanya
berubah, lalu kuminta kembali naskah itu dengan keramahan naluriahku.
"Apakah kamu kebingungan?", tanyaku. Dia mengatakan bahwa ceritaku
bagus dan membuat dirinya semakin jatuh hati padaku. Aku adalah seorang pria
dewasa sekarang, dan aku berhak sepenuhnya atas hidupku. Ia mengatakan bahwa ia
dapat memaklumi setiap hal yang kutulis dalam naskah itu, berpikir sejenak,
lalu ia berkata, "Aku dapat menerima apapun yang kau tulis."
Aku
mengalihkan perhatian kepada naskah yang kini sudah berada di pangkuanku. Beberapa
menit tenggelam ke dalam naskah, aku mulai merasa aneh perempuan itu masih
duduk di sampingku, walaupun dengan sepenuh hati aku menginginkan ia duduk di
sana selama mungkin. Terserah, apakah ia kemudian bermain dengan androidnya,
dia harus duduk di sana. Dan ia memang hanya duduk di sana, sambil bermain
dengan salah satu aplikasi androidnya. Sekarang, sepasang manusia tengah duduk
bersama dimana kertas HVS bertuliskan cerita aneh bersanding dengan aplikasi
instagram dari sebuah alat komunikasi zaman sekarang. Pukul delapan pagi,
sebuah jam beker berdering: mataku terbuka karena deringnya, dan hal pertama
yang aku lihat adalah android milik karakter perempuanku berada di atas naskah
yang sedang kutulis. Namun, jam beker yang berdering itu tidak membangunkannya,
perempuan itu.
***
MAROON CURTAIN
Ia
masih tertidur dan kubiarkan ia tetap seperti itu karena aku ingin membiarkan
mimpinya mengalir begitu saja, atau juga karena ia sendiri mungkin tidak ingin
kehilangan mimpinya yang mengalir begitu saja. "Suatu saat, engkau akan
kuberi nama." ucapku padanya meskipun aku tahu bahwa ia sedang tertidur.
Perempuan itu hanya bernafas dan bernafas. Tubuhnya membelakangi jendela
bertirai maroon. Aku melihat cahaya
matahari di sana. Kupejamkan mataku namun tidak jatuh tertidur.
"Jangan
katakan bahwa aku lelah", sekali lagi aku berbicara di hadapan seorang
perempuan yang sedang tertidur. Namun, kali ini ia mendengarnya. Aku mendengar
suara senyumnya, "hmmmh". Ini situasi yang aneh, namun aku menahan
diri untuk tidak mengernyitkan dahi. Sebab, mataku berada tepat di depan
matanya. Kasur di bawah tubuhku telah menjebak diriku ke dalam situasi yang
aneh ini. Aku ingin melarikan diri.
"Aku harus
bekerja." Ucapku. Sejujurnya, karakterku yang satu ini sangat menyiksaku,
mengikat pikiranku. Apakah dia sebenarnya? "I wanna go home." ucap perempuan itu kemudian. Ia beranjak
dari kasur, mengganti pakaiannya, dan pergi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar