Selasa, 05 November 2013

Eksistensi adalah Batas



Hari ini aku akan pulang ke Jogja. Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap-siap untuk berangkat dari Depok menuju Stasiun Senen lalu ke Stasiun Lempuyangan, Jogjakarta. Sayangnya, aku tidak merasakan kesegaran mandi pagi karena cuaca Jakarta yang sumuk. Dengan badan yang tidak segar dan mata yang masih mengantuk aku berangkat menuju Senen. Di perjalananpun kondisi tak jauh lebih baik, jalanan yang macet, kopaja yang berdesak-desakan, dan matahari yang terik. Pukul 12 lewat 15 menit aku sampai di daerah Senen dengan jadwal keberangkatan kereta pukul setengah 1 teng. Mengisi kebosanan dalam perjalanan, aku memutuskan untuk berfikir tentang hidup.

…..

Manusia adalah makhluk kesendirian yang dengan kebebasannya melangkah menuju realisasi dari ide atau kehendaknya sendiri. Ahh, begitu sederhananya hidup ini, kesederhanaan yang tidak dapat dikatakan menyenangkan. Karena manusia selalu gelisah.

Seperti sebuah lingkaran besar yang di dalamnya terdapat lingkaran-lingkaran kecil yang harus di hidupi satu per satu kemudian belajar dan belajar. Seperti menyusun puzzle yang setiap potongannya harus di pahami sehingga membentuk sesuatu yang utuh dan memiliki eksistensi. Seperti Yesus yang membiarkan dirinya di salib karena ia telah menyusun ajarannya dalam bentuk yang ideal, seperti Sidharta Gautama yang mengalami moksa, dan seperti Kurt Cobain.

Manusia menciptakan eksistensinya, tetapi dirinya tidak akan hidup di dalam eksistensi tersebut karena eksistensi sebenarnya adalah fase “akhir” dari kehidupan fisik. Bahkan waktupun akan menghancurkan jiwa yang selalu setia terhadap eksistensi. Karena pisau yang tajam akan hancur seiring berjalannya waktu.

Dalam lingkaran besarnya, yaitu Ide, manusia akan menghancurkan tesisnya dengan menggeseknya dengan lingkaran-lingkaran kecil yang berserakan di dalam lingkaran besar itu. Pemahaman baru yang muncul dari proses saling menghancurkan itu kemudian akan diletakkan pada posisinya yang pas dalam puzzle melingkar kehidupan seorang manusia. Lalu kembali bergulat dengan lingkaran kecil lainnya.

Saling menghancurkan barangkali merupakan cara hidup bagi manusia yang idealis. Menghancurkan untuk kemudian menciptakan bentuk ideal dan diletakkan pada posisi yang pas. Ketika semua potongan puzzle sudah tersusun, maka tidak ada lagi yang harus digerakkan. Manusia tidak dapat lagi memainkan puzzle tersebut, karena eksistensi adalah batas.

Begitu juga dengan Kurt Cobain ketika ia memutuskan untuk bunuh diri, ia tidak dapat melakukan apa-apa lagi karena eksistensinya. Dan kenyataan bahwa gaya hidupnya menjadi panutan banyak orang, adalah akhir dari kehidupan fisiknya. Ditambah lagi kekecewaannya atas kapitalisme yang memanfaatkan style-nya untuk dijual, suatu salah kaprah terjadi dari eksistensi Kurt. Tetapi musiknya sudah menjadi ideology bagi anak muda.

Pada salah satu potongan puzzle yang dihidupi oleh Kurt, pilihannya untuk menjadi “gelandangan” daripada bekerja setelah ia tamat dari SMA membuatnya untuk beberapa lama tinggal di kolong jembatan. Namun hal itu tidak menghalanginya untuk menjadi dirinya yang sebenarnya dituju.
Kurt Cobain sudah berhasil menyusun semua potongan puzzle kehidupannya.

Bagaimana dengan tanggung-jawab?

Pemahaman soal tanggung jawab, juga berbeda ketika seorang manusia berpikir soal bagaimana cara merealisasikan Ide-nya. Kesadaran akan eksistensi membuat seorang manusia melihat lingkaran besar jalan hidupnya. Bahwa manusia tidak hidup dalam satu potongan puzzle saja. Tidak ada pertanggungjawaban atas perjalanan dari pencarian letak potongan puzzle yang tepat kecuali pelajaran dari tiap-tiap potongan puzzle lalu meletakkannya.

Kesadaran seperti ini muncul apabila manusia sudah mengalahkan rasa takut akan suatu kehancuran.

Lalu apa yang harus dipertanggungjawabkan? Jawabannya adalah Ide kehidupan personal yang kita bentuk dan akan kita realisasikan. Yang harus dipertanggungjawabkan adalah kesadaran akan sebuah lingkaran besar eksistensi. Karena alasan itulah kenapa manusia selalu sendiri. Dengan catatan, manusia jangan sampai terlepas dari hokum social, seperti pergaulan sehari-hari, walaupun sah-sah saja jika kehendak manusia dibenurkan dengan hokum-hukum formal. Tiba-tiba tangan seseorang menepuk pundakku beberapa kali. Ternyata itu adalah tangan si kondektur yang menagih ongkos sekaligus mengakhiri apa yang aku pikirkan barusan.

Jalanan masih saja macet dan bis masih saja dipenuhi oleh manusia-manusia yang berdesakan. Kemudian aku terkejut melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 12 lewat 25 menit sementara aku masih di dalam bis Kopaja. Tepat 5 menit kemudian aku sampai di stasiun. Berlari menuju kereta, namun apa bisa dikata, kereta telah pergi meninggalkanku yang berkeringat lelah di peron.

Ini adalah bagian dari kisah hidupku dalam satu potongan puzzle dan aku tak perlu mempertanggungjawabkan kepergian kereta tersebut karena bagaimanapun kereta itu akan terus berjalan tanpa perlu pertangungjawabanku. Ini hanya sepotong kecil kisah, masih banyak potongan lain yang akan kujalani.

Kemudian aku menghubungi salah satu travel menuju Jogja, berangkat pukul 8 malam dan 12 jam kemudian aku akhirnya sampai juga di Jogja. Aku masih terlalu jauh dari eksistensi dan aku adalah satu titik yang bergerak didalam sebuah lingkaran besar. Namun bisa kupastikan, aku berada dijalur yang benar.

"Robah keinginan sendiri, bukan merombak dunia. Karena tidak ada satu pun yang berada dibawah kekuasaan kita sepenuhnya kecuali pikiran kita. ~Rene D".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar