Selasa, 18 Oktober 2016

Puran

“ “Hujan turun. Semua orang terjebak. Aku terjebak. Seharusnya aku tidak keluar dari rumah. Tetapi, hujan sudah terlanjur turun dan aku terjebak di tengah kerumunan. Menakutkan. Sama halnya dengan mengatakan kenyataan, memberi pengertian yang sebenarnya kepada orang lain, atau seseorang. Sangat menakutkan. Sementara hujan masih begitu deras, aku terjebak di tengah kerumunan dan harus menghadapi kenyataan bahwa seseorang yang aku cintai (aku tertawa di saat menuliskan kata “cintai” ini. Entah kenapa) juga terkepung hujan.
“ “Sebenarnya aku tidak tahu pasti, apakah aku benar-benar jatuh cinta atau hanya mengalami kegilaan terobsesi dengan harapan yang muncul beberapa tahun lalu. Jika ini hanya sebuah obsesi, maka sebut saja aku seseorang yang gila. Dan jangan pernah hiraukan apa yang aku pikir dan lakukan. Akan lebih baik lagi jika kau bisa membedakan keduanya: obsesi, (gila), dan cinta. Namun, jika hujan turun begitu deras, ke mana kita harus pergi? Di situasi seperti itu, kau tidak bisa menghiraukan aku. Bukan karena aku sedang terobsesi atau jatuh cinta, tetapi karena kesopanan”.”, Puran menatap Zul yang sedang menutup buku catatannya. Dia baru saja mendengarkan kisah yang Zul tulis beberapa waktu lalu. Zul dan Puran adalah teman lama. Mereka adalah teman satu tim di sebuah sekolah sepakbola di saat masih duduk di bangku sekolah dasar. Ketika mereka satu kelas pada saat duduk di kelas tiga SMP, mereka berhasil menjuarai turnamen sekolah.
“Orang-orang akan menertawakanmu. Itukah yang kau alami beberapa waktu lalu?” tanya Puran.
“Aku juga berpikir seperti itu. Orang-orang menertawakanku. Dan itu membuat perutku mual. Ya, itulah yang kualami. Hujan turun, aku terjebak, gadis itu terjebak, orang-orang terjebak, dan aku tidak tahu harus membicarakan apa. Meskipun aku terus berbicara dengannya.”
“Jika memang seperti itu kenyataannya. . .”
“Aku semakin mual.” Potong Zul.
“Apa kau baik-baik saja?” tanya Puran.
“Tidak. Aku tidak baik-baik saja. Bagaimana jika dia tahu?”
“Dia? Dia siapa? Oh, dia. Apa yang dia tahu?”
“Maksudku, bagaimana jika dia merasa terganggu?”
“Terganggu? Ini hanya tulisan. Kau bisa membuatnya menjadi sebuah fiksi, dia tidak berhak merasa terganggu karena itu. Menurutku, kau boleh sedikit membencinya apabila dia merasa terganggu.”
“Tulisan ini barulah sebuah rencana. Akan kupublikasikan nanti. Hanya saja, sebisa mungkin jangan sampai ada yang merasa terganggu karenanya.”
“Kau sudah menceritakan tulisan ini padaku. Menurutku, tidak ada yang mengganggu.”
“Bagaimana kau tahu bahwa dia tidak berhak merasa terganggu?”
“Zul, kukatakan padamu, jika gadis itu merasa jijik padamu, barulah dia akan merasa terganggu.”
“Oh, ya? Lalu, apa yang sebaiknya kulakukan jika dia benar-benar seperti yang kau katakan?”
“Tinggalkan dia. Tetapi jangan tinggalkan ceritamu. Hidup ini terlalu singkat, kau tidak akan punya waktu untuk menyesal karena menyia-nyiakan sesuatu yang membuatmu hidup seperti sekarang ini. Sekali-kali, kau harus lari. Jika ini adalah penjara bagimu, maka lari. Dan jangan lupa untuk mengikatkan naskahmu di kaki jika kau ingin lari seperti Andy Dufrene.”
Aku selalu menjadi pendengar di saat-saat seperti ini. Memikirkan sesuatu untuk dikatakan membuat perutku semakin mual. "Kau tahu, saat aku masih SD, aku akan muntah jika merasa terlalu takut.”
“Oh, ya? Apa yang terjadi pada saat itu?”
“Aku masih kelas enam, hari sudah malam, dan semua toko di pasar sudah tutup. Besok, akan ada praktek di kelas pengetahuan alam dan salah satu peralatan yang dibutuhkan adalah spiritus. Jam pertama. Kau tahu, aku lupa membeli spiritus. Dan hukuman yang aku bayangkan bakal kuterima jika aku tidak membawa barang itu sangat membuatku takut pada saat itu. Lalu, kukatakan pada ibuku, bahwa aku harus membawa spiritus untuk besok, tetapi hari sudah terlalu malam untuk pergi membeli barang tersebut.
“Kemudian, aku mulai menangis karena ketakutan. Ibuku, kedua saudaraku, tanteku, nenekku, ayahku, tidak satupun dari mereka yang bisa membuatku tenang. Ibuku berjanji akan membelinya besok pagi dan menghantarkan spiritus sialan itu ke sekolah. Tetapi, aku tidak melihat dan memahami apa yang dilihat dan dipahami oleh ibuku dan siapapun di ruangan itu. Aku terus menangis ketakukan sambil berbaring di atas sofa. Aku panik. Semua orang melihat bahwa masih ada kesempatan untukku, tetapi aku tidak. Tangisanku semakin menjadi-jadi dan ‘weekkk!’, lantai di bawah kepalaku berserakan dengan muntahan. Kemudian, aku lupa apa yang terjadi selanjutnya. Sepertinya aku langsung tertidur. Atau pingsan? Aku tidak ingat.”
“Lalu, bagaimana dengan spiritusnya? Apa kau mendapatkannya?”
“Aku tidak ingat. Bahkan aku tidak ingat apa yang terjadi di sekolah keesokan harinya. Dan aku tidak pernah ingin mengingatnya. Aku merasa pengalaman itu merubah cara pandangku terhadap hidup. Aku tidak mengerti, mengapa aku begitu takut, mengapa aku muntah, tetapi, itulah yang terjadi. Dan semua orang di keluargaku masih mengingat kejadian itu hingga sekarang. Sebelas tahun kemudian, keponakan pertamaku, seorang laki-laki yang baru dua tahun, juga memuntahkan isi perutnya jika terlalu lama menangis. Ketika aku melihat keponakanku seperti itu, aku sedikit terganggu dengan pikiran bahwa dia akan menjadi seperti diriku di saat dewasa. Di saat keponakanku menangis dan muntah, ibuku mengatakan padaku, “dia (keponakanku) seperti kamu”.
“Dan aku menyadari, bahwa antara aku dan keponakanku tersebut memang memiliki beberapa kemiripan. Kami sangat dekat, dan kupikir, itu adalah sebuah keserasian.”
“Lalu, akan ada kesamaan antara kau dan keponakanmu. Termasuk dalam caranya menghadapi perempuan. Bukankah itu yang sedang kau bicarakan sebenarnya?”
“Aku pikir begitu. Meskipun aku tidak menginginkannya mengalami hal itu. Tapi, jika teori ini valid, suatu saat keponakanku akan mengenal seorang perempuan yang membuatnya jatuh cinta atau terobsesi, kemudian merasakan apa yang aku rasakan pada saat ini. Tetapi, aku tidak khawatir, sebab, keponakanku adalah tipikal anak yang sangat aktif. Itu menandakan kecerdasan. Dia sudah berlari seperti anak  berusia lima tahun, tidak menangis jika terjatuh, dan, ini yang paling kusuka, dia akan memintaku membacakan sesuatu untuknya jika menemukanku di kamar sedang membaca buku.”
“Oh, ya? Apa yang kau bacakan untuknya?”
“Tentang Daendles. Jalan Raya Pos. Keponakanku akan duduk termangu mendengarkanku membacakan cerita. Ketika aku berhenti untuk jeda, aku menatapnya, dan wajahnya begitu serius. Aku ingin menciumnya pada saat seperti itu. Dia begitu lucu. Tetapi, aku akan kembali pada cerita. Hari berikutnya, dia akan mengatakan, “Om, nyanyi orang jahat” setiap kali dia ingin aku membacakan kisah tentang Daendles. Kenapa dia mengucapkan kata “nyanyi” untuk mengatakan “cerita”, aku tidak tahu.”
“Apa yang kau harapkan dari keponakanmu itu?”
“Aku tidak tahu.”
“Lalu, apa yang kau harapkan dari dirimu?” pertanyaan Puran digantikan dengan sunyi. Zul nyaris saja mengatakan “aku tidak tahu”, tetapi dia berhasil menahan diri. Kemudian Puran memperjelas pertanyaannya,
“Kau tahu apa yang kau hadapi. Entah itu obsesi atau cinta. Lalu, apa yang kau harapkan dari dirimu untuk kau lakukan?”

“Entahlah. Aku mual.” Jawab Zul.

To Blur and Oasis

I hear something in my ears,

Part of Oasis, part of Blur. .

I see something in my mind,

Liam and Albarn are just looks like the same each other

Am I right?

They’re nineties, they’re famous, they’re a star, they’re a singer, they’re on the band

They were young, and they’re British.

I can’t see no differencies

“No one’s gonna tell her what I am about?”

Who is ‘her’?

“She’s a twentieth  century girl”

Now I’m sitting in a chair when the people called the years 2016

“This is the next century,”

But the songs “are gonna live forever”.

Now take a look to myself,

I’m afraid to see, to feel what I feel,

To do what I want to.


“It’s nothing special”.

Easy Baby Easy

What do you think about the situation?

I lost my game, I’m feeling sad as I’m proud to be loving you

What do I know? I don’t deserve. There’s nobody want me to know

I have to do some little act,

Talking, sleeping, eating, and laughing for nothing

Good for you and the people

Something must be done, but, how? When it’s over, I think I’m gonna be fine

Except if I hear some people come and ask me about what I meant was.

It’s good to know. But it’s bad to feel.

Sun is shining and sun is sinking

So, what are we waiting for? Let the sun up and down. Time is never stop

I promise you. We’re here and we’ll gone. I light the cigarette and then something is burning.

Do you know what I mean?

The people just don’t understand about love, I guess.

John Lennon was right, the people wasn’t

Sitting in a chair and write something about feeling

I’m a rock and roll, Baby. The people isn’t. I’m a blue and you’re the light

It’s cool to be mean. Go out for the challenge,

I’m feeling guilty but this is not the end.


If I dead, so that’s the truly end.

Rabu, 12 Oktober 2016

It,s Just a Hard Time, I have to go and I Will...

This is my blog.

So, FUCK!

Love is always fuck, shit, make me sad..

Huuu, "We don't deserve to single one thing". Who said that? Jack White.

He's right. Absolutely.

Im gonna run away. Leaving. I'm doing it for the second time. Remember, for the second time.

Never like it.

Senin, 10 Oktober 2016

Histrionic

Entah kenapa, berat menulis puisi menggunakan bahasa Indonesia.

Setiap kata yang kutulis, terasa berlebih-lebihan, manja, dan menjijikkan.

Kenapa?

Jawabannya adalah: karena aku jijik melihat puisiku sendiri.

Lihatlah, hampir di setiap puisi yang pernah kutulis, aku melarikan diri dari perasaan yang sebenarnya.

Menutupi hal yang sebenarnya.

Aku jatuh cinta, dan aku tidak berani mengatakan apa-apa. Sebaliknya, aku menciptakan diksi-diksi untuk mengatakan bahwa aku ‘baik-baik’ saja.

Karena, kenyataan di dalamnya sangat menakutkan.

Menakutkan sehingga membuatku merasa ingin muntah, tetapi kuanggap hal itu sebagai menjijikkan. 

Bukan menakutkan.

Karena, jika kutuliskan apa yang sebenarnya, menakutkan memikirkan bagaimana aku menghadapi orang-orang di esok hari.

Itulah kenyataannya. Aku ingin menyelami jiwa-jiwa para penulis hebat di dunia, lalu mencari tahu apakah mereka juga mengalami apa yang kualami, melakukan apa yang kulakukan, dan bagaimana rasanya melewati masa-masa seperti itu.

Menghadapi orang-orang di esok hari. Itulah yang sangat menakutkan.

Tapi, aku sedang jatuh cinta, mencari sesuatu untuk memberi makan pikiranku, dan merahasiakan sesuatu.

Histrionic. Ini adalah tentang diriku, bukan kau, kalian, atau siapapun. Aku butuh diriku untuk merasa baik-baik saja.

Untuk tenang,


Dan kuharap, kau juga merasa baik-baik saja....

Selasa, 04 Oktober 2016

Tuturan Kata: Walpaper Fiksi

Tuturan Kata: Walpaper Fiksi: “Yang terjadi adalah diriku tidak mampu menghentikan kehidupan yang bekerja di dalam otakku untuk berpikir. Aku merasa tidak mampu beri...

Walpaper Fiksi



“Yang terjadi adalah diriku tidak mampu menghentikan kehidupan yang bekerja di dalam otakku untuk berpikir. Aku merasa tidak mampu beristirahat. Beristirahat membuatku merasa bersalah karena mengabaikan pikiranku yang terus bekerja dan membuat apa yang mereka kerjakan menjadi sia-sia. Aku merasa berdosa jika membiarkan itu terjadi – beristirahat sementara itu pikiranku belum ingin beristirahat. Kadang aku berpikir, bahwa pikiran adalah Alam Semesta. Mereka tidak pernah berhenti bekerja. Bahkan, di saat tidur pun pikiran tetap bekerja. Mereka tidak pernah berhenti. Kecuali, mungkin, jika kita sudah mati.”

Dari dalam gerbong kereta, Zul, mengarahkan pandangannya ke luar jendela. Beberapa tahun setelah perjalanan itu, dia mengatakan padaku bahwa dirinya tidak dapat mengingat dengan baik apa yang ditatapnya saat itu, karena bukan pemandangan di luar yang sebenarnya ia lihat, melainkan masalalu.
Masalalu: cinta pertama yang dia rasakan pada saat masih duduk di bangku kelas 1 SMP. Masalalu: masa orientasi siswa di bangku SMA. Masalalu: pramuka. Masalalu: satu bulan mengalami gangguan tidur.
Setelah perasaannya tentang masalalu itu menguap, yang tersisa kemudian hanyalah ingatan. Menurutnya, ingatan tanpa perasaan sama seperti sebotol Johnson’s baby cologne yang dibiarkan terbuka selama berminggu-minggu sehingga keharuman di dalamnya menguap dan kehilangan “kekuatannya”. Kita masih bisa melihatnya, menuangkannya, bahkan mengoleskannya di seluruh bagian dari tubuh kita. Tetapi, kita tidak bisa lagi menikmati baunya, esensi darinya.
Kereta terus melaju meninggalkan apa saja yang dilewatinya.
Setelah sepuluh jam menempuh perjalanan, kereta yang ditumpangi Zul akhirnya sampai di stasiun tujuan. Sebuah stasiun dengan arsitektur kolonial. Hanya itu kesan yang muncul dari Zul mengenai stasiun itu. Beberapa tahun kemudian, ia bahkan tidak berkenan untuk mengingat langkah-langkah pertamanya di stasiun tersebut yang juga merupakan langkah-langkah pertamanya di kota tempat stasiun itu berada. Dia tidak lupa, dia hanya tidak ingin mengingatnya.
Hal yang berkenan untuk diingatnya tentang saat itu hanyalah langkah-langkah pertamanya setelah keluar dari bangunan stasiun di mana saudaranya berdiri menunggu hanya beberapa meter dari pintu keluar-masuk stasiun. Kemudian, sekilas pemandangan Malioboro, lukisan mural Chairil Anwar, ayam geprek di mana mereka berhenti untuk makan malam, dan hanya itu. Bahkan dia tidak mengingat bagaimana dia dan saudaranya sampai di rumah kost yang mulai saat itu menjadi tempat tinggalnya hingga tiga bulan ke depan.
Zul menganggap masa itu sebagai masa di mana imajinasi berhenti, hasrat yang sesekali datang adalah palsu dan lemah, dan menimbulkan kesan ‘membosankan’ di dalam dirinya setiap kali ia mencoba untuk mengingat.
Aku mengetahui hal itu – yang menurutku telah membawanya ke kota di mana kami sekarang berkuliah – pada saat Zul menceritakannya padaku di suatu siang di lantai dua perpustakaan universitas.
“Aku tidak membaca sepatah kata-pun dari fiksi ini dalam setengah jam terakhir.” Itulah kata-kata pertama yang keluar dari mulut Zul setelah ia bercerita tentang masalalunya. Ia melanjutkan, “Aku juga tidak tahu bagaimana ingatan itu bisa muncul.”
Aku tidak sering menoleh ke arah Zul meskipun sudah dua jam kami berada di bilik yang bersebelahan. Tetapi, aku bisa memastikan bahwa, selama “setengah jam terakhir”, Zul sama sekali tidak menggerakkan kepalanya, dan tidak mengubah arah pandangnya dari fiksi di hadapannya.
“Apa ada hal yang sedang mengganggumu?” aku memancing Zul untuk mulai bercerita karena aku juga sudah tidak lagi dapat berkonsentrasi pada bacaanku.
“Apa kau sering membaca?” Tanya Zul.
“Ya.” Ketika aku ingin menambahkan sesuatu, Zul mendahului,
“Apakah kau suka menulis?”
“Ya.” Kali ini, aku menahan diri dan menunggu apakah Zul akan mengatakan sesuatu. Kemudian setelah diam selama beberapa saat, akhirnya aku yakin bahwa aku bisa memulai pembicaraan.
“Apakah kau juga menyukainya? Membaca dan menulis?”
“Ya.” Zul menjawab sembari memberi anggukan ke arahku. Lalu menegakkan duduknya dengan gerakan cepat, mengarahkan badannya ke arahku, kemudian,
“Aku sudah duduk di sini dan mulai membaca sejak dua jam yang lalu. Seperti biasa, aku mambaca dengan semangat. Kemudian, di akhir sebuah bab, aku seperti menemukan sesuatu yang berharga. Sesuatu yang memberikanku sebuah kebenaran, dan aku tidak ingin membantahnya. Pendeknya, aku setuju dengan kebenaran tersebut karena aku merasa ada kebaikan di dalamnya. Bahkan, aku mengagumi apa yang baru saja kutemukan.
“Seperti biasa, hal itu memicu semangat untuk menulis meledak dalam diriku. Namun, ada sebuah gangguan.” Zul berhenti beberapa saat, semangat di wajahnya memudar. Sepertinya gangguan tersebut benar-benar membuatnya tidak nyaman.
“Aku mensyukuri ledakan semangat yang terjadi, tetapi gangguan itu benar-benar membuatku takut. Kau tahu apa yang sedang aku baca beberapa hari ini?”
“Alice Walker?” tanyaku.
“Ya. Nama itulah yang sekarang membuatku takut. Takut jika, kepribadianku hilang dan tulisanku hanya menjadi “milik” Alice Walker. Apa yang harus kulakukan?”
“Aku tidak tahu apa yang sebaiknya kau lakukan terkait dengan rasa takut mu itu. Tetapi, aku cukup yakin untuk mengatakan, jangan berhenti membaca. Dan, setelah kau menyelesaikannya, jangan takut untuk membacanya kembali. Meskipun aku lebih suka membaca buku lain setiap kali aku menyelesaikan satu buku.”
“Apakah itu bisa dijadikan kebenaran?”
“Jika apa yang ditulis oleh Alice Walker bisa kau anggap sebagai kebenaran, kenapa tidak dengan ucapanku? Ada banyak kebenaran di dunia ini. Banyak sekali. Jika satu kebenaran datang, maka kebenaran lain akan datang, kemudian yang lainnya juga akan datang, begitu seterusnya. Hahaha! Kau dipenjarai oleh kebenaranmu sendiri. Aku juga sudah membaca buku yang kau baca. Apakah kau sepakat jika buku Alice Walker yang sedang kau baca berbicara tentang perjuangan melawan penindasan? Aku harap kau sepakat. Dan harus sepakat.”
“Tetapi, mengapa aku justru merasa ditindas? Oleh pikiran bahwa akan ada orang-orang yang berpendapat bahwa tulisanku seperti Alice Walker? Kemudian, aku menganggap bahwa rasa takut akibat gangguan yang menindas tersebut sebagai pengalaman estetis, lalu aku merasa bahwa pengalaman tersebut penting untuk kutuliskan, dan lalu,” Zul tiba-tiba berhenti berbicara. Kemudian memulainya lagi beberapa detik kemudian,
“Apakah orang-orang akan membenciku setelah aku mengungkapkan pengalaman estetis tersebut ke dalam tulisan? “ dia berpikir sejenak, lalu, “Atticus Finch!” Zul mengucapkan kata ‘Atticus Finch’ dengan setengah berteriak dan itu cukup untuk membuat kursinya bergeser dan mengeluarkan suara yang lumayan keras. Aku melihat sekitar, beberapa orang melihat ke arah kami, beberapa orang tidak. Zul menyadari suara yang diakibatkan oleh tindakannya, tersenyum, dan melanjutkan kata-katanya,
“Aku membayangkan diriku akan seperti Atticus Finch ketika dirinya diludahi di pinggir jalan oleh seseorang yang membencinya setelah melakukan sesuatu yang menurutnya benar.”
“Kau bahkan belum menghadapi situasi seperti itu. Kau baru menghadapi bayangan tentang situasi itu.”
“Apakah itu berarti hal yang kita bicarakan ini hanya omong kosong?”
“Jika kau tidak pernah belajar, maka ya, apa yang kita bicarakan hanya omong kosong. Kenapa kau bisa berpikir seperti itu? Kau mau meremehkan dirimu sendiri?”
“Aku hanya sedang terbakar, kurasa.”
“Bukan hanya kau yang sedang terbakar. Aku pun juga tengah mengalaminya. Mungkin juga beberapa orang di dunia ini sedang mengalaminya. Akan kuberitahu kau sebuah kebenaran. Dengarkan baik-baik. Ini adalah titik penting. Aku percaya dengan apa yang aku bicarakan. Begitu juga dengan apa yang kau bicarakan. Sementara itu, jika kau tidak bisa percaya dengan dirimu sendiri, jika kau meremehkan dirimu sendiri, kau akan terhenti di titik ini. Itulah kenapa aku mengatakan bahwa sekarang ini merupakan titik penting. Untuk dapat melampauinya, kau bisa saja kedinginan, berkali-kali mengalami kegagalan, kehabisan akal, dan tidak mendapatkan apa yang kau inginkan pada akhirnya. Lalu kau akan pulang ke rumah, menceritakan kegagalanmu kepada seorang teman, sebelum kemudian giliran temanmu yang melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang kalian inginkan.
“Jika pun pada akhirnya tidak seorang pun dari kalian yang berhasil, itu tidak masalah. Sebab, kalian sudah melakukan segala sesuatu yang bisa kalian pikirkan. Hidup ini hanya soal menunggu giliran. Itulah kebenarannya. Lalu, kenapa Alice Walker begitu mengganggumu?”
“Aku rasa kau benar, aku dipenjara oleh kebenaran-kebenaran. Sekarang aku berpikir, tanpa rasa takut, hanya berpikir. Begini, beberapa waktu lalu kau mengatakan bahwa aku dipenjarai oleh kebenaran. Saat ini, setelah penjelasanmu, aku merasa jauh lebih baik. Aku tidak lagi bermasalah dengan tokoh-tokoh, kemudian, yang terjadi adalah diriku tidak mampu menghentikan kehidupan yang bekerja di dalam otakku untuk berpikir. Aku merasa tidak mampu beristirahat. Beristirahat membuatku merasa bersalah karena mengabaikan pikiranku yang terus bekerja dan membuat apa yang mereka kerjakan menjadi sia-sia. Aku merasa berdosa jika membiarkan itu terjadi – beristirahat sementara itu pikiranku belum ingin beristirahat. Kadang aku berpikir, bahwa pikiran seperti hal nya Alam Semesta. Mereka tidak pernah berhenti bekerja. Bahkan, di saat tidur pun pikiran tetap bekerja. Mereka tidak pernah berhenti. Kecuali, mungkin, jika kita sudah mati.”
“Kau akan merasa lelah. Dan di saat seperti itu, kau bisa beristirahat. Aku rasa aku cukup lelah setelah pembicaraan kita kali ini. Dan aku akan pulang ke rumah lalu tidur dan membiarkan pikiranku meneruskan pekerjaannya.” Aku benar-benar lelah. Setelah membereskan perlengkapanku aku segera bergerak meninggalkan Zul. Baru beberapa langkah aku berjalan, Zul memanggil,
“Hey, kau melupakan handphone-mu.”
“Oh, my God! Terima kasih banyak, Zul.” Zul menyerahkan handphone-ku. Aku melihat layarnya menyala dan melihat Zul.
“Lelaki ini, dia kekasihmu?” Yang dimaksudkannya adalah seorang lelaki di walpaper handphone-ku. Lalu, kumasukkan handphone-ku ke dalam kantong celana, dan pergi tanpa menjawab pertanyaannya.