“Yang terjadi adalah
diriku tidak mampu menghentikan kehidupan yang bekerja di dalam otakku untuk
berpikir. Aku merasa tidak mampu beristirahat. Beristirahat membuatku merasa
bersalah karena mengabaikan pikiranku yang terus bekerja dan membuat apa yang
mereka kerjakan menjadi sia-sia. Aku merasa berdosa jika membiarkan itu terjadi
– beristirahat sementara itu pikiranku belum ingin beristirahat. Kadang aku
berpikir, bahwa pikiran adalah Alam Semesta. Mereka tidak pernah berhenti
bekerja. Bahkan, di saat tidur pun pikiran tetap bekerja. Mereka tidak pernah
berhenti. Kecuali, mungkin, jika kita sudah mati.”
Dari
dalam gerbong kereta, Zul, mengarahkan pandangannya ke luar jendela. Beberapa
tahun setelah perjalanan itu, dia mengatakan padaku bahwa dirinya tidak dapat
mengingat dengan baik apa yang ditatapnya saat itu, karena bukan pemandangan di
luar yang sebenarnya ia lihat, melainkan masalalu.
Masalalu:
cinta pertama yang dia rasakan pada saat masih duduk di bangku kelas 1 SMP.
Masalalu: masa orientasi siswa di bangku SMA. Masalalu: pramuka. Masalalu: satu
bulan mengalami gangguan tidur.
Setelah
perasaannya tentang masalalu itu menguap, yang tersisa kemudian hanyalah
ingatan. Menurutnya, ingatan tanpa perasaan sama seperti sebotol Johnson’s baby cologne yang dibiarkan
terbuka selama berminggu-minggu sehingga keharuman di dalamnya menguap dan
kehilangan “kekuatannya”. Kita masih bisa melihatnya, menuangkannya, bahkan
mengoleskannya di seluruh bagian dari tubuh kita. Tetapi, kita tidak bisa lagi
menikmati baunya, esensi darinya.
Kereta
terus melaju meninggalkan apa saja yang dilewatinya.
Setelah
sepuluh jam menempuh perjalanan, kereta yang ditumpangi Zul akhirnya sampai di
stasiun tujuan. Sebuah stasiun dengan
arsitektur kolonial. Hanya itu kesan yang muncul dari Zul mengenai stasiun
itu. Beberapa tahun kemudian, ia bahkan tidak berkenan untuk mengingat
langkah-langkah pertamanya di stasiun tersebut yang juga merupakan
langkah-langkah pertamanya di kota tempat stasiun itu berada. Dia tidak lupa, dia
hanya tidak ingin mengingatnya.
Hal
yang berkenan untuk diingatnya tentang saat itu hanyalah langkah-langkah
pertamanya setelah keluar dari bangunan stasiun di mana saudaranya berdiri
menunggu hanya beberapa meter dari pintu keluar-masuk stasiun. Kemudian,
sekilas pemandangan Malioboro, lukisan mural Chairil Anwar, ayam geprek di mana
mereka berhenti untuk makan malam, dan hanya itu. Bahkan dia tidak mengingat
bagaimana dia dan saudaranya sampai di rumah kost yang mulai saat itu menjadi
tempat tinggalnya hingga tiga bulan ke depan.
Zul
menganggap masa itu sebagai masa di mana imajinasi berhenti, hasrat yang
sesekali datang adalah palsu dan lemah, dan menimbulkan kesan ‘membosankan’ di
dalam dirinya setiap kali ia mencoba untuk mengingat.
Aku
mengetahui hal itu – yang menurutku telah membawanya ke kota di mana kami
sekarang berkuliah – pada saat Zul menceritakannya padaku di suatu siang di
lantai dua perpustakaan universitas.
“Aku
tidak membaca sepatah kata-pun dari fiksi ini dalam setengah jam terakhir.”
Itulah kata-kata pertama yang keluar dari mulut Zul setelah ia bercerita
tentang masalalunya. Ia melanjutkan, “Aku juga tidak tahu bagaimana ingatan itu
bisa muncul.”
Aku
tidak sering menoleh ke arah Zul meskipun sudah dua jam kami berada di bilik
yang bersebelahan. Tetapi, aku bisa memastikan bahwa, selama “setengah jam
terakhir”, Zul sama sekali tidak menggerakkan kepalanya, dan tidak mengubah
arah pandangnya dari fiksi di hadapannya.
“Apa
ada hal yang sedang mengganggumu?” aku memancing Zul untuk mulai bercerita
karena aku juga sudah tidak lagi dapat berkonsentrasi pada bacaanku.
“Apa
kau sering membaca?” Tanya Zul.
“Ya.”
Ketika aku ingin menambahkan sesuatu, Zul mendahului,
“Apakah
kau suka menulis?”
“Ya.”
Kali ini, aku menahan diri dan menunggu apakah Zul akan mengatakan sesuatu.
Kemudian setelah diam selama beberapa saat, akhirnya aku yakin bahwa aku bisa
memulai pembicaraan.
“Apakah
kau juga menyukainya? Membaca dan menulis?”
“Ya.”
Zul menjawab sembari memberi anggukan ke arahku. Lalu menegakkan duduknya
dengan gerakan cepat, mengarahkan badannya ke arahku, kemudian,
“Aku
sudah duduk di sini dan mulai membaca sejak dua jam yang lalu. Seperti biasa,
aku mambaca dengan semangat. Kemudian, di akhir sebuah bab, aku seperti
menemukan sesuatu yang berharga. Sesuatu yang memberikanku sebuah kebenaran,
dan aku tidak ingin membantahnya. Pendeknya, aku setuju dengan kebenaran
tersebut karena aku merasa ada kebaikan di dalamnya. Bahkan, aku mengagumi apa
yang baru saja kutemukan.
“Seperti
biasa, hal itu memicu semangat untuk menulis meledak dalam diriku. Namun, ada
sebuah gangguan.” Zul berhenti beberapa saat, semangat di wajahnya memudar. Sepertinya
gangguan tersebut benar-benar membuatnya tidak nyaman.
“Aku
mensyukuri ledakan semangat yang terjadi, tetapi gangguan itu benar-benar
membuatku takut. Kau tahu apa yang sedang aku baca beberapa hari ini?”
“Alice
Walker?” tanyaku.
“Ya.
Nama itulah yang sekarang membuatku takut. Takut jika, kepribadianku hilang dan
tulisanku hanya menjadi “milik” Alice Walker. Apa yang harus kulakukan?”
“Aku
tidak tahu apa yang sebaiknya kau lakukan terkait dengan rasa takut mu itu.
Tetapi, aku cukup yakin untuk mengatakan, jangan berhenti membaca. Dan, setelah
kau menyelesaikannya, jangan takut untuk membacanya kembali. Meskipun aku lebih
suka membaca buku lain setiap kali aku menyelesaikan satu buku.”
“Apakah
itu bisa dijadikan kebenaran?”
“Jika
apa yang ditulis oleh Alice Walker bisa kau anggap sebagai kebenaran, kenapa
tidak dengan ucapanku? Ada banyak kebenaran di dunia ini. Banyak sekali. Jika
satu kebenaran datang, maka kebenaran lain akan datang, kemudian yang lainnya
juga akan datang, begitu seterusnya. Hahaha! Kau dipenjarai oleh kebenaranmu
sendiri. Aku juga sudah membaca buku yang kau baca. Apakah kau sepakat jika
buku Alice Walker yang sedang kau baca berbicara tentang perjuangan melawan
penindasan? Aku harap kau sepakat. Dan harus sepakat.”
“Tetapi,
mengapa aku justru merasa ditindas? Oleh pikiran bahwa akan ada orang-orang
yang berpendapat bahwa tulisanku seperti Alice Walker? Kemudian, aku menganggap
bahwa rasa takut akibat gangguan yang menindas tersebut sebagai pengalaman
estetis, lalu aku merasa bahwa pengalaman tersebut penting untuk kutuliskan,
dan lalu,” Zul tiba-tiba berhenti berbicara. Kemudian memulainya lagi beberapa
detik kemudian,
“Apakah
orang-orang akan membenciku setelah aku mengungkapkan pengalaman estetis
tersebut ke dalam tulisan? “ dia berpikir sejenak, lalu, “Atticus Finch!” Zul
mengucapkan kata ‘Atticus Finch’ dengan setengah berteriak dan itu cukup untuk
membuat kursinya bergeser dan mengeluarkan suara yang lumayan keras. Aku
melihat sekitar, beberapa orang melihat ke arah kami, beberapa orang tidak. Zul
menyadari suara yang diakibatkan oleh tindakannya, tersenyum, dan melanjutkan
kata-katanya,
“Aku
membayangkan diriku akan seperti Atticus Finch ketika dirinya diludahi di
pinggir jalan oleh seseorang yang membencinya setelah melakukan sesuatu yang
menurutnya benar.”
“Kau
bahkan belum menghadapi situasi seperti itu. Kau baru menghadapi bayangan
tentang situasi itu.”
“Apakah
itu berarti hal yang kita bicarakan ini hanya omong kosong?”
“Jika
kau tidak pernah belajar, maka ya, apa yang kita bicarakan hanya omong kosong.
Kenapa kau bisa berpikir seperti itu? Kau mau meremehkan dirimu sendiri?”
“Aku
hanya sedang terbakar, kurasa.”
“Bukan
hanya kau yang sedang terbakar. Aku pun juga tengah mengalaminya. Mungkin juga
beberapa orang di dunia ini sedang mengalaminya. Akan kuberitahu kau sebuah
kebenaran. Dengarkan baik-baik. Ini adalah titik penting. Aku percaya dengan
apa yang aku bicarakan. Begitu juga dengan apa yang kau bicarakan. Sementara
itu, jika kau tidak bisa percaya dengan dirimu sendiri, jika kau meremehkan
dirimu sendiri, kau akan terhenti di titik ini. Itulah kenapa aku mengatakan
bahwa sekarang ini merupakan titik penting. Untuk dapat melampauinya, kau bisa
saja kedinginan, berkali-kali mengalami kegagalan, kehabisan akal, dan tidak
mendapatkan apa yang kau inginkan pada akhirnya. Lalu kau akan pulang ke rumah,
menceritakan kegagalanmu kepada seorang teman, sebelum kemudian giliran temanmu
yang melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang kalian inginkan.
“Jika
pun pada akhirnya tidak seorang pun dari kalian yang berhasil, itu tidak
masalah. Sebab, kalian sudah melakukan segala sesuatu yang bisa kalian
pikirkan. Hidup ini hanya soal menunggu giliran. Itulah kebenarannya. Lalu,
kenapa Alice Walker begitu mengganggumu?”
“Aku
rasa kau benar, aku dipenjara oleh kebenaran-kebenaran. Sekarang aku berpikir,
tanpa rasa takut, hanya berpikir. Begini, beberapa waktu lalu kau mengatakan
bahwa aku dipenjarai oleh kebenaran. Saat ini, setelah penjelasanmu, aku merasa
jauh lebih baik. Aku tidak lagi bermasalah dengan tokoh-tokoh, kemudian, yang
terjadi adalah diriku tidak mampu menghentikan kehidupan yang bekerja di dalam
otakku untuk berpikir. Aku merasa tidak mampu beristirahat. Beristirahat
membuatku merasa bersalah karena mengabaikan pikiranku yang terus bekerja dan
membuat apa yang mereka kerjakan menjadi sia-sia. Aku merasa berdosa jika
membiarkan itu terjadi – beristirahat sementara itu pikiranku belum ingin
beristirahat. Kadang aku berpikir, bahwa pikiran seperti hal nya Alam Semesta.
Mereka tidak pernah berhenti bekerja. Bahkan, di saat tidur pun pikiran tetap
bekerja. Mereka tidak pernah berhenti. Kecuali, mungkin, jika kita sudah mati.”
“Kau
akan merasa lelah. Dan di saat seperti itu, kau bisa beristirahat. Aku rasa aku
cukup lelah setelah pembicaraan kita kali ini. Dan aku akan pulang ke rumah
lalu tidur dan membiarkan pikiranku meneruskan pekerjaannya.” Aku benar-benar
lelah. Setelah membereskan perlengkapanku aku segera bergerak meninggalkan Zul.
Baru beberapa langkah aku berjalan, Zul memanggil,
“Hey,
kau melupakan handphone-mu.”
“Oh,
my God! Terima kasih banyak, Zul.” Zul menyerahkan handphone-ku. Aku melihat
layarnya menyala dan melihat Zul.
“Lelaki
ini, dia kekasihmu?” Yang dimaksudkannya adalah seorang lelaki di walpaper
handphone-ku. Lalu, kumasukkan handphone-ku ke dalam kantong celana, dan pergi
tanpa menjawab pertanyaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar