Kamis, 20 September 2018

Puisi 25 September

JAKARTA -- Seringkali aku merasa hujan tanpa nama akan menghadiri sebuah pesta di taman yang terikat kencang dengan kenangan manis yang menyiksaku beberapa tahun lalu.

Di balik dinding kamar, kuresapi kesepian sebagai anak muda yang hanya ingin, secara mutlak, membatasi perihal halal dan haram dengan harga diri yang setinggi langit hingga menyentuh Tuhan yang tidak pernah kukenali dengan baik.

Aku sombong karena tidak ingin mengambil sesuatu yang menurutku sama saja dengan menjual harga diri

Untuk mendapatkan sepeser uang, kita perlu merasakan yang namanya mati.

Puisi-puisiku tetap tak masuk di akal meskipun hidupku mengalir begitu saja.

Genderang-genderang ketakutan masih berdiri di depan pintu kamar, kesepian yang absolut masih hadir menunjukkan wajahnya yang murka sepertihalnya dosa yang menuding seseorang tanpa pahala,

Ia membenci harga diriku.

Aku dikhianati berkali-kali di medan perang, tapi teman-temanku mati bukan di medan perang, diri mereka telah menyesatkan apa yang disebut dengan akal sehat

Terbaring lemah tanpa daya, bersimbah darah yang mengucur dari kepala, kulit kering tinggal tulang, bau mesiu, dan kematian yang akhirnya dilumat media

Aku masih tidak percaya dengan apapun,

Puisiku seperti kehilangan selera, masihkah aku muda?

Atau, aku hanya kehilangan suatu masa? Dan terjebak untuk melihat kejahatan terhadap harga diri manusia dari sisi-sisi aman kebaikan?

Kukira, itulah yang sebenarnya terjadi. Kita sebenarnya tidak pernah terlindungi,

Dan,

Selamat Ulang Tahun, Fauzan!!!

Jangan biarkan setan-setan itu menusukmu..

Amin