Minggu, 21 April 2019

Puisi Sayang

Negaraku bagaikan pelita.

Dan pelita, tidak ada yang gemerlapan di tengah benderang,

Jangan ada kata benderang,

“Kan itu hiburan hitungannya? Olahraga,” ujarku.

Adapun, untuk kepahitan, kesakitan, atau pun perasaan luka mendalam yang berada di luar genggaman dan kontrol, Tuhan sajalah yang mengadili.

Dengan sikap-Nya.

Dan di sebuah tembok di bawah jembatan yang jaraknya hanya beberapa menit dari Stasiun Tugu, ‘Chairil Anwar’ berkata, “Mampus kau dikoyak-koyak sepi!”

Dengan sedih, aku mengingat, bahwa itu hanyalah 8 tahun yang lalu.

Rabu, 17 April 2019

Rennaisance, Itulah yang Nenek Moyang Kita Alami

JAKARTA – Sedikit berpikir dan memberikan ungkapan lewat tulisan mengenai sesuatu yang paling berbahaya di muka bumi; paham yang salah, paham yang sesat dan merugikan nilai-nilai moral serta melukai rasa kemanusiaan. Hal itu, apalagi kalau bukan: FANATISME.

Dalam sebuah riwayat keagamaan, diceritakan sebuah kefanatikan, di mana seorang ayah tega membuat keputusan untuk menyembelih anak kandungnya yang masih 7 tahun.

Tidak asing? Ya, itulah kisah Nabi Ibrahim yang tega menempelkan pisau ke nadi di leher Ismail dengan landasan menjalankan perintah Tuhan.

Dari zaman ke zaman, tindakan itu selalu diagung-agungkan sebagai bentuk keimanan yang sangat absolut dari Ibrahim kepada Tuhannya.

Namun, adakah dari kita yang berpikir sebaliknya mengenai hal tersebut???

Ada beberapa hal;

Pertama, hari di mana Ibrahim melakukan tindakan yang dia asumsikan sebagai pembuktian keimanan, saat ini diperingati sebagai hari Idul Adha atau Hari Raya Kurban. Kata kurban secara epistemologi, mengacu kepada kata korban. Hal itu tentunya karena berhubungan dengan pengorbanan yang dilakukan Ibrahim.

Kedua, apakah dengan melakukan perintah tersebut berarti bahwa Ibrahim tidak memiliki rasa kasih sayang terhadap anak kandungnya sendiri? Tidak. Tentu saja dia sangat menyayangi Ismail yang seperti dirinya, juga menjadi nabi. Karena, secara pribadi saya yakin, dia adalah seorang ayah yang berjiwa besar.

Ketiga, ke manakah ibu sang bayi? Hagar atau Hajar, perempuan sara yang menurut cerita populer diserahkan kepada Ibrahim sebagai gundik, dan melahirkan Ismail? Tidak ada yang tahu.

Ayah yang begitu patuh kepada Tuhan serta ibu yang tidak banyak tercatat di dalam riwayat membuat Ismail berada di posisi tanpa pilihan, sebelum Tuhan menurunkan mukjizatnya beberapa saat sebelum pisau di tangan Ibrahim mengorbankan nyawa anak yang dia sayangi.

Sampai di sini, mari kita coba untuk mengganti pemikiran bahwa maksud dari cerita tersebut adalah untuk membuktikan keimanan Ibrahim. Ganti filsafat keimanan populer tersebut dengan pemikiran yang lain, yakni lewat kejadian tersebut Tuhan nyatanya ingin menunjukkan kepada manusia sekaligus umatnya bahwa keputusan yang diambil oleh Ibrahim adalah pilihan yang salah.

Saya membayangkan, apa yang Ibrahim pikirkan ketika kemudian leher yang dia sembelih adalah leher seekor kambing? Seekor binatang?

Dengan kuasa-Nya, Tuhan menghembuskan akal sehat kepada Ibrahim, dan dalam seketika Nabi Besar tersebut mengubah pikirannya dan membesarkan seorang anak yang nantinya menjadi seorang nabi.

Di beberapa masa belakangan, kita sering kali dihadapkan dengan tindakan nekat dari terorisme yang tega mengorbankan siapa pun sebagai cara untuk menunjukkan keimanannya kepada Tuhan. Dengan penuh kebencian, mereka menyalahkan semua yang dianggap tidak baik. Dengan niat jahat, mereka menyerukan nama Tuhan seraya menyisipkan ayat-ayat kitab suci di kantong celana.

Jika benar mereka membenci sesama saudara manusianya, maka salah adalah satu-satunya jawaban yang paling tepat untuk menegaskan apa yang mereka lakukan dan pikirkan. Seperti halnya Ibrahim yang terprovokasi dengan tantangan Malaikat, di mana dirinya ingin memperlihatkan bahwa dia bahkan tidak masalah apabila harus mengorbankan sesuatu yang jauh lebih berharga dari harta kekayaannya.

Hal tersebut, justru membuat Ibrahim jatuh ke dalam pengorbanan yang salah. Pertanyaan malaikat kepada Tuhan berakhir dengan rentetan rasa bersalah yang juga berhak untuk dirasakan oleh Ibrahim. Malaikat apa yang mempertanyakan Tuhan tentang keistimewaan yang diberikan oleh-Nya kepada Ibrahim dengan alasan kekayaan yang Ibrahim miliki?

Iri bukanlah sifat asli malaikat.

Di dalam satu kesempatan, iblis justru menghasut Ibrahim agar mengubah pikirannya. Penyerahan diri yang sebenarnya justru diperlihatkan sang calon korban, Ismail, di mana dirinya yang tidak mungkin melawan keinginan imani sang ayah merelakan nyawanya yang masih sangat belia.

Namun, singkirkan semua cerita di atas!

Mari kita mencari tahu, apa maksud Tuhan dibalik berubahnya pikiran Ibrahim sesaat sebelum menggorok leher anaknya? Proses perubahan pikiran itulah yang sepantasnya diangkat sebagai lead dari seluruh cerita yang dibangun. Bukan bla bla bla bla bla bla soal keimanan dan ketek bengeknya yang hanya wah tapi menguras terlalu banyak energi daripada memberikan nilai kepada umat manusia.

Perubahan pikiran dalam waktu singkat yang dialami Ibrahim menjadi satu-satunya momen bernilai yang harus kita imani. Proses singkat tersebut, adalah detik-detik paling sederhana dan paling bijak yang tersembunyi di dalam hati nurani manusia, menyeruak ketika telah tiba saatnya.

Dengan segala kuasa-Nya, momen singkat di mana Ibrahim berubah pikiran tersebut, Tuhan menjentikkan api kesadaran, api logika, api akal sehat, api satu-satunya yang menuntun manusia menuju firdaus, kepada seluruh umatnya bahwa di antara seluruh proses yang melibatkan keyakinan, hanya ada satu momen singkat yang mampu menunjukkan sinar ketuhanan, yakni momen ketidaksadaran.

Manusia dilingkupi dengan kelemahan seperti itu. Termasuk kita, yang selama ini termakan oleh kisah keimanan heroik yang bla bla bla bla bla bla yang dimiliki Ibrahim alias fanatisme itu. Padahal, dengan perubahan pikiran pada momen singkat yang dialami Ibrahim, dengan tegas Tuhan mengatakan bahwa pengorbanan atau apa pun yang berjalan sesuai dengan kaidah fanatisme, tidak lain dan tidak bukan, tidak lain dan tidak bukan, adalah salah. Sekecil-kecilnya, dosa seperti itu lahir ketika saudara kita yang berbeda agama, kita kafirkan karena mereka dan kita memang berbeda agama.

Dan ketika Ibrahim mengganti korbannya dengan binatang, di saat itulah seluruh umat manusia mulai berhak merayakan lahirnya sebuah pemikiran baru yang membebaskan umat manusia dari seluruh kekejaman. Dengan seluruh ledakan kesadaran dan akal sehat, di hari itulah, yakni 10 Dzulhijjah sekitar 2000 tahun sebelum masehi, nenek moyang kita mengalami keajaiban filsafatnya.

Apa yang sebenarnya nenek moyang kita alami?

Walau pun mungkin kita berbeda agama dengan teman-teman kita di Barat, akan tetapi, ya, Rennaisance, itulah yang nenek moyang kita alami...

18/4/2019, Fauzan Kumbang

Senin, 01 April 2019

Natalie Portman

Kalau kau tidak menginginkan alkohol yang sudah menahun terpendam, ya sudah, aku bisa meminumnya sendiri.

Kau tahu, Natalie Portman adalah wanita idamanku, dan kerusakan yang kini terjadi di jiwaku benar-benar telah berubah menjadi monster menakutkan.

Ya, menakutkan memang. Namun, kau tahu, menghindar adalah hal yang paling menakutkan?

Seperti sungai, aku mengalir di antara bebatuan dan pancaran sinar matahari. Aku adalah salah satu dedaunan kering yang mengalir bersama arus sungai yang berirama gemericik.

Dan, Natalie Portman, selalu menghiasi perasaanku yang candu akan alkohol yang sudah menahun terpendam.

Perasaanku, adalah roket kebahagiaan yang dilepaskan menuju Hollywood. Perasaanku, adalah semuanya yang tidak bisa dijelaskan mengenai sebuah pemberhentian dalam kehidupan, yakni perjuangan.

Sekarang, silahkan ludahi aku....