Selasa, 17 Desember 2013

Sebenarnya bukan Manusia-lah yang Mengkonsumsi Teknologi dan Sabda Tuhan adalah Trend

Hidup adalah cerita tentang bergerak maju di jalanan diantara para manusia, terkadang kita melewati perempatan, menemukan seseorang disana, dan kembali pergi melanjutkan hidup yang sendiri dan tak bisa ditebak. Jalanan dengan udara dan matahari yang sama, semuanya memberikan tekanan pada hidup. Kemudian manusia akan memilih; mengalah atau melawan.

Yang jelas, setiap manusia memiliki jatah hidup masing-masing yang di atur oleh dirinya sendiri dan konsekuensinya dihadapi sendiri. Tapi terserah, definisi ini hanya pandangan subyektif saya, dan setiap orang bebas mengartikan hidupnya masing-masing.

Tekanan-tekanan yang muncul dalam kehidupan ini kemudian memunculkan arus-arus besar yang menyeret manusia bersamanya atau sebaliknya, manusia yang melawan, dan demi kebutuhan hidup, sebagian orang akan mengalah pada arus. Namun, sebagian lagi akan terus melawan arus dan mempertahankan pemaknaan-nya masing-masing. Logikanya, akan lebih banyak manusia terbawa arus karena keterbatasan tenaga daripada manusia yang terus melawan. Sehingga muncullah apa yang sekarang sedang nge-trend, mainstream dan hipster.

Saya mencoba mencermati apa yang menjadi mainstream di zaman sekarang, apa yang memberi tekanan pada manusia, dan kecenderungan apa yang muncul; melawan atau mengalah.

Mungkin saya akan mengaitkannya sedikit dengan semangat band Punk di era 70-an, The Clash.

The Clash adalah band Punk yang muncul di Inggris pada pertengahan 70-an. Hidup dalam kondisi masyarakat yang mapan, dan inilah yang mereka lawan. Sebagai penikmat lagu-lagu Punk, sedikitnya saya dapat memahami alasan kenapa The Clash anti terhadap kemapanan. Sekali lagi, ini subjektif. Alasannya sederhana, karena kemapanan adalah arus besar yang memaksa manusia untuk berhenti menjadi apa yang mereka impikan sebagai kebebasan.

Memang terdapat kesamaan antara era The Clash dengan Indonesia sekarang, atau yang lebih sering disebut orang-orang sebagai era globalisasi.

Di era 70-an, terutama di Inggris dan Amerika, adalah puncak dari kemajuan teknologi dan ekonomi yang dimulai dari tahun 50-an (pasca Perang Dunia ke 2) sebagai negara yang memenangkan perang.(Jakartabeat.net). Yang menjadi mainstream pada masa itu adalah ekonomi sebagai orientasi dan hidup mewah menggunakan produk-produk mahal, sebagai tolak ukur kemapanan.

The Clash melakukan perlawanan atas hal tersebut. Salah satunya terhadap industri musik yang pada masa itu hanya mengejar keuntungan ekonomi semata (komersial) dan dianggap menyulitkan ekspresi berkesenian individual. Pada album London Calling, The Clash memaksa perusahaan rekamannya untuk menjual album tersebut dengan harga murah.(jakartabeat.net)

The Clash juga mengangkat persoalan-persoalan global dalam lagu-lagunya di album ini mulai dari global warming, era persaingan nuklir hingga berbagai konflik. Dalam lagu “London Calling” itu misalnya, Joe Strummer sang vokalis sekaligus gitaris berseru: “The ice age is coming, the sun is zooming in, engines stop running, and the wheat is growing thin, a nuclear error, but i have no fear, London is drowning - and I live by the river”.(jakartabeat.net)

Lagu lain yang berjudul “Spanish Bomb” diilhami oleh berita meledaknya bom di sebuah provinsi di Spanyol yang hendak memerdekakan diri. Memang, seperti diakui para personel grup ini, mereka memilih nama the Clash sebagai nama grupnya karena kata “clash” menurut mereka adalah kata yang paling sering dijumpai di surat kabar saat itu.(jakartabeat.net)

Dari The Clash, kita beralih ke dalam negeri. Seperti di Inggris tahun 70-an, Indonesia sekarang ini juga dikuasai oleh perusahaan-perusahaan komersil, kebanyakan masyarakatnya berorientasi ekonomi, dan mengkonsumsi teknologi pada tiap perkembangannya. Hanya bedanya, Inggris dan Amerika memproduksi sendiri teknologinya, sedangkan Indonesia, teknologi yang ada merupakan barang impor.

Ya, ekonomi dan teknologi adalah mainstream di Indonesia saat ini. Keduanya, antara ekonomi dan teknologi, saling bahu-membahu untuk saling memajukan diri masing-masing, yang satu mengkonsumsi manusia dengan hasil produksinya, yang satu menyulap konsumerisme menjadi trend. Sebenarnya bukan manusia-lah yang mengkonsumsi teknologi, tapi teknologi-lah yang mengkonsumsi mental manusia. Karena dengan menguasai mental manusia, ekonomi dan teknologi menjadi Tuhan yang setiap sabdanya akan dibeli. Persis seperti yang terjadi saat ini, gadget seperti blackberry dan android sama halnya dengan sabda Tuhan karena setelah kemunculannya banyak manusia yang membelinya demi mengikuti trend.

Sabda Tuhan adalah trend.

Di suatu cafe di Yogyakarta, saya pernah melihat setiap orang yang datang dan berkumpul selama berjam-jam hanya sibuk dengan gadget masing-masing, termasuk perkumpulan saya sendiri. Tanpa menilai ini sebagai sesuatu yang salah, saya menganggap fenomena ini muncul menjadi budaya yang bertentangan pemikiran saya. Saya stress pada saat itu.

Saya menganggap itu sebagai bentuk kemapanan di Indonesia saat ini, sebagai mainstream yang akan saya lawan sendiri atau siapapun yang gelisah karenanya.

Sebagai mainstream, fenomena ini tentunya memberikan tekanan kepada setiap manusia, disadari atau tidak. Kecenderungan yang muncul adalah manusia mengalah terhadap mainstream ini. Itu dapat saya buktikan, paling tidak dari lingkungan saya sendiri, hampir setiap teman-teman saya menggunakan android dan blackberry dan lebih sering berkomunikasi lewat kedua benda tersebut daripada berkomunikasi secara langsung.

Tetapi, sebagai manusia, saya sadar bahwa setiap manusia bebas memilih cara hidup masing-masing.

Apa yang dilawan oleh idelogi Punk sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang saya lawan sekarang. Sebuah kondisi dimana mainstream membuat sebagian orang menjadi stress dan melakukan perlawanan terhadap mainstream tersebut. Perlawanan terhadap kemapanan - dimana manusia menjadi mapan ketika berkomunikasi lewat android dan blackberry ketimbang berkomunikasi secara langsung.

Dengan berpikir seperti itu, apakah saya seorang Punker?? Hahaha, I don't care about it!

Barangkali jika The Clash hidup di zaman sekarang, mereka juga akan melawan hal yang sama dengan apa yang saya lawan. Mainstream adalah sesuatu yang tipical, karena mengikuti perkembangan zaman. Pada tahun 70-an generasi The Clash belum mengenal android atau blackberry sebagai bentuk kemapanan. Saat ini, generasi saya sudah mengenal teknologi tersebut. Teknologi yang menjadi mainstream baru setelah ia dapat merobah perilaku manusia sampai kepada hal yang paling mendasar, yaitu pola dalam berkomunikasi, dan menjadikan manusia mapan didalamnya.

Senin, 25 November 2013

Ludah


dan semuanya telah terlambat. Entah kenapa, tiba-tiba saja langit membeku di hadapanku memantulkan warna awan yang pudar.

Barusaja ada yang berlari melewati mataku yang tidak pernah tahu apa makna silau yang menerpa, diam.

Berlari yang memperkenalkanku pada aku yang lupa siapa aku, tapi tanganku terkepal. Apa sebenarnya waktu?

Dinamit menghantam dinamit, lalu angin akan meniupkan puing-puingnya ke mataku, perih. Aku mendengar suara melengking yang melesat jauh merobek kata-kata menjadi amnesia.

Benarkah?

Cerita dari selatan Jakarta, aku sibuk di goyah Grunge ditengah-tengah malam yang terbakar.

Cita-citaku adalah menjadi gelap yang sendiri. sambil merobek-robek sejumlah kertas yang amnesia lalu kuludahi semuanya.

Mati.

Minggu, 10 November 2013

Mata

Aku mencoba menggerakkan tanganku dalam detik-detik yang gelisah dan membelakangi rak buku,

berjalan mundur membelakangi saat ini, aku sampai pada masa Led Zeppelin di tiap pagi hari.

Ibuku menghembuskan takdir pada mulut seorang wanita yang berbicara tentang mata,

kemudian dia pergi tanpa janji.

melangkahkan kakinya melewati pintu yang lebih mengenal hidup daripada aku sendiri

aku yang sebenarnya sudah gila

terperangkap gila di dalam sebuah mata...

Sabtu, 09 November 2013

Sajak Luka

Aku mulai tidak mengerti tentang waktu seperti gula dan serbuk kopi yang berserakan di dalam adukan gelas berisi air panas. Apakah makna asap?

Lalu tiba-tiba aku sudah di laut dangkal, menatap kacamata hitam. Aku menonton sepakbola sambil memain-mainkan anak-anak badai, kemudian jari-jariku meneteskan air mata.

Oh, Barcelona!! Adakah ia akan menjadi panggung seni? Karena aku butuh selimut untuk lupa yang sementara. Lalu Cinta, aku lupa memilih kata-kata dan aku hanya tahu bagaimana cicak-cicak menebak serangga.

Pagi buta, mataku menyala. Aku berteriak gila di gang buntu sementara tangan kananku menggenggam revolver berpeluru ganda.

Dorr!!

Aku ingin lebih mati daripada kematian.

Lalu, kemana waktu akan membawa kita….

Untuk Sebuah Nama

Waktu berserakan. Hujanlah yang mengacak-acak pasir. Dari kejauhan, seekor ayam mengintai untuk mengaisnya.

Sepi, dalam sepi ruanganku lalu-lalang burung-burung pemakan daging. Menerka.

Aku lupa menutup pintu yang aku sendiri tak mengerti cara membukanya.

Atas nama tubuhku yang robek,

Adakah kau cium bau darahnya??

Selasa, 05 November 2013

Eksistensi adalah Batas



Hari ini aku akan pulang ke Jogja. Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap-siap untuk berangkat dari Depok menuju Stasiun Senen lalu ke Stasiun Lempuyangan, Jogjakarta. Sayangnya, aku tidak merasakan kesegaran mandi pagi karena cuaca Jakarta yang sumuk. Dengan badan yang tidak segar dan mata yang masih mengantuk aku berangkat menuju Senen. Di perjalananpun kondisi tak jauh lebih baik, jalanan yang macet, kopaja yang berdesak-desakan, dan matahari yang terik. Pukul 12 lewat 15 menit aku sampai di daerah Senen dengan jadwal keberangkatan kereta pukul setengah 1 teng. Mengisi kebosanan dalam perjalanan, aku memutuskan untuk berfikir tentang hidup.

…..

Manusia adalah makhluk kesendirian yang dengan kebebasannya melangkah menuju realisasi dari ide atau kehendaknya sendiri. Ahh, begitu sederhananya hidup ini, kesederhanaan yang tidak dapat dikatakan menyenangkan. Karena manusia selalu gelisah.

Seperti sebuah lingkaran besar yang di dalamnya terdapat lingkaran-lingkaran kecil yang harus di hidupi satu per satu kemudian belajar dan belajar. Seperti menyusun puzzle yang setiap potongannya harus di pahami sehingga membentuk sesuatu yang utuh dan memiliki eksistensi. Seperti Yesus yang membiarkan dirinya di salib karena ia telah menyusun ajarannya dalam bentuk yang ideal, seperti Sidharta Gautama yang mengalami moksa, dan seperti Kurt Cobain.

Manusia menciptakan eksistensinya, tetapi dirinya tidak akan hidup di dalam eksistensi tersebut karena eksistensi sebenarnya adalah fase “akhir” dari kehidupan fisik. Bahkan waktupun akan menghancurkan jiwa yang selalu setia terhadap eksistensi. Karena pisau yang tajam akan hancur seiring berjalannya waktu.

Dalam lingkaran besarnya, yaitu Ide, manusia akan menghancurkan tesisnya dengan menggeseknya dengan lingkaran-lingkaran kecil yang berserakan di dalam lingkaran besar itu. Pemahaman baru yang muncul dari proses saling menghancurkan itu kemudian akan diletakkan pada posisinya yang pas dalam puzzle melingkar kehidupan seorang manusia. Lalu kembali bergulat dengan lingkaran kecil lainnya.

Saling menghancurkan barangkali merupakan cara hidup bagi manusia yang idealis. Menghancurkan untuk kemudian menciptakan bentuk ideal dan diletakkan pada posisi yang pas. Ketika semua potongan puzzle sudah tersusun, maka tidak ada lagi yang harus digerakkan. Manusia tidak dapat lagi memainkan puzzle tersebut, karena eksistensi adalah batas.

Begitu juga dengan Kurt Cobain ketika ia memutuskan untuk bunuh diri, ia tidak dapat melakukan apa-apa lagi karena eksistensinya. Dan kenyataan bahwa gaya hidupnya menjadi panutan banyak orang, adalah akhir dari kehidupan fisiknya. Ditambah lagi kekecewaannya atas kapitalisme yang memanfaatkan style-nya untuk dijual, suatu salah kaprah terjadi dari eksistensi Kurt. Tetapi musiknya sudah menjadi ideology bagi anak muda.

Pada salah satu potongan puzzle yang dihidupi oleh Kurt, pilihannya untuk menjadi “gelandangan” daripada bekerja setelah ia tamat dari SMA membuatnya untuk beberapa lama tinggal di kolong jembatan. Namun hal itu tidak menghalanginya untuk menjadi dirinya yang sebenarnya dituju.
Kurt Cobain sudah berhasil menyusun semua potongan puzzle kehidupannya.

Bagaimana dengan tanggung-jawab?

Pemahaman soal tanggung jawab, juga berbeda ketika seorang manusia berpikir soal bagaimana cara merealisasikan Ide-nya. Kesadaran akan eksistensi membuat seorang manusia melihat lingkaran besar jalan hidupnya. Bahwa manusia tidak hidup dalam satu potongan puzzle saja. Tidak ada pertanggungjawaban atas perjalanan dari pencarian letak potongan puzzle yang tepat kecuali pelajaran dari tiap-tiap potongan puzzle lalu meletakkannya.

Kesadaran seperti ini muncul apabila manusia sudah mengalahkan rasa takut akan suatu kehancuran.

Lalu apa yang harus dipertanggungjawabkan? Jawabannya adalah Ide kehidupan personal yang kita bentuk dan akan kita realisasikan. Yang harus dipertanggungjawabkan adalah kesadaran akan sebuah lingkaran besar eksistensi. Karena alasan itulah kenapa manusia selalu sendiri. Dengan catatan, manusia jangan sampai terlepas dari hokum social, seperti pergaulan sehari-hari, walaupun sah-sah saja jika kehendak manusia dibenurkan dengan hokum-hukum formal. Tiba-tiba tangan seseorang menepuk pundakku beberapa kali. Ternyata itu adalah tangan si kondektur yang menagih ongkos sekaligus mengakhiri apa yang aku pikirkan barusan.

Jalanan masih saja macet dan bis masih saja dipenuhi oleh manusia-manusia yang berdesakan. Kemudian aku terkejut melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 12 lewat 25 menit sementara aku masih di dalam bis Kopaja. Tepat 5 menit kemudian aku sampai di stasiun. Berlari menuju kereta, namun apa bisa dikata, kereta telah pergi meninggalkanku yang berkeringat lelah di peron.

Ini adalah bagian dari kisah hidupku dalam satu potongan puzzle dan aku tak perlu mempertanggungjawabkan kepergian kereta tersebut karena bagaimanapun kereta itu akan terus berjalan tanpa perlu pertangungjawabanku. Ini hanya sepotong kecil kisah, masih banyak potongan lain yang akan kujalani.

Kemudian aku menghubungi salah satu travel menuju Jogja, berangkat pukul 8 malam dan 12 jam kemudian aku akhirnya sampai juga di Jogja. Aku masih terlalu jauh dari eksistensi dan aku adalah satu titik yang bergerak didalam sebuah lingkaran besar. Namun bisa kupastikan, aku berada dijalur yang benar.

"Robah keinginan sendiri, bukan merombak dunia. Karena tidak ada satu pun yang berada dibawah kekuasaan kita sepenuhnya kecuali pikiran kita. ~Rene D".

Sabtu, 12 Oktober 2013

Puisi Bebas

Kebebasan itu menyakitkan,

Karena dunia ini penuh dengan ketakutan berwujud aturan, adat, dan norma-norma.

Dunia ini fana,

tetapi manusia masih juga memanipulasinya dengan menciptakan keseimbangan palsu,

menumbuhkan mitos-mitos, kemudian berbuah ketakutan yang memakai topeng rasionalitas.

Terlalu takutkah manusia terhadap rasa lapar dan kesendirian?

Sehingga menyatu dengan arus dunia dengan wujud rasionalitas ciptaan sekumpulan manusia?

Atau terlalu takutkah manusia akan kebebasannya sendiri?

Padahal kita punya hati nurani?

Manusia hidup dalam kesendirian, dengan kebebasannya.

Tak ada alasan untuk tidak terluka.

Rasionalitas Yang Ketakutan

Dalam hidup ini, aku sangat percaya pada fase. Setiap manusia untuk sementara akan berhenti di titik-titik dalam rel waktu kehidupannya. Jika ada yang bertanya apa yang paling kusadari dalam hidup, jawabanku adalah, “aku percaya bahwa aku sadar pada perasaanku yang tertatih dan terinjak oleh titik-titik waktu yang terbagi itu”. Lalu menuntunku kepada lorong dimana aku melangkah sendiri, terasing, dan gelap.

Menyendiri akan membawaku menuju kebebasan sepenuhnya, tak peduli angin berhembus kemana, selagi kemudaanku tak mengusik berubahnya musim.  Kemudian aku bisa dengan bebas sebebas-bebasnya membaca tulisan-tulisan Tan Malaka yang juga mati dengan sendirinya, sendiri. Lalu dengan bebas pula mendengarkan Kurt Cobain berteriak betapa dia mencintai dirinya sendiri dari orang lain, matipun dia dalam sepi yang menembus kerongkongannya dengan panasnya peluru.

Cerita mengenai Kurt, aku pernah membaca dan bercerita dengan seseorang yang juga seperti Kurt, bagaimana Kurt hidup terasing, bahkan dari orang tuanya. Dimasa-masa seperti itu Kurt yang sebenarnya telah lahir, bukan dari kasih sayang persetubuhan orang tuanya, bukan pula dari didikan persahabatan lingkungannya. Ia lahir dari keterasingan dibawah kolong jembatan disatu sisi kota Seattle. Dan Kurt adalah laki-laki penyendiri yang lebih kuat dari pada lingkungannya yang hidup bersama dan mungkin mengutuk Kurt karena sifat luarbiasanya. Hanya karena orang-orang tidak terbiasa dengan kata ‘persetan’ atau terlalu iri melihat Kurt dengan sepenuh hati menikmati kebebasannya.

Setelah itu Kurt pantas menerima status sebagai seorang Rocker, manusia Rocker. Kesendirian telah menciptakan seorang rocker sejati, dan menurutku Kurt Cobain setara dengan seorang nabi. Dia beragamakan Rock n roll, dan Nirvana adalah ruang kerjanya dalam menulis lagu-lagu yang sudah tak bias dibedakan lagi dengan sabda nabi.

Untuk itu, aku lebih percaya pada kesendirian Kurt daripada keharmonisan hidup bersama. Dia membangun eksistensinya dengan kesendirian dan rasa terasing.

Kembali beberapa bulan yang lalu, aku bertukar pikiran dengan seseorang penyendiri luar biasa di sebuah Bandar udara. Lalu kami berbicara tentang Eksistensialisme Sartre. Eksistensialisme, menurut sang penyendiri tersebut,adalah,  setiap manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan siapa dirinya bahkan semenjak dia dilahirkan kedunia. Aku setuju. Karena sangat tidak penting bagi seseorang untuk mengurusi kebebasan orang lain, toh, siapa saja juga memiliki kebebasan yang sama. Apalagi mengurusi rasionalitas seseorang, perlu disadari bahwa setiap manusia menembus dunia yang fana ini dengan cara hidupnya masing-masing.

Dengan alasan itu, aku berani mengatakan bahwa setiap manusia itu sama saja.

Sebagai contoh, aku membandingkan antara seorang dosen dan seorang tukang sapu jalanan. Pakaian, jumlah gaji, title, kekayaan, segala hal itu bukanlah sesuatu yang membedakan mereka. Apa yang dikerjakan oleh dosen dan apa yang dikerjakan oleh tukang sapu jalanan cuma punya satu tujuan yang sama, untuk mempertahankan diri dari rasa lapar, bertahan hidup.

Manusia harus mempertahankan hidupnya.

Dari cara mempertahankan hidupnya tersebut kemudian manusia akan berkumpul dengan kelompok-kelompoknya untuk berlindung hanya karena takut pada rasa lapar. Orang-orang akan membuat kesepakatan, baik itu menjadi koruptor, memberi label pada orang lain, menertawakan cara hidup orang lain, demi tujuan agar tidak didatangi ketakutannya, takut untuk “lapar”.

Oleh karena itu, aku tidak akan pernah percaya pada kesadaran kolektif yang dengan liciknya berkata bahwa semua itu adalah sebuah rasionalitas. Apakah rasa lapar tidak rasional? Apakah kesendirian tidak rasional? Apakah seorang penyendiri tidak pernah berpikir rasional? Dan apakah cita-cita pribadi juga tidak rasional? Satu hal yang aku yakini, bahwa rasionalitas bukanlah alasan untuk lari dari ketakutan akan rasa lapar, kesendirian, dan mengejar cita-cita pribadi.

Jika ingin menjadi rockstar, maka buatlah jalan untuk menjadi seorang rockstar.

Hidup ini tidak perlu direduksi dengan alasan rasionalitas, apalagi kemudian rasionalitas yang tidak jelas tersebut malah mengusik kehidupan orang lain yang notabene adalah manusia bebas. Ketakutan untuk lapar dan kemudian menjadi pencemooh. Eksistensi seseorang hanya akan lahir dari pembuktiannya melawan dunia. Seorang pencemooh yang mereduksi “kelaparannya” dengan alasan rasionalitas dengan sendirinya tenggelam dan menyatu dengan dunia yang harus dilawan ini, membuat norma-norma, lalu menjadi fana.

Norma-norma adalah produk ketakutan manusia yang menyerang diri sendiri, kemudian manusia menjadi sebuah norma pula, bukan manusia yang utuh dengan kebebasannya. “Manusia-manusia norma” tersebut membelenggu manusia-manusia lain dengan norma-norma yang ada, membelenggu dengan ketakutannya.


Tak ada pilihan lain kecuali melawan, toh, dari awal aku percaya setiap manusia itu sama. Tak ada yang perlu dikhawatirkan terhadap kebebasan karena tiap manusia punya hati nurani. Kemudian, untuk segala alasan yang muncul, itu hanyalah sebuah ketakutan…

Selasa, 01 Oktober 2013

LUKISAN

Selain realitas, adakah hal lain yang dapat dipercaya??  Di depan mata, ada tumpukan buku dan tugas-tugas kuliah yang harus dikerjakan. Akankah kita masih bermimpi?

Sepertihalnya meragukan wanita yang berada di dalam peluk dan ciummu, dan terus mencoba mencari-cari kebenaran untuk berlari menuju cinta yang imajinatif itu.

Kebenaran yang kutahu hanya John Lennon yang pernah melakukannya.

Kebenaran yang mati setelah seorang teman membunuhnya didepan mataku, dimana sebelumnya aku berteriak bahwa aku mencintamu..

Seorang teman yang melukis dirimu menjadi imajinasi yang indah, kau dilukisnya dengan cat kemustahilan, kau bukan realitas.

Setelah kau menjadi lukisan yang terpampang di pigura imajinasi, dan kau tidak akan tersentuh. Sedikitpun aku tak dapat menyentuhmu.


Tapi aku punya realitas dimana aku bisa bercinta dengannya..

Minggu, 28 Juli 2013

HUKUM GRAVITASI DAN MASA KANAK-KANAK





Apa esensi yang kita nanti ataupun yang seharusnya kita dapatkan ketika berada dalam sebuah proses bersama dengan banyak manusia? Disinilah kelemahanku. Kecenderungan untuk selalu bertanya-tanya soal sebuah esensi namun melupakan langkah-langkah yang harus ditempuh dalam perjalanannya. Dan tulisan kali ini ku mulai dari ke-gegabahan-ku, ku mulai dari kelemahanku.
Ini adalah sebuah kesengajaan, sehingga tulisan ini mengandung banyak sekali pertanyaan-pertanyaan dan aku menjadi seseorang yang cerewet menurut beberapa orang. Itu bukan persoalan karena, menurutku, terkadang di satu masa seseorang harus menjadi cerewet dan banyak bertanya karena jika tidak kita tidak akan menemukan Apa esensi dari proses ini, Mengapa aku, kamu, dan semuanya melakukan hal ini, Dimana harus mencari jawabannya, Bagaimana cara untuk menemukan inti dari semuanya, dan Kapan aku bisa mengetahui esensi dari proses ini, dan yang lebih penting adalah Kapan bisa kutemukan esensi dari “dirimu”. Sederhana saja, aku hanya menggunakan metode 5W 1H untuk mencari dan menjawab semuanya. Cerewet, tapi sederhana. Dan sekedar pengingat, akan lebih baik jika yang kebetulan membaca tulisan ini memposisikan diri sebagai orang pertama, konseptor, penyimpul, penggagas, atau apapun istilahnya.
Sebagai bagian dari awal tulisan, kita akan berbicara tentang proses alam dan hal yang manusiawi, yaitu keterkaitan antara proses gravitasi alam dan masa awal dari ke-manusiawi-an manusia dimulai – pertanyaan yang muncul pada masa kanak-kanak. Apa relasi antara gravitasi alam dengan masa kanak-kanak?
Hukum gravitasi, sederhananya adalah sesuatu yang memiliki daya lebih besar akan menarik sesuatu yang punya daya lebih kecil. Ataupun sebaliknya, dimana sesuatu yang kecil akan tertarik pada sesuatu yang lebih besar. Kaitannya dengan tujuanku dalam tulisan ini, gamblang saja, aku akan menarik sesuatu. Anggap saja masa kanak-kanak merupakan “gravitator”nya.
Mengapa masa kanak-kanak? Karena pada usia kanak-kanak kita memiliki banyak pertanyaan. Ketika dewasa, manusia sering kali menjadi enggan bertanya dan sedikit sok tahu tentang perasaan orang lain. Padahal, dalam beberapa hal, khususnya untuk sesuatu yang melewati proses kerja-sama, pertanyaan-pertanyaan sama seperti air yang akan mengisi jalur irigasi agar padi bisa tumbuh dan manusia bisa makan nasi. Dan orang-orang dewasa-lah yang kemudian membunuh insting bertanya pada anak-anak dengan memberikan jawaban-jawaban dangkal dan kemarahan. Padahal, masa kanak-kanak adalah awal dari hidup manusia, memiliki daya tarik yang besar, namun terlupakan. Aku tidak menyalahkan kedewasaan secara keseluruhan, karena dewasa juga merupakan proses yang manusiawi.
“Ibu, itu apa?”
“Yah, kok daun warnanya hijau, ya?”
“Bang, ini cara mainnya gimana, ya?”
“Om, kapan oom lahir?”
“Nte, air terjun Niagara itu dimana, ya?”
Kurang lebih seperti itulah pertanyaan anak-anak, sederhana tapi cerewet, dan tentusaja penting. Orang-orang dewasa jarang sekali memaknai pertanyaan-pertanyaan seperti diatas sebagai sesuatu yang sederhana dan penting, kecuali cerewet. Maka harus dibatasi. Pembatasan yang dilakukan oleh orang-orang dewasa ternyata memiliki dampak yang sangat fatal tanpa disadari oleh mereka. Karena pembatasan tersebut bukan hanya menghilangkan beberapa pertanyaan saja, namun juga membunuh salah satu sisi manusiawi pada seorang individu, yaitu keberanian untuk mengkritisi. Padahal pada awalnya manusia adalah makhluk yang cerewet dan bawel.
Pemaknaan yang salah atas pertanyaan anak-anak sekiranya harus diperbaiki, orang dewasa seharusnya tidak jengkel atas pertanyaan bawel yang muncul dari mulut anak-anak, melainkan mengasah pertanyaan itu agar menjadi lebih tajam. Pada akhirnya, manusia tidak lagi harus memulai bahkan mengenal sikap kritis ketika dibangku SMA atau kuliah, dan yang lebih menyedihkan lagi adalah apabila nantinya hal tersebut mati sama sekali.
Menilik kembali ke pertanyaan di awal tulisan ini, pertanyaan tersebut muncul akibat dari pemaknaan yang salah oleh karena itu terlalu luas dan terlalu cepat. Pertanyaan tersebut tidak mengiris tipis buah kentang karena pisau yang digunakan tidak pernah diasah dan seharusnya buah kentang yang dapat dibagi menjadi banyak hanya menjadi sedikit. Karena sebuah kesimpulan bukan untuk di pertanyakan, melainkan diciptakan dari pertanyaan-pertanyaan kecil dalam keseharian.
Mau tidak mau, suka tidak suka, “pisau” tersebut harus sering di asah agar dapat mengiris buah kentang menjadi lebih banyak. Dengan kata lain, seorang manusia mesti banyak bertanya agar dapat merinci peristiwa yang dapat dikritisi, walaupun dengan harus “menjadi anak-anak lagi”. Sebagai konseptor, mempertanyakan esensi dari sesuatu yang sudah dibangun oleh dirinya sendiri menggambarkan adanya logika yang terbalik. Sekali lagi kita tarik kembali ke masa kanak-kanak, dimana pada masa itu sebelum kita menyimpulkan bahwa daun warnanya hijau kita akan memberikan pertanyaan-pertanyaan terlebih dahulu. Apakah itu? Kok bisa gitu ya? dan pertanyaan-pertanyaan lain, sampai akhirnya kita dapat memberi tanda pada suatu objek. Bahwa yang menempel di pohon dan berwarna hijau itu namanya adalah daun. Mekanisme yang sangat sederhana sekali.
Namun kecenderungan orang-orang dewasa terhadap pertanyaan anak-anak adalah langsung memberitahukan bahwa yang menempel di pohon itu adalah daun, tanpa menjawab pertanyaan yang muncul berikut-berikutnya lalu menyumpal mulut anak-anak dengan es krim dan permen agar tidak bertanya lagi. Sehingga anak-anak cuma bisa mengunyah dan terbiasa disuap ketika muncul hasrat untuk mengkritisi. Tak dapat dipungkiri lagi mental yang terbentuk dari anak-anak adalah mental pragmatis dan ketika menjadi dewasa mereka hanya bisa mengunyah dan mengunyah. Manusia telah kehilangan apa yang disebut sebagai proses dari masa anak-anak.
Norma, adat, agama, dan batasan-batasan yang diciptakan oleh manusia adalah bukti bahwa manusia diarahkan menuju hidup yang pragmatis. Tuhan dijadikan landasan dari terciptanya norma, adat, dan agama, lalu disisipkan ke dalam jiwa dan pikiran manusia dengan pemaknaan tunggal, bahwa Tuhan tak dapat di kritisi, jadi norma, adat, dan agama juga tidak bisa dikritisi. Padahal, menurutku, jauh di dalam hati manusia selalu bertanya-tanya kepada dan mengenai Tuhan. Untuk itulah kemudian orang-orang yang malas berpikir menciptakan norma, adat, dan agama sebagai jalur untuk melarikan diri dari pertanyaan-pertanyaan sederhana dan ke-cerewet-an manusia. Hal itu sama saja dengan menghancurkan gravitasi bumi dan akhirnya bumi tidak lagi menjadi planet yang unik dan berbeda dari planet-planet lain di alam semesta, semuanya menjadi nihil.
Manusia yang hidup dalam realitas memiliki daya gravitasi dan menjadi “anak-anak” adalah tempat manusia menginjakkan kakinya. Walaupun setiap manusia bercita-cita dapat menggapai langit, namun gravitasi agar bisa menginjakkan kaki di bumi merupakan sebuah signifikasi atau penanda bahwa manusia itu hidup. Karena, kecuali bumi, dari Merkurius hingga Saturnus tidak ada gravitasi, oleh karena itu disana tidak ada kehidupan, alias nihil.
Lembaga-lembaga seperti sekolah, kampus, karang taruna, atau organisasi-organisasi pemuda merupakan mediasi untuk melatih dan menyalurkan keberanian dan sifat kritis individu. Dengan catatan, tidak ada pihak yang mendominasi dan otoriter di dalam lembaga-lembaga atau organisasi tersebut. Dimana setiap individu memiliki hak yang sama dalam hal melakukan kritik.
Sebab, terkait dengan kerja dalam organisasi, sifat kritis sangat berguna dan dapat memberikan dampak positif dalam hal pemahaman akan proses kerja organisasi. Yang tentunya juga berbuntut pada tingkat keberhasilan dari kerja organisasi itu sendiri. Kurangnya sikap kritis dalam kerja organisasi merupakan salah satu masalah yang cukup penting untuk dimafhumi dan diperbaiki. Metode yang telah dipaparkan sebelum ini mengenai “proses gravitasi dan masa kanak-kanak” barangkali dapat menjadi bahan renungan dan – semoga saja – layak menjadi pembelajaran dalam hal mengatasi ketakutan-ketakutan untuk mengkritisi sehingga pisau yang tumpul-pun dapat menjadi tajam kembali seperti pada masa kanak-kanak dan bekerja sesuai dengan fungsinya.


Sabtu, 06 Juli 2013

Manusia : Kita Keluar Dari Taman dan Menuju Palung

Apakah alasan atas terjadinya sesuatu dalam hidup ini? Baik itu peristiwa pernikahan, orang-orang datang menonton acara kesenian, orang-orang merokok, bahkan adanya pencuri dan pihak yang kehilangan. Segala peristiwa pasti memiliki alasan sehingga dapat terjadi.

Di suatu siang seorang teman datang kerumah kontrakanku dan mengabarkan ia kehilangan uang dan handphone-nya. Dan kedatangan temanku inilah yang membukakan satu pintu untukku, yaitu munculnya ide menulis. Kemudian ia menceritakan segala perasaannya dan hal-hal yang mungkin menjadi penyebab kehilangan tersebut. Jujur saja aku turut prihatin, tapi pikiranku menembus jauh kedalam dan luas jauh melewati rasa prihatin itu. Karena siapapun tahu, hal seperti ini dapat dinilai secara manusiawi.

Tapi, kali ini aku lebih tertarik untuk menilainya dari sisi yang lebih luas. Segala peristiwa yang terjadi dalam kehidupan ini sebenarnya memiliki penyebab yang sama, alasan-alasan yang terbangun dalam melakukan tindakan tidak bisa dilepaskan dari pengaruh lingkungan sosio-kultural setiap pelaku kehidupan.

Orang-orang pergi ke sebuah pesta pernikahan, menonton acara kesenian, dan orang-orang kemalingan, semuanya terjadi atas pengaruh lingkungan sosio-kulturalnya. Pencuri bisa menjadi pencuri di dorong oleh berbagai kemungkinan situasi sosial yang dia alami, misalnya kemiskinan, pergaulan, dan banyak lagi. Orang-orang yang menonton acara kesenian disebabkan oleh ketertarikannya akan seni yang tercipta karena lingkungan sosialnya juga.

Pemahaman  atas suatu lingkungan sosial akan membuat siapa saja memahami dan lebih mengerti kemana saja dan dengan cara seperti apa dirinya akan melangkahkan kakinya dalam hidup. Terkadang seseorang menghindar, menghampiri sesuatu, merasakan, dan memikirkan sesuatu, semua itu akan lebih tertata jika dirinya telah melakukan penilaian tentang situasi dan kondisi lingkungan sosio-kulturalnya. Semua itu dilakukan tidak lebih untuk menciptakan segala sesuatu yang di inginkan oleh manusia, kenyamanan.

Memahami gejala atau teori-teori sosial merupakan hal yang sangat penting bagi setiap orang karena setiap manusia hidup didalamnya. Gejala atau teori-teori tersebut membuat seseorang dapat menganalisa permasalahan yang ia hadapi dan melakukan langkah-langkah untuk mengatasinya. Dan barangkali ini juga untuk mengatasi keterkejutan sosial atas masalah-masalah sosial yang muncul. Karena saya pikir kehidupan dapat terlihat lebih sederhana dengan adanya teori-teori sosial.

Karena segala sesuatu memang terlihat sederhana jika dilihat dari sudut yang membuat kita dapat melihat lebih luas, namun akan berbeda jika kita masuk kedalamnya. Dititik inilah, saya sedikit meragukan teori-teori sosial sebagai sesuatu yang dapat menyederhanakan permasalahan manusia. Ilmu-ilmu yang mempelajari mengenai peristiwa-peristiwa sosial mungkin saja luput akan beberapa hal. Karena saya percaya bahwa, manusia merupakan makhluk yang paling dinamis dan penuh masalah. Dan ilmu-ilmu sosial harus mengikuti perkembangan manusia agar dapat menganalisa dan menemukan solusi dari permasalahan sosial yang terjadi. Seperti obat.

Bagaimana mungkin beberapa orang pemikir masalah-masalah sosial dapat menemukan solusi dari permasalahan pedalaman setiap manusia dan menciptakan teori-teori umum atas masalah tersebut. Karena walaupun teori-teori sosial menjadikan manusia sebagai objek, namun di satu fase dalam hidup manusia, teori-teori ini tidak berguna sama sekali.

Akhirnya aku dapat mengatakan bahwa ilmu-ilmu sosial belum bisa membaca pedalaman seorang manusia yang paling dalam, dimana ada peristiwa-peristiwa luar biasa yang terjadi. Terkadang kita merasakan isi dada kita bergemuruh, atau tiba-tiba tanpa alasan kita menjadi suka bahkan cinta terhadap sesuatu yang kita lihat. Hal-hal seperti ini barangkali bisa dianalisa melalui pendekatan-pendekatan ilmu sosial, namun hal ini tidak dapat di generalisir dengan satu atau dua teori saja. Sebab setiap manusia berbeda-beda, baik perasaan maupun masalah-masalah yang dialami.

Mungkin saja ilmu psikologi punya sesuatu untuk ditawarkan mengenai masalah ini. Saya sendiri menyimpulkan bahwa manusia merupakan makhluk yang menyimpan penyakit, dan setiap penyakit akan sembuh jika ada obatnya. Menganalisa penyakit saja tidak akan merubah apa-apa.

Atau barangkali, setiap manusia harus menciptakan teori sendiri mengenai masalah-masalah yang ada dipedalamannya. Atau sebutlah ini proses mencari jati diri. Dititik inilah, aku masih belum dapat percaya terhadap teori-teori sosial sebagai acuan untuk hidup yang cukup baik, terutama untuk masalah pedalaman perasaan manusia. Ternyata manusia itu lebih dalam dari yang dibayangkan.

Aku percaya bahwa, setiap manusia memiliki palung yang sangat dalam yang bakal diselami setiap pribadi. Ini tepat setelah seseorang menemukan siapa dirinya, kemudian ia akan menyelami palung tersebut. Kenapa? Hal ini agak mirip dengan kodrat manusia yang dikatakan oleh guru sosiologi saya di SMA dulu, bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang harus hidup berdampingan dengan manusia-manusia lainnya. Yang membedakan adalah, manusia sebagai makhluk sosial dan harus hidup berdampingan dengan manusia lain ialah untuk mengisi kekosongan sosial dalam hidupnya, misalnya seorang petani butuh penjual pupuk. Dan masyarakat luas membutuhkan petani untuk mendapatkan bahan-bahan makanan.

Namun, ketika seorang menusia menyelami palung yang ada dalam dirinya, walaupun kelihatan sama-sama mencari sesuatu untuk mengisi kekosongannya, tetapi bukanlah kekosongan sosial melainkan lebih dalam dari itu. Aku membayangkan, didalam diri manusia ada satu sosok manusia lagi yang duduk sendiri disebuah bangku taman. Sosok manusia tersebut tak lain adalah kita sendiri, yang pada masanya kita akan mencarinya.

Ketika seseorang telah menemukan sosok kembarnya itu, atau sebutlah jati diri, untuk sementara waktu ia akan merasakan sesuatu bahwa hidupnya mendekati sempurna, bahwa ia akan dapat melakukan apa saja. Tapi, pada waktunya pula, seseorang akan sadar bahwa pada bangku taman yang ia duduki tersebut masih tersisa tempat untuk seseorang. Disaat itulah, aku, kita, dan semua akan melangkah keluar dari taman yang indah namun sepi, untuk kemudian bertemu dengan palung yang dalam, dingin, sedikit beku dan harus diselami untuk menemukan siapakah gerangan yang akan mendampingi diri kita di bangku taman itu. Manusia sudah ditakdirkan untuk kesepian. Tak ada jalan lain untuk mengatasi masalah-masalah yang terjadi didalam pedalaman seorang manusia selain berenang dan menyelami palung tersebut.

Didalam palung itulah, pergulatan yang paling dahsyat dalam hidup seseorang terjadi. Terkadang seseorang berpikir, untuk melarikan diri dari itu semua, melepaskan segala yang berbau perasaan dan mengutamakan kebutuhan berdasarkan pertimbangan logika. Kemudian menemukan hal-hal baru dalam hidupnya. Tapi, apakah mereka bahagia? Bagaimanakah itu kebahagiaan? Adakah alat ukur kebahagiaan?

Dititik ini, aku mulai meragukan diriku sendiri dan apa yang kutuliskan sebelum ini diatas. Berpikir tentang sesuatu yang salah atau benar, memperhatikan cara seseorang mengatasi masalah. Namun, entah kenapa, setelah melihat berbagai cara orang bergulat dengan perasaan ataupun logikanya, aku masih saja menceburkan diri kedalam palung ini, berenang, kemudian menyelam. Kemudian kukatakan pada diriku sendiri, bahwa hidup itu adalah pilihan. Lalu kutinggalkan bayang-bayang kehidupan diluar palung ini, dan yang kulakukan adalah terus bergerak mengejar sesuatu yang kurasa cukup indah untuk mengisi kekosongan pada bangku taman yang kutinggalkan.

SEBUAH PENUTUP :


“Di palung itu, aku melihat seseorang wanita yang kubayangkan akan menjadi wanita yang duduk disampingku pada bangku taman yang kutinggalkan kemaren. Cukup lama kemudian, aku menyadari bahwa palung yang kuselami ini sangat dalam, dingin menusuk, bahkan mendekati titik beku. Aku terus menyelami palung, bergerak mendekati si wanita tersebut. Terlalu jauh, jauh sekali. Pada satu titik kedalaman yang mampu membuat mataku menjadi nanar, pikiranku kosong, dan menjadi orang yang kebingungan, aku berpikir untuk meninggalkan wanita yang kukejar ini. Namun, ketika melihat keatas dan sekitar, semuanya dingin menusuk dan gelap. Aku belum bisa kemana-mana sebelum muncul sinar cahaya yang lain selain sinar yang dipancarkan wanita itu. Maka, mau tidak mau aku bergerak terus menuju dirinya. Keadaan semakin dingin, gelap, dan bahkan beku. Aku melihat kulitku tersayat air dingin yang mulai menjadi es. Dan kemudian……”

Jumat, 28 Juni 2013

UNTUK IAN DURY : EKSISTENSI DAN POPULARITAS


Jika anda mengikuti perkembangan music di Inggris tahun 70-an, barangkali anda akan menemukan Ian Dury and The Blockhead yang cukup fenomenal di Inggris pada masa itu. Band beraliran Rock and Roll dan sedikit nge-Punk ini di kepalai oleh seorang vokalis berkaki satu yang memiliki aksi panggung yang gila bernama Ian Dury.

Ian Dury lahir di Inggris tahun 1942, ayahnya merupakan seorang sopir bus bernama William George Dury dan ibunya adalah seorang anggota dari komunitas perawat di Inggris. Pada awalnya, Ian merupakan anak yang tumbuh normal seperti anak-anak lainnya. Namun, di suatu ketika ia bersama ayahnya berkunjung ke sebuah danau untuk berlibur. Namun malang, virus polio yang merebak pada masa itu telah membunuh sebagian tubuh Ian, ia kehilangan kaki kanannya karena virus polio telah melumpuhkannya.

Dengan kondisinya yang cacat tersebut, akhirnya ayahnya menyerahkan Ian untuk dirawat disebuah rumah rehabilitasi yang khusus merawat anak-anak yang mengalami cacat fisik. Rumah rehabilitasi tersebut memiliki seorang pengasuh yang merupakan mantan tentara dan sangat keras. Termasuk Ian Dury, ia diperlakukan sangat keras bahkan cukup kasar untuk anak-anak yang mengalami kecacatan fisik.
Perilaku kasar dari pengasuhnya tersebut membuat Ian tumbuh menjadi anak yang emosional dan marah. Pengalaman masa kanak-kanaknya inilah yang kemudian itu tulis dalam lagunya yang berjudul “Clever Trevor”. Ian, dalam lagunya tersebut, mengatakan bahwa ia merupakan seorang anak yang cukup cerdas dan lagu ini menunjukkan sikap menantang Ian terhadap kecacatan fisiknya.
Seiring waktu berjalan, Ian tumbuh menjadi seorang remaja. Kemudian ia mulai meniti karirnya dalam bidang music. Pada masa awal ia bermusik dan membentuk band yang bernama Kilburn & the High Roads, namun berkali-kali ia mengganti personil bandnya karena ia merasa belum ada yang bisa menampung kegilaannya.

Pada penampilannya di awal-awal karirnya, ketidakseimbangan ini membuat Ian dan bandnya mendapat tanggapan negative dari penonton. Hingga akhirnya pada perombakan terakhirnya Ian membentuk Ian Dury and The Blockhead.

Di band ini, Ian menemukan kecocokkan dalam bermusik. Lagu-lagu yang ia ciptakan bersama Blockhead sangat mereprentasikan pengalaman masa lalu Ian. Lirik-lirik yang sedikit sedih namun melambangkan pemberontakan menandakan bahwa Ian merupakan seorang yang Rock and roll.

Lagunya yang berjudul “Billericay Dickie” merupakan salah satu dari lagunya yang menurut saya sangat menggugah. Didalam lagu tersebut, Ian menceritakan kisahnya yang tengah jatuh cinta dan ingin memiliki wanita yang ia cintai. Ia menggambarkan dirinya sebagai seorang yang diremehkan dan tidak mungkin bisa memiliki wanita tersebut, namun ia menunjukkan pemberontakannya dalam lagu ini.
Salah-satu liriknya yang menunjukkan pemberontakan tersebut adalah, “So you ask Joyce and Vickey, if candy-floss is sticky. I’m not a blinking thicky, I’m Billiricay Dickie and I’m doing very well.”

Jika kita membaca liriknya, ini seperti sebuah candaan dari seorang yang tengah mabuk, namun sangat berbeda ketika kita melihat penampilan langsung Blockhead. Ternyata lagu ini memiliki makna yang sangat keras.

Kemudian, jika kita melihat aksi panggung Ian, kita akan melihat sosok emosional dan kejujuran seorang Ian Dury dalam kegilaannya yang ganjil. Barangkali, jika kita tidak membaca riwayat hidup Ian, kita akan menganggap Ian hanyalah orang gila yang sedang menyanyi dalam sebuah band di panggung.

Karena tingkahnya benar-benar melambangkan tingkah-tingkah orang gila pada umumnya, terkadang ia menangis, tetapi beberapa menit kemudian ia sudah tertawa terbahak-bahak. Namun sedikitpun tidak ada yang lucu atau ganjil atas tingkah gila Ian tersebut jika kita melihat masa-lalunya yang tragis. Kegilaan Ian di atas panggung sama saja dengan menonton masalalunya karena memang Ian selalu menggambarkan masalalunya dalam penampilannya.

Aksi panggungnya merupakan alat bagi Ian untuk melawan ketidakberdayaannya di masalalu dan menegaskan bahwa ia merupakan seseorang yang rock and roll. Dan kemudian ia melegitimasikan ke-rock and roll-annya dalam lagunya yang berjudul “Sex and Drugs and Rock and Roll.” Dengan genre musicnya yang juga berbau punk tersebut semakin mempertegas bahwa Ian menjadikan music sebagai media untuk memberontak sekaligus motivasi.

Dalam suatu wawancara dengan penerbitan local Inggris, Ian mengatakan bahwa ketenaran yang akhirnya dicapainya bukanlah hal yang sebenarnya yang ia inginkan. Dia juga mengutip perkataan Paul Mc Cartney,”ketenaran membuatku menjadi orang yang kasar.”

Perasaan semacam ini juga dialami oleh banyak musisi luar biasa lainnya, seperti Kurt Cobain, Jimi Hendrix, Jim Morrison, dan Janis Joplin, dan di Indonesia ada Band “Ina Blues” yang pernah mengatakan dalam satu wawancara di acara televise swasta, bahwa bagi mereka popularitas merupakan sebuah resiko.

Kurt Cobain merupakan salah satu musisi yang mengalami hal tersebut, namun nasibnya berujung tragis. Ketenaran yang di dapatnya membuat Kurt stress dan akhirnya menarik pelatuk yang diarahkan ke kepalanya sendiri.

Maka, sebenarnya yang di inginkan oleh Ian Dury, Kurt Cobain, Jim Morrison, dan Jimi Hendrix hanyalah sebuah eksistensi, sebuah pengakuan, namun tidak dengan popularitas yang megah. Karena pada dasarnya musisi-musisi tersebut bukanlah orang-orang dengan latar-belakang yang terbiasa dengan popularitas. Bahkan mereka memiliki masalalu yang bisa dibilang cukup suram.

Ian Dury dengan kecacatannya, Kurt Cobain yang pernah tinggal di kolong jembatan, dan Jimi Hendrix yang miskin dan ditinggal mati oleh ibunya, merupakan latar-belakang dari fenomenalitas mereka. Mungkin mereka sempat menikmati popularitas yang mereka dapatkan, namun pada akhirnya mereka merasakan sesuatu yang membuat mereka lari dari diri sendiri.
Eksistensi bukan berarti popularitas.

Tahun 2000, akhirnya Ian Dury melepaskan nafas terakhirnya akibat penyakit kanker.. Namun, popularitas dan eksistensi merupakan dua hal yang tidak bisa terkubur bersama jasad. Hanya saja, pencarian akan eksistensi membuat Ian Dury menjadi hidup, dan popularitas merupakan hal yang mengarahkan Ian Dury menuju kefanaan.

Disitulah letak perbedaan eksistensi dengan popularitas.