Minggu, 15 November 2020

MAGA

 Donald Trump


The name is big

But I am far here right now

The truth is sick

Bad man is nothing


Bjork


I see that girl

Freak and nice

And lovely, and better

And so peaceful until...


You


Remind me of Bjork's style

Still walk in the dark road

Crying your heart out

Never find happiness


Myself


Wait until the music's over

Blow my mind as you used to love

It's never too late

Then I celebrate


Zaman


Berubah dan merubah

Jiwa manusia yang dituntut kalah

Menjadi tidak berani untuk menang

Dan membuat kebohongan bernama logika


Donald Trump


Jakarta, Senin, 16 November 2020 (00.38 WIB)

Jumat, 16 Oktober 2020

Way

When things happen directly to you, it’s heaven or love that make some knocks on your door.

When life is beginning too hard, it’s time or love that make some voices in your throath.

Some days before, we were basically often to talk about something shit

We weren't sleep like the other, we didn’t touch like another, but we were making love forever

Now we are still living like a superhuman. Living a life that consumes everything that makes us satisfy

We are often telling lies. And when you feel shy, that’s the time I can see you as a normal human being.

I want to say to you a little thing,

Thing, thing, thing

The secret between you and us

The thing that we always feel as a mantra:

“Way. When things happen directly to you, it’s heaven or love that make some knocks on your door,” we said.

Selasa, 06 Oktober 2020

Together

I'll write something, you know.

Something down, something up

Something hurts, something good

Nobody knows about the song that made just for a sin

It hurts very very much.

It hurts, It's a song, my life

It's a sin, my enemy

It's the truth: I walk into the journey, towards my destiny

Oooommmm [India Chants]

Let's sit just for a while

Not long

You have to understand about what I said before

We have to, you and I, learn.

We good to be together

We good in every kind of time

We good as long as we're free to be ourself

let's drink, let's drunk

Let's up, let's down

Let's wake, Let's sleep

We good to be together

Jumat, 17 Juli 2020

Aaah, Lupakan Saja!

Apakah dia yakin, bahwa dia benar-benar menghentikan aksi protesku?

Tidak. Dia salah. Dia justru membuatku tampak menghilang dari segala macam hiruk-pikuk dunia.

Tidak hanya menghilang. Dia juga memberikanku kekuasaan de facto yang tidak dapat dibantah karena hal yang kutunjukkan tidak pernah lepas dari kenyataan.

Sayangnya, semua orang berpikir mengenai hal yang sama, dengan semangat yang sama, dengan keberanian yang setara.

Pada kenyataannya, itu tidak cukup.

"Mengajarkan diri untuk melakukan pelanggaran adalah hal yang paling sulit di dunia ini," gumamnya.

Pelanggaran yang merugikan justru terjadi karena sifat melanggar yang tak pernah diajari. Sifat melanggar yang dungu.

Sudah berapa banyak pelanggaran yang kini menjadi norma? Sudah berapa lama sejak orang-orang tidak dilarang untuk percaya bahwa Bumi itu bulat?

Pelanggaran yang benar berasaskan logika dan hati nurani. Pelanggaran yang salah menuruti keinginan hawa nafsu, rasa takut, dan keterpurukan moral dan mental.

Minggu, 12 Juli 2020

Lagi-Lagi Kesunyian

Segala sesuatu terasa seperti siang dan malam yang berdiri di ujung-ujung waktu.

Tempat-tempat dan benda-benda mengisyaratkan hidup yang sarat akan perasaan-perasaan mengenai sisa-sisa.

Semua jiwa terpaksa hidup melankolis, dan tanpa sadar kesedihan menyertai hati yang sepi.

Cinta berdiri termenung menatap manusia yang meninggalkannya, manusia yang terus menatap ke belakang meratapi kisah yang tak kunjung berakhir sesuai dengan keinginan.

Kenyataan pahit yang dimiliki adalah kenyataan pahit yang harus disudahi.

Setiap pertemuan dengan mode berulang selalu memajang cermin yang sama dan membuat bingung jiwa-jiwa yang kesepian.

Jiwa-jiwa merana yang lahir dari lubuk hati paling dalam. Jiwa-jiwa yang bermimpi setinggi langit dan menampilkan bayang-bayang tentang betapa bergairahnya kehidupan asmara yang diinginkan.



Jakarta (12/7/2020).

Minggu, 05 Juli 2020

PANDEMI


Bagian I

Ian Ahmet bangun dari tidur sekitar pukul setengah sembilan pagi. Kepala dan badannya terasa tidak begitu enak lantaran semalam rasa kantuk tidak mampu membuatnya tidur sebelum jam 12. Dia hanya membolak-balikan badan hingga kira-kira pukul setengah 4 pagi sebelum akhirnya benar-benar hilang kesadaran.

Bangun tidur, hal pertama yang dia rasakan adalah kesal karena tubuhnya tidak fit untuk menjalani program membentuk tubuh yang sudah dia lakukan selama 10 hari terakhir. Dalam kondisi seperti itu, perlu waktu cukup lama untuk bangkit dari tempat tidur. Otot-otot Ian rasanya belum siap untuk beraktivitas secara normal.

Untungnya, dia sedang menjalani masa cuti pendek yang memang diambil dengan tujuan 'menenangkan diri'. Namun, ketika tubuhnya sudah mulai terasa nyaman untuk beranjak dari tempat tidur dan bangkit, Ian pun tidak mendapatkan perasaan normal sepertihalnya yang dia rasakan pada hari-hari libur biasa.

Merasa ada yang salah, dia memaksakan diri untuk mencari simptom-simptom penyebabnya dari hal-hal yang dialaminya dalam beberapa waktu belakangan.

Sekitar 3 bulan yang lalu, ingat Ian, pemerintah mulai bereaksi sepertihalnya negara-negara lain yang tidak memaksakan diri menutup-nutupi kenyataan bahwa pandemi virus corona (Covid-19) sudah menginfeksi warga negara masing-masing.

Dengan segala kerusakan yang menanti di depan mata, pemerintah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) secara perlahan mulai 15 Maret 2020. Mulai dari tempat-tempat usaha, sekolah, perkantoran, lembaga pemerintahan, hingga tempat ibadah diberlakukan pembatasan sosial setelah 117 kasus terkonfirmasi di Indonesia.

Snowball effect, perekonomian mulai goyah. Kekacauan pun mulai terjadi di pikiran setiap orang. Momen-momen yang menggelapkan hati, membakar emosi, dan kedengkian semuanya bercampur menjadi satu. Dan sebagai buruh, hantaman bola salju yang meluncur cepat itu terasa lebih menyakitkan.

Secara finansial, buruh-buruh tidak punya pilihan. Meskipun, sikap empati mereka sebenarnya mampu mengangkat beban yang sifatnya finansial. Namun, ada satu kesadaran kolektif yang terbangun di dalam kepala mereka, yaitu: dengan kondisi finansial yang makin sulit akibat tergerus krisis ekonomi global, pengurangan beban kerja adalah bentuk kompensasi yang paling masuk akal. Sebagian besar buruh bahkan berpikir bahwa pengurangan beban kerja adalah hak.

Turut terdampak, Ian pun mengamini segala macam kondisi. Setiap hari berkelahi dengan suara-suara yang tak mungkin dipedulikan oleh kapitalisme. Berkelahi dengan diri sendiri yang tak mau berdamai dengan sistem yang eror akibat hantaman pandemi.

Bertarung tanpa peduli, ternyata ada satu hal yang tidak diperhitungkannya: perkelahian yang terjadi ternyata bukanlah hal yang main-main.

Kira-kira satu bulan setelah bekerja dari kamar kos, Ian terbangun dari tidur dan mendapati sebagian dari tangan kirinya mati rasa. Tidak seperti yang dia alami sebelumnya, mati rasa kali ini terjadi di area yang sangat spesifik dan tak kunjung normal setelah kutunggu selama beberapa jam.

Sehabis makan siang sekitar pukul setengah 1, dia mencari-cari informasi yang berkaitan dengan kondisi mati rasa di sekitaran jari kelingking kiri. Ian menemukan istilah berbahasa latin yang tidak dia mengerti dan tidak dia ingat juga kala itu.

Lalu, dia pun memutuskan untuk melakukan pemeriksaan. Tak mau menunggu lama, Ian membuat janji dengan salah seorang dokter syaraf dan langsung mengatur jadwal agar pemeriksaan dilakukan keesokan harinya, plus, melakukan rapid test yang katanya merupakan prosedur wajib rumah sakit.

Benar saja, keesokan paginya kondisinya tidak membaik sama sekali. Setelah mendapatkan izin berobat dari bos, dia pergi mengunjungi salah satu rumah sakit swasta tak jauh dari kawasan kantor tempat dirinya bekerja.

Sesuai dengan protokol, Ian berjalan memasuki gerbang rumah sakit. Di sisi kanan, dia melihat beberapa petugas medis berpakaian seperti astronot. Di pintu masuk, ada beberapa berkas yang wajib diisi. Semua isinya terkait dengan riwayat kesehatan.

Di dalam, orang-orang cukup ramai. Ian mendatangi salah seorang petugas di meja resepsionis, "Permisi, saya ada janji temu dengan dokter Anne jam 12 siang,"

"Silakan ke meja yang di sana," petugas tersebut menunjuk ke salah satu sudut di dekat pintu masuk.

Selesai dengan urusan administratif, dia beranjak ke salah satu lantai dan menyerahkan berkas ke bagian administrasi di lantai tersebut.

Sebelum masuk ke ruangan pemeriksaan, salah seorang suster terlebih dahulu memeriksa suhu tubuh, kondisi mata, telinga, mulut, dan tensinya, lalu menanyakan beberapa hal.

"Ada alergi obat?"

"Tidak,"

"Ada riwayat penyakit jantung?"

"Tidak,"

"Atau keluarga yang punya riwayat sakit jantung?"

"Tidak,"

"Asma?"

"Tidak,"

"Pernah diopname?"

"Tidak,"

"Ok. Silakan masuk."

Di dalam, seorang dokter berusia kira-kira 30 tahunan awal mengucapkan selamat datang. Setelah Ian menjelaskan secara singkat kondisi yang dialami oleh tangan kirinya, dokter itu langsung mengarahkannya ke ranjang pasien.

"Coba lepasin gelangnya," kata dokter itu.

"Dulu waktu kuliah tangan kiri saya ini pernah cedera ketika main futsal, Dok" ucap Ian sambil melepaskan gelang dan menaruhnya di atas tempat tidur pasien.

"Di sini mati rasa?"

"Iya, Dok,"

"Di sini masih?"

"Masih, Dok,"

"Di sini?"

"Enggak, Dok,"

"Enggak?"

"Enggak, Dok,"

"Ok,"

Pada pemeriksaan pertama, tidak ada kesimpulan atas kondisi mati rasa yang dia alami. Dugaan awalnya adalah Ulnar Tunnel Syndrome, yaitu kondisi di mana sekitaran bagian kiri telapak tangan mengalami mati rasa.

Cerita tentang cedera yang dialaminya pada saat main futsal tidak begitu menarik perhatian dokter Anne. Di depan monitor, dokter itu tampak masih berpikir tentang penyebab utama dari kondisi mati rasa yang Ian alami. Di monitornya, terlihat gambar-gambar orang sedang bersepeda.

"Orang-orang yang bersepeda juga berpotensi mengalami hal ini," katanya.

"Kalau ngetik, Dok?" Dia menggelengkan kepala.

Setelah berpikir-pikir lagi, sesuatu tiba-tiba muncul di kepala Ian. "Selama 2 pekan terakhir saya menghabiskan waktu berjam-jam dalam sehari buat main gitar, Dok. Apa itu berpengaruh, Dok?" Dokter Anne langsung mengalihkan pandangannya ke arah Ian, dan berkata,

"Nah, itu bisa jadi!" Dia kemudian memeragakan diri seperti tengah bermain gitar. "Coba deh 2 pekan ini enggak main gitar dulu," sambungnya.

"Baik, Dok. Ada pantangan lain ga, Dok? Makanan misalnya?"

"Enggak ada,"

"Merokok pengaruh enggak, Dok?"

"Enggak," ujarnya.

"Kalau alkohol, Dok?"

"Enggak."

Dokter Anne kemudian menuliskan resep obat yang harus Ian minum selama 10 hari ke depan.

"Ini Provelyn, obat syarafnya. Kalau setelah dikonsumsi rasanya pusing dan tidak nyaman, jangan diminum lagi. Tapi, kalau setelah diminum badan terasa nyaman, terusin aja. Soalnya, obat ini bikin agak dizzy," jelasnya.

"Baik, Dok,"

"Setelah obatnya habis, datang lagi ke mari. Kita lihat perkembangannya,"

"Baik, Dok."

Setelah diperiksa, Ian pergi menuju meja pembayaran. Tak lama, administrator menyerahkan secarik kertas berisi harga sejumlah obat. Melihat harga yang harus dibayar, dia pun langsung menahan diri agar senyum kecut tidak terekspresikan dari wajah.

Namun, teringat bahwa dirinya harus melakukan pemeriksaan lanjutan beberapa hari mendatang, stres yang dingin terasa mengucur deras dari ujung kepala sampai ke dada.

Berdiri di hadapan 'jalan bercabang', sejenak Ian membatin: Memang, kesehatan adalah hal yang paling utama di dalam hidup ini. Namun, krisis moneter yang melanda dunia saat ini juga memiliki perhitungannya sendiri.

Sembari berjalan meninggalkan meja administrasi, dia kembali membatin,

"Betul, kesehatan adalah hal yang paling penting dalam hidup ini. Namun, bagaimana jika aku tidak punya uang?" Perlahan, pintu lift kembali menutup dan membawa Ian kembali ke lantai dasar.

Sabtu, 20 Juni 2020

Bacalah Ini, Gadis 'Oasis'

Aku sedang mencoba menemukan kata-kata untuk melukiskan kembali kenangan yang dulu tersimpan begitu dalam di tengah harapan retak yang kini kembali berbentuk ketika dirimu hanya tinggal setitik kenyataan.

Aku sedang mencoba menemukan kata-kata untuk melukiskan kembali kenangan ketika arus-arus masa lalu menyeret perasaanku menuju lautan kenangan itu sendiri.

Sedikitnya kusadari, bukan hanya kepadamu, cintaku ternyata telah tumpah kepada seluruh bagian zaman yang mengitari pahitnya perjalanan sunyi yang kulewati ketika kau menyisi dengan tidak mengerti.

Aku berdiri menghadapmu melalui kaca mata masa lalu, berharap kau mengerti bahwa aku masih mengenakan attitude yang sama. Masih seperti seorang remaja nakal yang memberitahumu bagaimana rasanya menghidupi asmara dengan cara tidak mencintai.

Tanpa situasi apapun, kutuliskan puisi ini sebagai kebohongan. Kebohongan yang tertulis hanya untukmu.

Oasis.

Sekuat tenaga, aku bertarung dengan karma.

Dan puisi ini, hanyalah pesan yang sengaja kukirimkan padamu agar kau menyaksikan pertarungan yang baru saja berlangsung.

Ketika sang karma memukul ulu hatiku, suatu perasaan asing muncul dari jiwaku.
Kemudian sesuatu yang misterius berbisik: ini bukanlah pesan yang 'hanya', dan aku ingin kau mencintaiku setengah mati tanpa harus bergerak selangkahpun.

Cintailah aku dari masa lalu.

Jakarta, 21 Juni 2020 (02.04)

Minggu, 07 Juni 2020

Is It Has To Be Stop?

Put your feeling into your breath
And feel the life after that
Tell me something about what's in your heart
And I will tell you the truth about everything


***


I feel the truth. It comes to me as a poet that's running sharply into my heart

I fall into the darkness when everything around is falling apart

"Yes, you're dissapointing me!"

The truth, they're just come into my sense

And let my heart feel how upset I am

I feel I want to kill you

After all of the lies, and all of the sly, the memories, and all the good things that you did

In the name of the truth

You're going to fall into the darkness that full with lies

Capitalize by vagueness of the faith that you show me

The wrong faith that wake the truth inside of me

Yes, I feel I want to kill you.

And precisely when I feel like jumping

I ask myself:

Is it has to be stop?

Minggu, 03 Mei 2020

Bad Side of the Love

Things start to change... like magic, lonely magic.

I feel the change very deeply. Remembering of my past, alone on the corner of campus hall, smoking a cigarrete for a couple minutes, threw the cigarrete to the rubbish basket, and go to the morning class.

It was the last part of my journey in college. A lot of friends going back to their house, nowhere to go, nobody else to see, alone, alone, and alone.

It was a hard story. Because you're going to read about something very dark from a man who never knew how dangerous the life that he used to live before.

Surrounded by fear. A lot of fears. No family kind of sense, free, and sad.

That was the last period of the fake hospitality when old friends passing by our house and just said 'Hi' to everybody that he used to linger.

The sad song passed you like a sad heart.

Alone, alone, and alone..

Friends look so different than before: when the sun still shining, when the world still noisy, when the campus hall still alive, and when friendship still working.

You need to change. Even if you can't deny how strong love is, you still need to change

Every places that you visit beginning to spread their strange habit: bringing the gray cloud right above our balloning heads.

Now, tomorrow feels like the loneliness, today feels like reality, and the past seems to fade away...

But the pain, keep the sad memories alive in the dead of my fucking lonely heart!

Just in case you don't know:

I still have that feeling.

I hurted something very hard before, unconsciously.

I don't know why, I don't know how.

The songs that remembering me of the hungry feeling,

The songs that remembering me of the vague happiness. Around the friends. The strange bridge that let me pass the last test for the next step.

I walk into the trouble, stranger than fiction

When I wake up, I realize that to kill all the bad memories that was just came into my dream, all you need to do is lie

Lie until you realize, again, that you are still in the bad side of the love...

Jumat, 01 Mei 2020

Nuh Sang Pembuat Kapal

Hidupku adalah puisi yang panjang tentang kehidupan. Semuanya terseret oleh derasnya arus Amazon Purba dan bermuara di lautan yang tak lama lagi akan dikiamati oleh tsunami akibat letusan dahsyat Krakatau Purba.

Gunung dengan kekuatan serupa tongkat Nabi Musa yang terkenal mampu membelah lautan. Krakatau memisahkan dua pulau yang dahulunya sempat merasa bersaudara.

Ketika kehidupan menjadi berbeda, anak-cucu dari generasi yang dirusak hidupnya oleh bencana-bencana besar yang pernah terjadi menciptakan teknologi tatap muka di dunia maya.

Masalahnya, tidak banyak orang yang mau mengenal hati nuraninya selayak dan seharusnya dia dikenali: mistis dan purba. Jiwa yang kita miliki selalu memiliki penjelasan yang bisa diterima setiap kali kita mengalami suatu masalah.

Dia mengetahui apa yang tidak dipahami oleh pikiran kita. Mereka mencintai apa yang tidak dikenali oleh perasaan kita.

Hal itu sudah kita miliki jauh sebelum kita ditakdirkan menjadi janin manusia.

Kenapa kita tidak mengingat apapun ketika kita masih bayi? Ya, karena kita belum memiliki kemampuan mengingat yang punya kapasitas sesuai dengan adanya kewajiban merekam dengan cukup jelas apa yang kita alami di dalam jiwa dan raga.

Bahkan, kita tidak sanggup memikirkan bahwa kita sebenarnya mampu berjalan, tanpa ada yang paham atas protes yang kita sampaikan.

Kita diasuh dengan kasih sayang dan utang budi. Sehingga tulang-tulang kita dapat bertumbuh, pikiran kita dapat berjalan, dan hati kita dapat berfungsi.

Kita menggigiti jari-jari mungil kehidupan kita sendiri dari hari ke hari. Kita tertawa terbahak-bahak ketika akhirnya menyadari bahwa di dunia ini ada sesuatu yang bisa ditertawakan.

Di mana penertawaan pada dasarnya punya dua sisi yang bertolak belakang.

Ketika dewasa, kita pun kesulitan untuk memahami hidup itu sendiri dengan baik karena kita belum mampu menguasai bahasa alam semesta.

Kita tergagap ketika terjadi bencana. Penyakit-penyakit aneh yang datang untuk menandai kacaunya suatu era.

Ketika Nuh telah membuka pintu kapalnya, semua orang justru bertanya-tanya. Bukannya masuk ke dalam kapal itu, dan bertanya langsung kepada Nuh Sang Pembuat Kapal.

Melihat situasi yang terjadi, jelas kita harus lari. Tapi, tetap akan ada alasan untuk tidak anjak kaki.

Sejenak, dunia perlu memberikan penggambaran tentang suatu kondisi yang buruk.

Atas kemarahannya terhadap para penambang batu-bara dan emas yang tidak bertanggung jawab.

Atas kebenciannya terhadap sikap licik yang diatur-atur sedemikian rupa agar hukum bisa berjalan sesuai dengan arahan.

Untuk semua hal itu, aku hanya perlu membisikkan sebuah kata; "Persetan!"

Dan berjanji, menjelang semuanya kembali menjadi baik-baik saja, aku akan tidur dan bangun di balik layar imajinasi yang berbeda.

Pasalnya, aku tidak mau hidup terpenjara...

Fauzan Kumbang, Jakarta ketika Corona as fuck as fuck

Selasa, 14 April 2020

My Poem

We let people to think that we want to crush the world, but we don't really mean what we let people to think of us.

Then we feel that we lie about it, but that the moment the we can let ourselves to try the funny and the right thing as a human being.

Because we are the joker and the people are stupid. Let them die!

Selasa, 04 Februari 2020

On A Gambling Land

So to kill you have to live..

Sayap-sayap burung terkembang ke segala arah,

Langit mendung membawa angin yang aneh, membuat remang dan dinginnya hari mengganggu pikiran semua makhluk di alam semesta ini...

Aku terganggu oleh pikiranku sendiri yang membawa lupa bersemayam di dalam jiwa.

Raga pun menjadi lebih berisi dari sebelumnya.

Banyakkah hal yang harus kita pertanyakan dengan perasaan sangat tidak yakin?

Ketidakyakinan yang menjebak kita di dalam penjara setelah kita dibelah menjadi dua layaknya amuba?

Ya. Sebagai jiwa yang bebas, kita terlalu sering menatap murung kepada jiwa kita yang terkurung.

Itulah kenyataan.

Lalu, pergilah sejauh mungkin menuju kebebasan.

Di sana

Semua

Jawaban

Tersedia...