Entah kenapa, berat
menulis puisi menggunakan bahasa Indonesia.
Setiap kata yang
kutulis, terasa berlebih-lebihan, manja, dan menjijikkan.
Kenapa?
Jawabannya adalah:
karena aku jijik melihat puisiku sendiri.
Lihatlah, hampir di
setiap puisi yang pernah kutulis, aku melarikan diri dari perasaan yang sebenarnya.
Menutupi hal yang
sebenarnya.
Aku jatuh cinta, dan
aku tidak berani mengatakan apa-apa. Sebaliknya, aku menciptakan diksi-diksi untuk mengatakan bahwa aku ‘baik-baik’ saja.
Karena, kenyataan di
dalamnya sangat menakutkan.
Menakutkan sehingga membuatku
merasa ingin muntah, tetapi kuanggap hal itu sebagai menjijikkan.
Bukan
menakutkan.
Karena, jika kutuliskan
apa yang sebenarnya, menakutkan memikirkan bagaimana aku menghadapi orang-orang
di esok hari.
Itulah kenyataannya.
Aku ingin menyelami jiwa-jiwa para penulis hebat di dunia, lalu mencari tahu
apakah mereka juga mengalami apa yang kualami, melakukan apa yang kulakukan,
dan bagaimana rasanya melewati masa-masa seperti itu.
Menghadapi orang-orang
di esok hari. Itulah yang sangat menakutkan.
Tapi, aku sedang jatuh
cinta, mencari sesuatu untuk memberi makan pikiranku, dan merahasiakan sesuatu.
Histrionic. Ini adalah
tentang diriku, bukan kau, kalian, atau siapapun. Aku butuh diriku untuk merasa
baik-baik saja.
Untuk tenang,
Dan kuharap, kau juga
merasa baik-baik saja....