Jumat, 01 Mei 2020

Nuh Sang Pembuat Kapal

Hidupku adalah puisi yang panjang tentang kehidupan. Semuanya terseret oleh derasnya arus Amazon Purba dan bermuara di lautan yang tak lama lagi akan dikiamati oleh tsunami akibat letusan dahsyat Krakatau Purba.

Gunung dengan kekuatan serupa tongkat Nabi Musa yang terkenal mampu membelah lautan. Krakatau memisahkan dua pulau yang dahulunya sempat merasa bersaudara.

Ketika kehidupan menjadi berbeda, anak-cucu dari generasi yang dirusak hidupnya oleh bencana-bencana besar yang pernah terjadi menciptakan teknologi tatap muka di dunia maya.

Masalahnya, tidak banyak orang yang mau mengenal hati nuraninya selayak dan seharusnya dia dikenali: mistis dan purba. Jiwa yang kita miliki selalu memiliki penjelasan yang bisa diterima setiap kali kita mengalami suatu masalah.

Dia mengetahui apa yang tidak dipahami oleh pikiran kita. Mereka mencintai apa yang tidak dikenali oleh perasaan kita.

Hal itu sudah kita miliki jauh sebelum kita ditakdirkan menjadi janin manusia.

Kenapa kita tidak mengingat apapun ketika kita masih bayi? Ya, karena kita belum memiliki kemampuan mengingat yang punya kapasitas sesuai dengan adanya kewajiban merekam dengan cukup jelas apa yang kita alami di dalam jiwa dan raga.

Bahkan, kita tidak sanggup memikirkan bahwa kita sebenarnya mampu berjalan, tanpa ada yang paham atas protes yang kita sampaikan.

Kita diasuh dengan kasih sayang dan utang budi. Sehingga tulang-tulang kita dapat bertumbuh, pikiran kita dapat berjalan, dan hati kita dapat berfungsi.

Kita menggigiti jari-jari mungil kehidupan kita sendiri dari hari ke hari. Kita tertawa terbahak-bahak ketika akhirnya menyadari bahwa di dunia ini ada sesuatu yang bisa ditertawakan.

Di mana penertawaan pada dasarnya punya dua sisi yang bertolak belakang.

Ketika dewasa, kita pun kesulitan untuk memahami hidup itu sendiri dengan baik karena kita belum mampu menguasai bahasa alam semesta.

Kita tergagap ketika terjadi bencana. Penyakit-penyakit aneh yang datang untuk menandai kacaunya suatu era.

Ketika Nuh telah membuka pintu kapalnya, semua orang justru bertanya-tanya. Bukannya masuk ke dalam kapal itu, dan bertanya langsung kepada Nuh Sang Pembuat Kapal.

Melihat situasi yang terjadi, jelas kita harus lari. Tapi, tetap akan ada alasan untuk tidak anjak kaki.

Sejenak, dunia perlu memberikan penggambaran tentang suatu kondisi yang buruk.

Atas kemarahannya terhadap para penambang batu-bara dan emas yang tidak bertanggung jawab.

Atas kebenciannya terhadap sikap licik yang diatur-atur sedemikian rupa agar hukum bisa berjalan sesuai dengan arahan.

Untuk semua hal itu, aku hanya perlu membisikkan sebuah kata; "Persetan!"

Dan berjanji, menjelang semuanya kembali menjadi baik-baik saja, aku akan tidur dan bangun di balik layar imajinasi yang berbeda.

Pasalnya, aku tidak mau hidup terpenjara...

Fauzan Kumbang, Jakarta ketika Corona as fuck as fuck

Tidak ada komentar:

Posting Komentar