Minggu, 26 Juni 2016

Mata Lionel Messi

2014, 2015, 2016, adalah angka-angka yang jika dikombinasikan dengan nama Lionel Messi, akan menjadi acuan epistemologi dari "kata" yang mengacu pada kegagalan. Begitulah, sejarah sudah mencatatnya. Dari "kata" yang mengandung makna kegagalan tersebut, kemudian akan muncul suatu metafora, di mana kata 'Messi' terlepas dari sejarahnya; karena di zaman sekarang, Messias (Messi) yang sangat dikagumi oleh seluruh dunia itu gagal menyelamatkan bangsa dan negaranya dalam kurun waktu tiga tahun di atas; kalah atas Jerman di final World Cup 2014, kalah lagi di final Copa America 2015 dalam babak adu penalty melawan Chile, dan lagi-lagi kalah melawan Chile di Copa America Centenario 2016 lewat babak adu penalty.

Untungnya, kegagalan tersebut tidak terjadi di Eropa. Namun, tetap sulit rasanya untuk tidak membayangkan bahwa akan muncul istilah serapan dari kata 'Messias' di Argentina yang memiliki makna yang berseberangan dengan arti yang sebenarnya. Sebab, dalam sebuah negara poskolonial seperti Argentina, sejarah dapat diabaikan demi suatu penolakan terhadap imperialisme, dan makna dari kata Messias dapat dimaknai berdasarkan konteks waktu aktual; pertama, untuk menyerang 'kekuasaan' Eropa, melalui penyerapan kata Messias alias Juru Selamat dengan melepaskannya dari maknanya dalam sejarah(sebuah serangan politis lewat bahasa); kedua, kata 'Messi' atau 'Messias' diserap dan berubah menjadi istilah 'lokal'. Ada dua alasan yang dapat membenarkan apropriasi (penyerapan) tersebut; pertama, untuk menolak kekuasaan Barat dengan mengabaikan sejarah kata 'Messias' menurut perspektif Eropa (Spanyol) dan menghadirkannya berdasarkan pengalaman aktual lokal; kedua, sebagai upaya menunjukkan kekhasan kultural Argentina: Messias selalu gagal menyelamatkan negaranya dari kekalahan pada saat-saat dirinya paling dibutuhkan.

Lionel Messi, pemain yang paling cemerlang di dalam sejarah sepakbola di awal abad ke 21 melalui perjalan karirnya di Eropa. Lima kali meraih gelar Ballon d'Or (empat di antarannya diraih secara berturut-turut), tujuh kali meraih gelar La Liga, empat kali Liga Champion Eropa, tiga kali Copa Del Rey, Enam kali Super Copa Spanyol, tiga kali UEFA Super Cup, dua kali FIFA Club World Cup; bersama klubnya Barcelona. Rasanya, Eropa berupaya dan memang berhak mengklaim Messi sebagai pesepakbola Eropa. Karirnya di tim nasional Argentina menjadi marjinal, pinggiran. Saya berani bertaruh, bahwa sangat masuk akal untuk menebak, bahwa ini adalah hegemoni Spanyol di Argentina. Disadari atau tidak.

Eropa, terutama Spanyol dan lebih khusus lagi Barcelona, akan selalu mengingat nama Messi sebagai seorang penyelamat dunia sepak bola mereka. Namun, sayang, bakat luar biasa anak Argentina itu, setelah melewati waktu yang panjang, pada akhirnya tidak dapat menyejajarkan sepakbola negaranya dengan sepak bola di klubnya di Spanyol, Barcelona. Sejauh ini, meskipun tidak dapat menghapus fakta bahwa Messi adalah seorang pesepakbola luar biasa, sebagai penggemar tim sepak bola Argentina, saya harus mengatakan bahwa kehadiran Messi justru me-'marjinal'-kan kultur sepakbola Argentina. Karena, saya yakin, saat ini sebagian besar penggemar timnas Argentina melihat sepakbola Argentina melalui mata Lionel Messi.

Inikah yang dikatakan dengan Ironi?