Hari ini aku akan
pulang ke Jogja. Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap-siap untuk berangkat dari
Depok menuju Stasiun Senen lalu ke Stasiun Lempuyangan, Jogjakarta. Sayangnya,
aku tidak merasakan kesegaran mandi pagi karena cuaca Jakarta yang sumuk. Dengan badan yang tidak segar dan
mata yang masih mengantuk aku berangkat menuju Senen. Di perjalananpun kondisi
tak jauh lebih baik, jalanan yang macet, kopaja yang berdesak-desakan, dan
matahari yang terik. Pukul 12 lewat 15 menit aku sampai di daerah Senen dengan
jadwal keberangkatan kereta pukul setengah 1 teng. Mengisi kebosanan dalam
perjalanan, aku memutuskan untuk berfikir tentang hidup.
…..
Manusia adalah makhluk
kesendirian yang dengan kebebasannya melangkah menuju realisasi dari ide atau
kehendaknya sendiri. Ahh, begitu sederhananya hidup ini, kesederhanaan yang
tidak dapat dikatakan menyenangkan. Karena manusia selalu gelisah.
Seperti sebuah
lingkaran besar yang di dalamnya terdapat lingkaran-lingkaran kecil yang harus
di hidupi satu per satu kemudian belajar dan belajar. Seperti menyusun puzzle
yang setiap potongannya harus di pahami sehingga membentuk sesuatu yang utuh
dan memiliki eksistensi. Seperti Yesus yang membiarkan dirinya di salib karena
ia telah menyusun ajarannya dalam bentuk yang ideal, seperti Sidharta Gautama
yang mengalami moksa, dan seperti Kurt Cobain.
Manusia menciptakan
eksistensinya, tetapi dirinya tidak akan hidup di dalam eksistensi tersebut
karena eksistensi sebenarnya adalah fase “akhir” dari kehidupan fisik. Bahkan
waktupun akan menghancurkan jiwa yang selalu setia terhadap eksistensi. Karena
pisau yang tajam akan hancur seiring berjalannya waktu.
Dalam lingkaran
besarnya, yaitu Ide, manusia akan menghancurkan tesisnya dengan menggeseknya
dengan lingkaran-lingkaran kecil yang berserakan di dalam lingkaran besar itu.
Pemahaman baru yang muncul dari proses saling menghancurkan itu kemudian akan diletakkan
pada posisinya yang pas dalam puzzle melingkar kehidupan seorang manusia. Lalu kembali
bergulat dengan lingkaran kecil lainnya.
Saling menghancurkan
barangkali merupakan cara hidup bagi manusia yang idealis. Menghancurkan untuk
kemudian menciptakan bentuk ideal dan diletakkan pada posisi yang pas. Ketika
semua potongan puzzle sudah tersusun, maka tidak ada lagi yang harus digerakkan.
Manusia tidak dapat lagi memainkan puzzle tersebut, karena eksistensi adalah
batas.
Begitu juga dengan Kurt
Cobain ketika ia memutuskan untuk bunuh diri, ia tidak dapat melakukan apa-apa
lagi karena eksistensinya. Dan kenyataan bahwa gaya hidupnya menjadi panutan
banyak orang, adalah akhir dari kehidupan fisiknya. Ditambah lagi kekecewaannya
atas kapitalisme yang memanfaatkan style-nya untuk dijual, suatu salah kaprah
terjadi dari eksistensi Kurt. Tetapi musiknya sudah menjadi ideology bagi anak
muda.
Pada salah satu
potongan puzzle yang dihidupi oleh Kurt, pilihannya untuk menjadi “gelandangan”
daripada bekerja setelah ia tamat dari SMA membuatnya untuk beberapa lama
tinggal di kolong jembatan. Namun hal itu tidak menghalanginya untuk menjadi
dirinya yang sebenarnya dituju.
Kurt Cobain sudah
berhasil menyusun semua potongan puzzle kehidupannya.
Bagaimana dengan
tanggung-jawab?
Pemahaman soal tanggung
jawab, juga berbeda ketika seorang manusia berpikir soal bagaimana cara
merealisasikan Ide-nya. Kesadaran akan eksistensi membuat seorang manusia melihat
lingkaran besar jalan hidupnya. Bahwa manusia tidak hidup dalam satu potongan
puzzle saja. Tidak ada pertanggungjawaban atas perjalanan dari pencarian letak
potongan puzzle yang tepat kecuali pelajaran dari tiap-tiap potongan puzzle
lalu meletakkannya.
Kesadaran seperti ini
muncul apabila manusia sudah mengalahkan rasa takut akan suatu kehancuran.
Lalu apa yang harus
dipertanggungjawabkan? Jawabannya adalah Ide kehidupan personal yang kita
bentuk dan akan kita realisasikan. Yang harus dipertanggungjawabkan adalah kesadaran
akan sebuah lingkaran besar eksistensi. Karena alasan itulah kenapa manusia
selalu sendiri. Dengan catatan, manusia jangan sampai terlepas dari hokum social,
seperti pergaulan sehari-hari, walaupun sah-sah saja jika kehendak manusia
dibenurkan dengan hokum-hukum formal. Tiba-tiba tangan seseorang menepuk
pundakku beberapa kali. Ternyata itu adalah tangan si kondektur yang menagih
ongkos sekaligus mengakhiri apa yang aku pikirkan barusan.
Jalanan masih saja
macet dan bis masih saja dipenuhi oleh manusia-manusia yang berdesakan. Kemudian
aku terkejut melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 12 lewat 25 menit sementara
aku masih di dalam bis Kopaja. Tepat 5 menit kemudian aku sampai di stasiun.
Berlari menuju kereta, namun apa bisa dikata, kereta telah pergi meninggalkanku
yang berkeringat lelah di peron.
Ini adalah bagian dari
kisah hidupku dalam satu potongan puzzle dan aku tak perlu
mempertanggungjawabkan kepergian kereta tersebut karena bagaimanapun kereta itu
akan terus berjalan tanpa perlu pertangungjawabanku. Ini hanya sepotong kecil
kisah, masih banyak potongan lain yang akan kujalani.
Kemudian aku menghubungi
salah satu travel menuju Jogja, berangkat pukul 8 malam dan 12 jam kemudian aku
akhirnya sampai juga di Jogja. Aku masih terlalu jauh dari eksistensi dan aku
adalah satu titik yang bergerak didalam sebuah lingkaran besar. Namun bisa
kupastikan, aku berada dijalur yang benar.
"Robah keinginan sendiri, bukan merombak dunia. Karena tidak ada satu
pun yang berada dibawah kekuasaan kita sepenuhnya kecuali pikiran kita.
~Rene D".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar