Hidup adalah cerita tentang
bergerak maju di jalanan diantara para manusia, terkadang kita melewati
perempatan, menemukan seseorang disana, dan kembali pergi melanjutkan
hidup yang sendiri dan tak bisa ditebak. Jalanan dengan udara dan
matahari yang sama, semuanya memberikan tekanan pada hidup. Kemudian
manusia akan memilih; mengalah atau melawan.
Yang jelas, setiap manusia memiliki jatah hidup masing-masing yang di atur oleh dirinya sendiri dan konsekuensinya dihadapi sendiri. Tapi terserah, definisi ini hanya pandangan subyektif saya, dan setiap orang bebas mengartikan hidupnya masing-masing.
Tekanan-tekanan yang muncul dalam kehidupan ini kemudian memunculkan arus-arus besar yang menyeret manusia bersamanya atau sebaliknya, manusia yang melawan, dan demi kebutuhan hidup, sebagian orang akan mengalah pada arus. Namun, sebagian lagi akan terus melawan arus dan mempertahankan pemaknaan-nya masing-masing. Logikanya, akan lebih banyak manusia terbawa arus karena keterbatasan tenaga daripada manusia yang terus melawan. Sehingga muncullah apa yang sekarang sedang nge-trend, mainstream dan hipster.
Saya mencoba mencermati apa yang menjadi mainstream di zaman sekarang, apa yang memberi tekanan pada manusia, dan kecenderungan apa yang muncul; melawan atau mengalah.
Mungkin saya akan mengaitkannya sedikit dengan semangat band Punk di era 70-an, The Clash.
The Clash adalah band Punk yang muncul di Inggris pada pertengahan 70-an. Hidup dalam kondisi masyarakat yang mapan, dan inilah yang mereka lawan. Sebagai penikmat lagu-lagu Punk, sedikitnya saya dapat memahami alasan kenapa The Clash anti terhadap kemapanan. Sekali lagi, ini subjektif. Alasannya sederhana, karena kemapanan adalah arus besar yang memaksa manusia untuk berhenti menjadi apa yang mereka impikan sebagai kebebasan.
Memang terdapat kesamaan antara era The Clash dengan Indonesia sekarang, atau yang lebih sering disebut orang-orang sebagai era globalisasi.
Di era 70-an, terutama di Inggris dan Amerika, adalah puncak dari kemajuan teknologi dan ekonomi yang dimulai dari tahun 50-an (pasca Perang Dunia ke 2) sebagai negara yang memenangkan perang.(Jakartabeat.net). Yang menjadi mainstream pada masa itu adalah ekonomi sebagai orientasi dan hidup mewah menggunakan produk-produk mahal, sebagai tolak ukur kemapanan.
The Clash melakukan perlawanan atas hal tersebut. Salah satunya terhadap industri musik yang pada masa itu hanya mengejar keuntungan ekonomi semata (komersial) dan dianggap menyulitkan ekspresi berkesenian individual. Pada album London Calling, The Clash memaksa perusahaan rekamannya untuk menjual album tersebut dengan harga murah.(jakartabeat.net)
The Clash juga mengangkat persoalan-persoalan global dalam lagu-lagunya di album ini mulai dari global warming, era persaingan nuklir hingga berbagai konflik. Dalam lagu “London Calling” itu misalnya, Joe Strummer sang vokalis sekaligus gitaris berseru: “The ice age is coming, the sun is zooming in, engines stop running, and the wheat is growing thin, a nuclear error, but i have no fear, London is drowning - and I live by the river”.(jakartabeat.net)
Lagu lain yang berjudul “Spanish Bomb” diilhami oleh berita meledaknya bom di sebuah provinsi di Spanyol yang hendak memerdekakan diri. Memang, seperti diakui para personel grup ini, mereka memilih nama the Clash sebagai nama grupnya karena kata “clash” menurut mereka adalah kata yang paling sering dijumpai di surat kabar saat itu.(jakartabeat.net)
Dari The Clash, kita beralih ke dalam negeri. Seperti di Inggris tahun 70-an, Indonesia sekarang ini juga dikuasai oleh perusahaan-perusahaan komersil, kebanyakan masyarakatnya berorientasi ekonomi, dan mengkonsumsi teknologi pada tiap perkembangannya. Hanya bedanya, Inggris dan Amerika memproduksi sendiri teknologinya, sedangkan Indonesia, teknologi yang ada merupakan barang impor.
Ya, ekonomi dan teknologi adalah mainstream di Indonesia saat ini. Keduanya, antara ekonomi dan teknologi, saling bahu-membahu untuk saling memajukan diri masing-masing, yang satu mengkonsumsi manusia dengan hasil produksinya, yang satu menyulap konsumerisme menjadi trend. Sebenarnya bukan manusia-lah yang mengkonsumsi teknologi, tapi teknologi-lah yang mengkonsumsi mental manusia. Karena dengan menguasai mental manusia, ekonomi dan teknologi menjadi Tuhan yang setiap sabdanya akan dibeli. Persis seperti yang terjadi saat ini, gadget seperti blackberry dan android sama halnya dengan sabda Tuhan karena setelah kemunculannya banyak manusia yang membelinya demi mengikuti trend.
Sabda Tuhan adalah trend.
Di suatu cafe di Yogyakarta, saya pernah melihat setiap orang yang datang dan berkumpul selama berjam-jam hanya sibuk dengan gadget masing-masing, termasuk perkumpulan saya sendiri. Tanpa menilai ini sebagai sesuatu yang salah, saya menganggap fenomena ini muncul menjadi budaya yang bertentangan pemikiran saya. Saya stress pada saat itu.
Saya menganggap itu sebagai bentuk kemapanan di Indonesia saat ini, sebagai mainstream yang akan saya lawan sendiri atau siapapun yang gelisah karenanya.
Sebagai mainstream, fenomena ini tentunya memberikan tekanan kepada setiap manusia, disadari atau tidak. Kecenderungan yang muncul adalah manusia mengalah terhadap mainstream ini. Itu dapat saya buktikan, paling tidak dari lingkungan saya sendiri, hampir setiap teman-teman saya menggunakan android dan blackberry dan lebih sering berkomunikasi lewat kedua benda tersebut daripada berkomunikasi secara langsung.
Tetapi, sebagai manusia, saya sadar bahwa setiap manusia bebas memilih cara hidup masing-masing.
Apa yang dilawan oleh idelogi Punk sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang saya lawan sekarang. Sebuah kondisi dimana mainstream membuat sebagian orang menjadi stress dan melakukan perlawanan terhadap mainstream tersebut. Perlawanan terhadap kemapanan - dimana manusia menjadi mapan ketika berkomunikasi lewat android dan blackberry ketimbang berkomunikasi secara langsung.
Dengan berpikir seperti itu, apakah saya seorang Punker?? Hahaha, I don't care about it!
Barangkali jika The Clash hidup di zaman sekarang, mereka juga akan melawan hal yang sama dengan apa yang saya lawan. Mainstream adalah sesuatu yang tipical, karena mengikuti perkembangan zaman. Pada tahun 70-an generasi The Clash belum mengenal android atau blackberry sebagai bentuk kemapanan. Saat ini, generasi saya sudah mengenal teknologi tersebut. Teknologi yang menjadi mainstream baru setelah ia dapat merobah perilaku manusia sampai kepada hal yang paling mendasar, yaitu pola dalam berkomunikasi, dan menjadikan manusia mapan didalamnya.
Yang jelas, setiap manusia memiliki jatah hidup masing-masing yang di atur oleh dirinya sendiri dan konsekuensinya dihadapi sendiri. Tapi terserah, definisi ini hanya pandangan subyektif saya, dan setiap orang bebas mengartikan hidupnya masing-masing.
Tekanan-tekanan yang muncul dalam kehidupan ini kemudian memunculkan arus-arus besar yang menyeret manusia bersamanya atau sebaliknya, manusia yang melawan, dan demi kebutuhan hidup, sebagian orang akan mengalah pada arus. Namun, sebagian lagi akan terus melawan arus dan mempertahankan pemaknaan-nya masing-masing. Logikanya, akan lebih banyak manusia terbawa arus karena keterbatasan tenaga daripada manusia yang terus melawan. Sehingga muncullah apa yang sekarang sedang nge-trend, mainstream dan hipster.
Saya mencoba mencermati apa yang menjadi mainstream di zaman sekarang, apa yang memberi tekanan pada manusia, dan kecenderungan apa yang muncul; melawan atau mengalah.
Mungkin saya akan mengaitkannya sedikit dengan semangat band Punk di era 70-an, The Clash.
The Clash adalah band Punk yang muncul di Inggris pada pertengahan 70-an. Hidup dalam kondisi masyarakat yang mapan, dan inilah yang mereka lawan. Sebagai penikmat lagu-lagu Punk, sedikitnya saya dapat memahami alasan kenapa The Clash anti terhadap kemapanan. Sekali lagi, ini subjektif. Alasannya sederhana, karena kemapanan adalah arus besar yang memaksa manusia untuk berhenti menjadi apa yang mereka impikan sebagai kebebasan.
Memang terdapat kesamaan antara era The Clash dengan Indonesia sekarang, atau yang lebih sering disebut orang-orang sebagai era globalisasi.
Di era 70-an, terutama di Inggris dan Amerika, adalah puncak dari kemajuan teknologi dan ekonomi yang dimulai dari tahun 50-an (pasca Perang Dunia ke 2) sebagai negara yang memenangkan perang.(Jakartabeat.net). Yang menjadi mainstream pada masa itu adalah ekonomi sebagai orientasi dan hidup mewah menggunakan produk-produk mahal, sebagai tolak ukur kemapanan.
The Clash melakukan perlawanan atas hal tersebut. Salah satunya terhadap industri musik yang pada masa itu hanya mengejar keuntungan ekonomi semata (komersial) dan dianggap menyulitkan ekspresi berkesenian individual. Pada album London Calling, The Clash memaksa perusahaan rekamannya untuk menjual album tersebut dengan harga murah.(jakartabeat.net)
The Clash juga mengangkat persoalan-persoalan global dalam lagu-lagunya di album ini mulai dari global warming, era persaingan nuklir hingga berbagai konflik. Dalam lagu “London Calling” itu misalnya, Joe Strummer sang vokalis sekaligus gitaris berseru: “The ice age is coming, the sun is zooming in, engines stop running, and the wheat is growing thin, a nuclear error, but i have no fear, London is drowning - and I live by the river”.(jakartabeat.net)
Lagu lain yang berjudul “Spanish Bomb” diilhami oleh berita meledaknya bom di sebuah provinsi di Spanyol yang hendak memerdekakan diri. Memang, seperti diakui para personel grup ini, mereka memilih nama the Clash sebagai nama grupnya karena kata “clash” menurut mereka adalah kata yang paling sering dijumpai di surat kabar saat itu.(jakartabeat.net)
Dari The Clash, kita beralih ke dalam negeri. Seperti di Inggris tahun 70-an, Indonesia sekarang ini juga dikuasai oleh perusahaan-perusahaan komersil, kebanyakan masyarakatnya berorientasi ekonomi, dan mengkonsumsi teknologi pada tiap perkembangannya. Hanya bedanya, Inggris dan Amerika memproduksi sendiri teknologinya, sedangkan Indonesia, teknologi yang ada merupakan barang impor.
Ya, ekonomi dan teknologi adalah mainstream di Indonesia saat ini. Keduanya, antara ekonomi dan teknologi, saling bahu-membahu untuk saling memajukan diri masing-masing, yang satu mengkonsumsi manusia dengan hasil produksinya, yang satu menyulap konsumerisme menjadi trend. Sebenarnya bukan manusia-lah yang mengkonsumsi teknologi, tapi teknologi-lah yang mengkonsumsi mental manusia. Karena dengan menguasai mental manusia, ekonomi dan teknologi menjadi Tuhan yang setiap sabdanya akan dibeli. Persis seperti yang terjadi saat ini, gadget seperti blackberry dan android sama halnya dengan sabda Tuhan karena setelah kemunculannya banyak manusia yang membelinya demi mengikuti trend.
Sabda Tuhan adalah trend.
Di suatu cafe di Yogyakarta, saya pernah melihat setiap orang yang datang dan berkumpul selama berjam-jam hanya sibuk dengan gadget masing-masing, termasuk perkumpulan saya sendiri. Tanpa menilai ini sebagai sesuatu yang salah, saya menganggap fenomena ini muncul menjadi budaya yang bertentangan pemikiran saya. Saya stress pada saat itu.
Saya menganggap itu sebagai bentuk kemapanan di Indonesia saat ini, sebagai mainstream yang akan saya lawan sendiri atau siapapun yang gelisah karenanya.
Sebagai mainstream, fenomena ini tentunya memberikan tekanan kepada setiap manusia, disadari atau tidak. Kecenderungan yang muncul adalah manusia mengalah terhadap mainstream ini. Itu dapat saya buktikan, paling tidak dari lingkungan saya sendiri, hampir setiap teman-teman saya menggunakan android dan blackberry dan lebih sering berkomunikasi lewat kedua benda tersebut daripada berkomunikasi secara langsung.
Tetapi, sebagai manusia, saya sadar bahwa setiap manusia bebas memilih cara hidup masing-masing.
Apa yang dilawan oleh idelogi Punk sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang saya lawan sekarang. Sebuah kondisi dimana mainstream membuat sebagian orang menjadi stress dan melakukan perlawanan terhadap mainstream tersebut. Perlawanan terhadap kemapanan - dimana manusia menjadi mapan ketika berkomunikasi lewat android dan blackberry ketimbang berkomunikasi secara langsung.
Dengan berpikir seperti itu, apakah saya seorang Punker?? Hahaha, I don't care about it!
Barangkali jika The Clash hidup di zaman sekarang, mereka juga akan melawan hal yang sama dengan apa yang saya lawan. Mainstream adalah sesuatu yang tipical, karena mengikuti perkembangan zaman. Pada tahun 70-an generasi The Clash belum mengenal android atau blackberry sebagai bentuk kemapanan. Saat ini, generasi saya sudah mengenal teknologi tersebut. Teknologi yang menjadi mainstream baru setelah ia dapat merobah perilaku manusia sampai kepada hal yang paling mendasar, yaitu pola dalam berkomunikasi, dan menjadikan manusia mapan didalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar