Sabtu, 12 Oktober 2013

Puisi Bebas

Kebebasan itu menyakitkan,

Karena dunia ini penuh dengan ketakutan berwujud aturan, adat, dan norma-norma.

Dunia ini fana,

tetapi manusia masih juga memanipulasinya dengan menciptakan keseimbangan palsu,

menumbuhkan mitos-mitos, kemudian berbuah ketakutan yang memakai topeng rasionalitas.

Terlalu takutkah manusia terhadap rasa lapar dan kesendirian?

Sehingga menyatu dengan arus dunia dengan wujud rasionalitas ciptaan sekumpulan manusia?

Atau terlalu takutkah manusia akan kebebasannya sendiri?

Padahal kita punya hati nurani?

Manusia hidup dalam kesendirian, dengan kebebasannya.

Tak ada alasan untuk tidak terluka.

Rasionalitas Yang Ketakutan

Dalam hidup ini, aku sangat percaya pada fase. Setiap manusia untuk sementara akan berhenti di titik-titik dalam rel waktu kehidupannya. Jika ada yang bertanya apa yang paling kusadari dalam hidup, jawabanku adalah, “aku percaya bahwa aku sadar pada perasaanku yang tertatih dan terinjak oleh titik-titik waktu yang terbagi itu”. Lalu menuntunku kepada lorong dimana aku melangkah sendiri, terasing, dan gelap.

Menyendiri akan membawaku menuju kebebasan sepenuhnya, tak peduli angin berhembus kemana, selagi kemudaanku tak mengusik berubahnya musim.  Kemudian aku bisa dengan bebas sebebas-bebasnya membaca tulisan-tulisan Tan Malaka yang juga mati dengan sendirinya, sendiri. Lalu dengan bebas pula mendengarkan Kurt Cobain berteriak betapa dia mencintai dirinya sendiri dari orang lain, matipun dia dalam sepi yang menembus kerongkongannya dengan panasnya peluru.

Cerita mengenai Kurt, aku pernah membaca dan bercerita dengan seseorang yang juga seperti Kurt, bagaimana Kurt hidup terasing, bahkan dari orang tuanya. Dimasa-masa seperti itu Kurt yang sebenarnya telah lahir, bukan dari kasih sayang persetubuhan orang tuanya, bukan pula dari didikan persahabatan lingkungannya. Ia lahir dari keterasingan dibawah kolong jembatan disatu sisi kota Seattle. Dan Kurt adalah laki-laki penyendiri yang lebih kuat dari pada lingkungannya yang hidup bersama dan mungkin mengutuk Kurt karena sifat luarbiasanya. Hanya karena orang-orang tidak terbiasa dengan kata ‘persetan’ atau terlalu iri melihat Kurt dengan sepenuh hati menikmati kebebasannya.

Setelah itu Kurt pantas menerima status sebagai seorang Rocker, manusia Rocker. Kesendirian telah menciptakan seorang rocker sejati, dan menurutku Kurt Cobain setara dengan seorang nabi. Dia beragamakan Rock n roll, dan Nirvana adalah ruang kerjanya dalam menulis lagu-lagu yang sudah tak bias dibedakan lagi dengan sabda nabi.

Untuk itu, aku lebih percaya pada kesendirian Kurt daripada keharmonisan hidup bersama. Dia membangun eksistensinya dengan kesendirian dan rasa terasing.

Kembali beberapa bulan yang lalu, aku bertukar pikiran dengan seseorang penyendiri luar biasa di sebuah Bandar udara. Lalu kami berbicara tentang Eksistensialisme Sartre. Eksistensialisme, menurut sang penyendiri tersebut,adalah,  setiap manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan siapa dirinya bahkan semenjak dia dilahirkan kedunia. Aku setuju. Karena sangat tidak penting bagi seseorang untuk mengurusi kebebasan orang lain, toh, siapa saja juga memiliki kebebasan yang sama. Apalagi mengurusi rasionalitas seseorang, perlu disadari bahwa setiap manusia menembus dunia yang fana ini dengan cara hidupnya masing-masing.

Dengan alasan itu, aku berani mengatakan bahwa setiap manusia itu sama saja.

Sebagai contoh, aku membandingkan antara seorang dosen dan seorang tukang sapu jalanan. Pakaian, jumlah gaji, title, kekayaan, segala hal itu bukanlah sesuatu yang membedakan mereka. Apa yang dikerjakan oleh dosen dan apa yang dikerjakan oleh tukang sapu jalanan cuma punya satu tujuan yang sama, untuk mempertahankan diri dari rasa lapar, bertahan hidup.

Manusia harus mempertahankan hidupnya.

Dari cara mempertahankan hidupnya tersebut kemudian manusia akan berkumpul dengan kelompok-kelompoknya untuk berlindung hanya karena takut pada rasa lapar. Orang-orang akan membuat kesepakatan, baik itu menjadi koruptor, memberi label pada orang lain, menertawakan cara hidup orang lain, demi tujuan agar tidak didatangi ketakutannya, takut untuk “lapar”.

Oleh karena itu, aku tidak akan pernah percaya pada kesadaran kolektif yang dengan liciknya berkata bahwa semua itu adalah sebuah rasionalitas. Apakah rasa lapar tidak rasional? Apakah kesendirian tidak rasional? Apakah seorang penyendiri tidak pernah berpikir rasional? Dan apakah cita-cita pribadi juga tidak rasional? Satu hal yang aku yakini, bahwa rasionalitas bukanlah alasan untuk lari dari ketakutan akan rasa lapar, kesendirian, dan mengejar cita-cita pribadi.

Jika ingin menjadi rockstar, maka buatlah jalan untuk menjadi seorang rockstar.

Hidup ini tidak perlu direduksi dengan alasan rasionalitas, apalagi kemudian rasionalitas yang tidak jelas tersebut malah mengusik kehidupan orang lain yang notabene adalah manusia bebas. Ketakutan untuk lapar dan kemudian menjadi pencemooh. Eksistensi seseorang hanya akan lahir dari pembuktiannya melawan dunia. Seorang pencemooh yang mereduksi “kelaparannya” dengan alasan rasionalitas dengan sendirinya tenggelam dan menyatu dengan dunia yang harus dilawan ini, membuat norma-norma, lalu menjadi fana.

Norma-norma adalah produk ketakutan manusia yang menyerang diri sendiri, kemudian manusia menjadi sebuah norma pula, bukan manusia yang utuh dengan kebebasannya. “Manusia-manusia norma” tersebut membelenggu manusia-manusia lain dengan norma-norma yang ada, membelenggu dengan ketakutannya.


Tak ada pilihan lain kecuali melawan, toh, dari awal aku percaya setiap manusia itu sama. Tak ada yang perlu dikhawatirkan terhadap kebebasan karena tiap manusia punya hati nurani. Kemudian, untuk segala alasan yang muncul, itu hanyalah sebuah ketakutan…