Minggu, 05 Juli 2020

PANDEMI


Bagian I

Ian Ahmet bangun dari tidur sekitar pukul setengah sembilan pagi. Kepala dan badannya terasa tidak begitu enak lantaran semalam rasa kantuk tidak mampu membuatnya tidur sebelum jam 12. Dia hanya membolak-balikan badan hingga kira-kira pukul setengah 4 pagi sebelum akhirnya benar-benar hilang kesadaran.

Bangun tidur, hal pertama yang dia rasakan adalah kesal karena tubuhnya tidak fit untuk menjalani program membentuk tubuh yang sudah dia lakukan selama 10 hari terakhir. Dalam kondisi seperti itu, perlu waktu cukup lama untuk bangkit dari tempat tidur. Otot-otot Ian rasanya belum siap untuk beraktivitas secara normal.

Untungnya, dia sedang menjalani masa cuti pendek yang memang diambil dengan tujuan 'menenangkan diri'. Namun, ketika tubuhnya sudah mulai terasa nyaman untuk beranjak dari tempat tidur dan bangkit, Ian pun tidak mendapatkan perasaan normal sepertihalnya yang dia rasakan pada hari-hari libur biasa.

Merasa ada yang salah, dia memaksakan diri untuk mencari simptom-simptom penyebabnya dari hal-hal yang dialaminya dalam beberapa waktu belakangan.

Sekitar 3 bulan yang lalu, ingat Ian, pemerintah mulai bereaksi sepertihalnya negara-negara lain yang tidak memaksakan diri menutup-nutupi kenyataan bahwa pandemi virus corona (Covid-19) sudah menginfeksi warga negara masing-masing.

Dengan segala kerusakan yang menanti di depan mata, pemerintah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) secara perlahan mulai 15 Maret 2020. Mulai dari tempat-tempat usaha, sekolah, perkantoran, lembaga pemerintahan, hingga tempat ibadah diberlakukan pembatasan sosial setelah 117 kasus terkonfirmasi di Indonesia.

Snowball effect, perekonomian mulai goyah. Kekacauan pun mulai terjadi di pikiran setiap orang. Momen-momen yang menggelapkan hati, membakar emosi, dan kedengkian semuanya bercampur menjadi satu. Dan sebagai buruh, hantaman bola salju yang meluncur cepat itu terasa lebih menyakitkan.

Secara finansial, buruh-buruh tidak punya pilihan. Meskipun, sikap empati mereka sebenarnya mampu mengangkat beban yang sifatnya finansial. Namun, ada satu kesadaran kolektif yang terbangun di dalam kepala mereka, yaitu: dengan kondisi finansial yang makin sulit akibat tergerus krisis ekonomi global, pengurangan beban kerja adalah bentuk kompensasi yang paling masuk akal. Sebagian besar buruh bahkan berpikir bahwa pengurangan beban kerja adalah hak.

Turut terdampak, Ian pun mengamini segala macam kondisi. Setiap hari berkelahi dengan suara-suara yang tak mungkin dipedulikan oleh kapitalisme. Berkelahi dengan diri sendiri yang tak mau berdamai dengan sistem yang eror akibat hantaman pandemi.

Bertarung tanpa peduli, ternyata ada satu hal yang tidak diperhitungkannya: perkelahian yang terjadi ternyata bukanlah hal yang main-main.

Kira-kira satu bulan setelah bekerja dari kamar kos, Ian terbangun dari tidur dan mendapati sebagian dari tangan kirinya mati rasa. Tidak seperti yang dia alami sebelumnya, mati rasa kali ini terjadi di area yang sangat spesifik dan tak kunjung normal setelah kutunggu selama beberapa jam.

Sehabis makan siang sekitar pukul setengah 1, dia mencari-cari informasi yang berkaitan dengan kondisi mati rasa di sekitaran jari kelingking kiri. Ian menemukan istilah berbahasa latin yang tidak dia mengerti dan tidak dia ingat juga kala itu.

Lalu, dia pun memutuskan untuk melakukan pemeriksaan. Tak mau menunggu lama, Ian membuat janji dengan salah seorang dokter syaraf dan langsung mengatur jadwal agar pemeriksaan dilakukan keesokan harinya, plus, melakukan rapid test yang katanya merupakan prosedur wajib rumah sakit.

Benar saja, keesokan paginya kondisinya tidak membaik sama sekali. Setelah mendapatkan izin berobat dari bos, dia pergi mengunjungi salah satu rumah sakit swasta tak jauh dari kawasan kantor tempat dirinya bekerja.

Sesuai dengan protokol, Ian berjalan memasuki gerbang rumah sakit. Di sisi kanan, dia melihat beberapa petugas medis berpakaian seperti astronot. Di pintu masuk, ada beberapa berkas yang wajib diisi. Semua isinya terkait dengan riwayat kesehatan.

Di dalam, orang-orang cukup ramai. Ian mendatangi salah seorang petugas di meja resepsionis, "Permisi, saya ada janji temu dengan dokter Anne jam 12 siang,"

"Silakan ke meja yang di sana," petugas tersebut menunjuk ke salah satu sudut di dekat pintu masuk.

Selesai dengan urusan administratif, dia beranjak ke salah satu lantai dan menyerahkan berkas ke bagian administrasi di lantai tersebut.

Sebelum masuk ke ruangan pemeriksaan, salah seorang suster terlebih dahulu memeriksa suhu tubuh, kondisi mata, telinga, mulut, dan tensinya, lalu menanyakan beberapa hal.

"Ada alergi obat?"

"Tidak,"

"Ada riwayat penyakit jantung?"

"Tidak,"

"Atau keluarga yang punya riwayat sakit jantung?"

"Tidak,"

"Asma?"

"Tidak,"

"Pernah diopname?"

"Tidak,"

"Ok. Silakan masuk."

Di dalam, seorang dokter berusia kira-kira 30 tahunan awal mengucapkan selamat datang. Setelah Ian menjelaskan secara singkat kondisi yang dialami oleh tangan kirinya, dokter itu langsung mengarahkannya ke ranjang pasien.

"Coba lepasin gelangnya," kata dokter itu.

"Dulu waktu kuliah tangan kiri saya ini pernah cedera ketika main futsal, Dok" ucap Ian sambil melepaskan gelang dan menaruhnya di atas tempat tidur pasien.

"Di sini mati rasa?"

"Iya, Dok,"

"Di sini masih?"

"Masih, Dok,"

"Di sini?"

"Enggak, Dok,"

"Enggak?"

"Enggak, Dok,"

"Ok,"

Pada pemeriksaan pertama, tidak ada kesimpulan atas kondisi mati rasa yang dia alami. Dugaan awalnya adalah Ulnar Tunnel Syndrome, yaitu kondisi di mana sekitaran bagian kiri telapak tangan mengalami mati rasa.

Cerita tentang cedera yang dialaminya pada saat main futsal tidak begitu menarik perhatian dokter Anne. Di depan monitor, dokter itu tampak masih berpikir tentang penyebab utama dari kondisi mati rasa yang Ian alami. Di monitornya, terlihat gambar-gambar orang sedang bersepeda.

"Orang-orang yang bersepeda juga berpotensi mengalami hal ini," katanya.

"Kalau ngetik, Dok?" Dia menggelengkan kepala.

Setelah berpikir-pikir lagi, sesuatu tiba-tiba muncul di kepala Ian. "Selama 2 pekan terakhir saya menghabiskan waktu berjam-jam dalam sehari buat main gitar, Dok. Apa itu berpengaruh, Dok?" Dokter Anne langsung mengalihkan pandangannya ke arah Ian, dan berkata,

"Nah, itu bisa jadi!" Dia kemudian memeragakan diri seperti tengah bermain gitar. "Coba deh 2 pekan ini enggak main gitar dulu," sambungnya.

"Baik, Dok. Ada pantangan lain ga, Dok? Makanan misalnya?"

"Enggak ada,"

"Merokok pengaruh enggak, Dok?"

"Enggak," ujarnya.

"Kalau alkohol, Dok?"

"Enggak."

Dokter Anne kemudian menuliskan resep obat yang harus Ian minum selama 10 hari ke depan.

"Ini Provelyn, obat syarafnya. Kalau setelah dikonsumsi rasanya pusing dan tidak nyaman, jangan diminum lagi. Tapi, kalau setelah diminum badan terasa nyaman, terusin aja. Soalnya, obat ini bikin agak dizzy," jelasnya.

"Baik, Dok,"

"Setelah obatnya habis, datang lagi ke mari. Kita lihat perkembangannya,"

"Baik, Dok."

Setelah diperiksa, Ian pergi menuju meja pembayaran. Tak lama, administrator menyerahkan secarik kertas berisi harga sejumlah obat. Melihat harga yang harus dibayar, dia pun langsung menahan diri agar senyum kecut tidak terekspresikan dari wajah.

Namun, teringat bahwa dirinya harus melakukan pemeriksaan lanjutan beberapa hari mendatang, stres yang dingin terasa mengucur deras dari ujung kepala sampai ke dada.

Berdiri di hadapan 'jalan bercabang', sejenak Ian membatin: Memang, kesehatan adalah hal yang paling utama di dalam hidup ini. Namun, krisis moneter yang melanda dunia saat ini juga memiliki perhitungannya sendiri.

Sembari berjalan meninggalkan meja administrasi, dia kembali membatin,

"Betul, kesehatan adalah hal yang paling penting dalam hidup ini. Namun, bagaimana jika aku tidak punya uang?" Perlahan, pintu lift kembali menutup dan membawa Ian kembali ke lantai dasar.