Selasa, 10 Maret 2015

Kita Kehilangan Cincin Sakral Kita, Sayang!


Di sebuah desa kecil, sepasang binatang aneh hidup dengan ketidakmengertian mereka akan hidup. Pagi hari, ketika itu matahari masih seperempat dari posisi terbit, sambil bercinta, mereka kehilangan beberapa hal penting yang cukup berharga, yaitu cincin emas yang mereka curi dari pasar yang sebenarnya juga dihidupi oleh para pencoleng yang sedang bersembunyi.
Binatang aneh tersebut menamai diri mereka manusia, paling tidak begitulah yang aku dengan dari cerita di warung kopi “Surgawi” di ujung gang rumahku. Suatu hari pernah aku bertanya pada si pemilik warung, namanya Rustam:
“Pak, kenapa mereka disebut manusia?” tanyaku.
“Kau tahu kenapa? Karena mereka selalu curiga dan takut seakan-akan telah melakukan kesalahan di tengah masyarakat kita yang kuno ini”. Kemudian Pak Rustam mengerling ke arah pintu warungnya yang terbuka lebar, meletakkan jari telunjuk di bibirnya yang legam memberi pertanda bahwa rahasia harus dibicarakan pada waktu yang tepat. Kedua binatang yang merasa manusia itu sedang berjalan di jalanan depan warung “Surgawi” milik Pak Rustam. Sekitar beberapa langkah, mereka berputar arah kemudian masuk ke dalam warung lalu memesan dua gelas kopi hitam.
“Kopi hitam dua Pak Rustam, tanpa gula jangan lupa!” seseorang (aku menyebutnya seseorang sesuai dengan anjuran Pak Rustam, demi menjaga etika, begitu katanya) dari mereka memesan.
“Siap! Jangan lupa nanti mampir lagi, malam ini warung saya ada hajatan. Syukuran kecil-kecilan”. Undangan Pak Rustam dibalas dengan acungan jari jempol dari seseorang yang memesan tadi.
Aku sendiri, menjadi kehilangan topik sejak kedua manusia itu masuk ke warung Pak Rustam. Aku menyesal telah membiasakan diriku menjadi seorang penggosip. Pak Rustam tahu itu, karena dia adalah orang yang paling bijak di kampung ini, dia akhirnya bercerita hal-hal sepele untuk berbasa-basi denganku.
“Oi! Jangan melamun!” Aku terkejut, “seseorang” yang memesan kopi hitam tadi mengagetkanku. Aku hanya tersenyum. Ia memperkenalkan dirinya,
“Isa.” Sejak perkenalan itulah, aku menyadari bahwa dia memang lebih pantas menjadi seorang manusia.
Sekian bulan telah berlalu, aku sudah dua kali mengunjungi rumahnya. Hidupnya tak lebih dari sederhana: memiliki seorang kekasih yang menurutnya begitu sempurna. Terkadang, aku menganggap apa yang dipikirkannya tentang kekasihnya memang benar belaka. Tapi ada satu hal, sebuah rahasia, yang tidak kupahami dengan baik dari kehidupannya. Sampai akhirnya dia beranjak dari desa ini, rahasia tersebut tak pernah bisa kuketahui.
Beberapa pekan sebelum dia menghilang, dia mengundangku ke rumahnya. Pada malam aku datang bertamu, dia bercerita banyak sekali tentang kisah hidupnya. Kata demi kata yang terurai dari mulutnya membuatku hanya bisa diam dan menjadi pendengar yang akan selalu membenarkan apa yang dikatakan oleh lawan bicaraku ini.
“Aku bertemu dengan dia (sambil merengkul bahu istrinya yang duduk bersebalahan dengannya) beberapa tahun yang lalu, mungkin sepuluh tahun”, katanya. Kemudian melanjutkan ceritanya,
“Bukankah kita belum terlalu mengenal satu sama lain pada saat kita sudah merasa saling jatuh cinta?”, aku kira itu adalah pertanyaan yang dilemparkan padaku, ternyata aku salah, dia sedang menggoda istrinya. Melihat mereka saling tersenyum, aku merasa cemburu.
“Dia adalah yang terbaik yang pernah kutemui”, lanjutnya.
“Oh, (dia menyebutkan namaku), sudahkah kamu merasa jatuh cinta?”, serangan kilat ini membuatku tergagap-gagap mencari kata-kata. Tanganku reflek menggaruk-menggaruk kantong jaket lusuhku, seakan-akan mengerti bahwa otakku sedang melakukan hal yang serupa.
“Mungkin sudah. Oh, bukan! Aku yakin sudah. Bukankah begitu menurut anda?” aku menatapnya dengan harapan akan keluar jawaban yang luar biasa.
“Hahahaha! Kita tidak pernah tahu banyak akan hal itu. Aku semakin yakin”, aku mendelik aneh mendengarkan jawabannya.
“Bagaimana dengan anda? Tidakkah cinta membuat anda bahagia?” , aku balik bertanya.
“Apa?”
“Tidakkah cinta membuat anda bahagia?”, ternyata pertanyaanku baru saja membuka pintu masalalu singkatnya.

Beberapa bulan lalu. . . .
Mobil itu berhenti di terminal sebelah pasar terbesar di sebuah desa kecil. Ketika pintu belakang terbuka, dua orang berpakaian aneh keluar dan menatap sekeliling, berbicara singkat, kemudian langsung berjalan kaki menuju rumah yang letaknya hanya beberapa puluh meter dari pasar. Kedua pasangan itu berpelukan di depan pintu rumah, kemudian berciuman sebentar, lalu masuk. Semua orang menatap aneh kepada mereka. Namun, suara pintu tertutup mengembalikan pasar kepada hiruk-pikuk seperti semula.
Ketika malam tiba, rumah itu masih menutup pintunya. Beberapa orang yang sering bergosip di warung kopi dekat pasar milik Pak Rustam menatap dengan keingintahuan yang menggebu-gebu tentang siapa mereka, dan kenapa mereka bersikap seperti itu. Ada yang berpendapat bahwa, mereka adalah pasangan yang baru saja menikah. Adapula yang berpendapat mereka itu hanya dua orang dengan otak mesum yang ingin merusak tradisi dan adat di desa.
Beberapa bulan setelah mereka tinggal di rumah itu, mereka mulai menampakkan diri di tengah masyarakat, bahkan menjadi akrab dengan pemilik warung kopi “Surgawi”, Pak Rustam. Kehidupan mereka tidak berubah, begitu juga gosip dan tatapan sinis dari masyarakat desa, selain Pak Rustam. Namun, gosip tetaplah gosip, tidak akan berubah menjadi suatu yang jujur. Di tengah-tengah rahasia umum yang hidup di sekitar kedua pasangan itu, akhirnya mereka benar-benar menghilang dari peradaban desa. Entah mengapa, aku tidak tahu. Karena tidak ada penduduk desa yang pernah memperingati, apalagi mengusir mereka.
Beberapa tahun kemudian, aku masih mengikuti dan mencari tahu penyebab mereka menghilang. Dari seorang teman yang mengaku dekat dengan pasangan tersebut, menceritakan sesuatu yang membuatku sedih;
“Mereka bahkan tidak pernah merasa punya waktu untuk bercinta. Sebab, si pasangan lelaki terlalu sibuk mengurusi kekasihnya yang selalu kehilangan kepercayaan dirinya karena dihantui ketakutan”. Kata seorang teman yang tidak mau identitasnya dibuka itu.
“Tekanan?”, tanyaku.
Sang “Teman Rahasia” kemudian memberiku sebuah cerita ilustrasi tentang pasangan kekasih tersebut;
“Aku mencintaimu”, ucap sang lelaki kepada perempuannya.
“Aku juga, Sayang. Kamu tidak perlu ikut memikirkan hal yang aku pikirkan. Lakukan saja apa yang kau ingin lakukan”. Kemudian mereka bercinta. Seusai bercinta, mereka kembali bercerita.
“Aku sangat merasa terganggu. Kita kehilangan kepantasan yang seharusnya pantas kita rasakan. Aku akan melakukan beberapa hal beberapa hari kemudian, terkait hidup kita”. Ucap sang lelaki memulai pembicaraan.
“Peluk aku erat-erat”, segera saja sang lelaki mendekap perempuannya itu. Lalu berbicara lagi,
“Aku menyesal telah memuja pelangi pada waktu hujan beberapa hari lalu. Mata-mata yang kita perhatikan sore hari setelah hujan itu, bukanlah mata-mata yang lahir untuk menyembah kebenaran. Siapakah yang pantas melihat pelangi itu, Sayang? Hanya kita”
“Kemudian apa arti dari kehidupan yang dijepitkan pada nasib yang kita pakai ini? Hanya kamu, yang akan mengatakan kata-kata yang kuyakini itu benar. Kita tidak akan berlama-lama disini, karena begitulah seharusnya”. Mereka masih berpelukan di ranjang yang masih berbau aroma bercinta. Si lelaki meneruskan ceritanya,
“Kita adalah manusia. Benarkan, Sayang?”, tanya si lelaki kepada perempuannya dengan lembut.
“Itu istilah paling indah yang pernah kudengar, Sayang. Lanjutkan ceritamu”,
“Aku hanya berusaha membahasakan antonym dari spesies yang kita hidupi saat ini. Bukankah kita merasa lain? Binatang, istilah seperti apa itu?”
“Lanjutkan ceritamu, Sayang”,
“Kita harus tetap membuka pintu rumah ini selebar mungkin, berjalan di tengah desa, dan mampir ke warung Pak Rustam. Dia punya kopi yang sangat enak. Ngomong-ngomong, kau tahu siapa lelaki yang tadi kita temui di warung Pak Rustam?”
“Bukankah kau sudah berkenalan dengannya?”, mereka terdiam sejenak.
“Iya, aku sudah mengenalnya, Sayang. Ayo kita tidur”.

Keesokan harinya…..
Si lelaki mencium perempuannya pada saat matanya terbuka untuk pertama kalinya di pagi itu. Kemudian mereka bercinta.
“Soal laki-laki di warung Pak Rustam kemaren, aku bermimpi tentang dirinya semalam. Dia datang membawakan sepucuk surat yang tidak mampu kumengerti bahasa tulisannya. Dia tersenyum, kemudian pergi meninggalkan beranda rumah kita”. Setelah semuanya sempurna di pagi itu – tentu saja dengan kopi hitam panas di meja, rokok, dan perempuannya yang duduk mendengarkannya bercerita di beranda rumah mereka – si lelaki memulai ceritanya yang terdengar seperti lantunan pujangga.
“Mimpimu lucu. Hehehe”,
“Apakah hal yang paling membuatmu jengkel, Sayang?”
“Hal yang paling membuatmu jengkel, itulah hal yang paling membuatku jengkel”.
“Aku memiliki kehidupan baru setelah kau menjadikan duniaku sebagai kita, ketakutanku bersandar di samping bunga-bunga mawar berduri. Lelaki itu akan kuundang kemari beberapa kali”.

Lalu, aku merangkai sendiri kisah-kisah itu ke dalam sudut pandangku;
Pada kunjunganku yang pertama. . .
“Siapakah yang menurutmu paling tidak setuju dengan istilah manusia yang kuucapkan padamu barusan?”, Tanya lelaki itu. Pada saat itulah, aku menyadari bahwa ia memiliki wajah yang keras namun mampu berkata halus seperti beledu. Dia melanjutkan ceritanya sebelum aku sempat memikirkan jawaban dari pertanyaannya.
“aku selalu bercinta, bahkan bunga-bunga liar sekalipun bertepuk tangan melihat keringatku menetes ke wajah manis kekasihku. Bagaimana menurutmu?”
“Aku mengetahui banyak tentang ungkapan-ungkapan. . . .”, kalimatku terhenti, tiba-tiba ia kembali mengucapkan puisi-puisinya,
“Jujur saja, aku sedang merasakan kesedihan mendalam. Begitu pula dengan kekasihku. Tahukah kau apa artinya ini? Orang-orang disana akan menari-nari jika ada berita yang tak pernah mengenal cara, buatku, itu bukanlah dunia. Itu adalah takdir yang salah. Aku sangat bersedih, begitu juga dengan kekasihku”, dia menyeruput kopinya, begitu pula denganku. Aku tahu, saat itu aku hanya akan menjadi pendengar.
“Bisakah kau menceritakan padaku tentang keramaian di luar beranda ini?”, kemudian dia menyerahkan giliran padaku.
“Aku hanya ingin mendengarkan ceritamu”, kemudian dia terdiam sejenak, masuk ke dalam rumah. Sayup-sayup kemudian semakin jelas kudengar musik menyala dari dalam.
“Pembicaraan ini sudah berakhir”, aku membatin.

Pada kunjunganku yang kedua dan yang terakhir. . . .
“Aku tidak mengerti kenapa semakin lama hidup ini semakin menyedihkan. Beberapa anak-anak berlari-larian di depan rumah, namun ketika kulihat mata mereka, teryata mereka bukan lagi anak-anak. Itulah hal yang membuatku merasa sangat sedih. Kekasihku mengerti akan hal itu”, tidak kusangka, wajahnya begitu marah pada saat itu. Kemudian dia mengajak kekasihnya nimbrung dalam pembicaraan.
“Sayang”, si lelaki menyambut sapaan itu dengan merangkul bahu kekasihnya. Aku merasa malu, dan sadar telah kehilangan banyak hal dalam hidupku. Mereka mengenalkanku pada makna manusia yang sebenarnya, cinta. Aku luar biasa cemburu. Dia menceritakan sekilas tentang kisah cintanya dengan kekasih yang sangat ia cintai itu. Namun aku membuat kesalahan kecil yang sangat berarti dalam hidup mereka berdua, pasangan tersebut.
“Tidakkah cinta membuat anda bahagia?”, ucapku. Dia terdiam sangat lama, seperti mengingat-ingat masalalunya, kemudian mengucapkan kata-kata yang membuatku merasa sangat sedih,
“Kita bertemu kembali di kenyataan, Teman. Aku menelusuri lorong waktu yang dicetak dalam bentuk biang lala. Kau kutemukan di bawah, di ujung permainan, dan itu sekarang. Tidakkah kau merasakan bahwa waktu kita telah hilang barusaja? Seharusnya kau sudah melangkahkah kakimu pulang dari sekarang”.
Dia menyuruhku pulang. Semenjak kakiku melangkah dari beranda rumahnya, kemudian aku menatap sekali ke belakang, ke arah pasangan tersebut untuk terakhir kalinya, aku tidak lagi pernah melihat mereka.
Setelah tiga tahun berlalu, ada satu hal yang membuatku masih merasakan sedih yang begitu sangat menyiksa;
Bukan cerita sedih yang dituturkannya padaku pada waktu-waktu kami berbincang. Bukan pula kecemburuanku yang mendalam pada cara mereka berhubungan, bukan itu. Hal yang membuatku sangat bersedih hati adalah kesadaran yang diwariskannya kepadaku tentang kebusukan mental orang-orang di desa ini. Hal yang ia sembunyikan sebagai teka-teki di dalam kalimat yang ia ucapkan padaku dulu. Aku menyadarinya dengan lambat-laun. Hingga akhirnya aku menyadari bahwa cerita yang ia tuturkan dulu adalah mantra yang mereka baca untuk menurunkan kutukan yang mereka alami sebagai takdir kepadaku.
Aku melewati hari-hariku tanpa sedetikpun dapat lepas dari kisah sedih yang datang padaku tiga tahun yang lalu. Tidak semuanya dapat kumengerti dengan baik, karena memang cerita tersebut tidak akan ada yang mengerti. Semuanya sangat kompleks seperti alam semesta. Namun kutukannya sangat nyata, aku tidak bisa menghilangkan kesedihan yang menghantamku sejak mengenalnya di warung kopi “Surgawi” milik Pak Rustam dulu. Kini aku memulai suatu petualangan yang sangat panjang dan berat. Dialah yang mengiringiku menuju garis start, dengan sangat menyedihkan, aku memulai kehidupan sebagai pelajar yang belajar untuk menjadi manusia. Dan itu sangat menyedihkan.

11 Maret 2015, Rabu. . .
Fauzan Kumbang

Paranoid Tanpa Nama

Pada saat membaca puisimu, kegelapan datang lalu memperkenalkan diri sebagai John Lennon. Ketakutan adalah masa depan di luar kacamata bundar murahan toko grosiran.

Tidak ada yang bisa dikomentari dari lagu funk, anak-anak dengan dada ngilu yang lahir dari rahim BBC beberapa hari atau minggu yang lalu.

Aku terpaksa mengalah, sedikit saja demi perdamaian yang terkubur entah dimana. Aku mengalah, Sayang. Padahal tidak ada dosa dari percumbuan yang rinai dan suara-suara pohon bambu di balik sungai.

Aku tidak sabar untuk pergi entah kemana. Hauwalawahaya, biru-biru seperti coklat yang dibungkus asap ketidakjelasan saat ini, aku ketakutan setengah mati, my God!

Musik! Musik! Aku butuh musik! Baiklah, kita akan segera duduk manis di meja-meja rapat bertradisi kuno. “Siapakah mereka? Aku tidak tahu!” jawab Tuhan kesal.

Berhenti.


10 Maret 2015