Di
lantai dua perpustakaan universitas, aku sedang mengerjakan sebuah karangan
pendek tentang “perempuan” yang tidak lain adalah tugas untuk mata kuliah
Gender dan Modernitas. Di sebelahku, duduk seseorang teman, aku memanggilnya
Zul, menutup buku yang sedang dibacanya, mengalihkan pandangan pada tugas yang
hampir selesai kukerjakan.
“Apa
yang kau kerjakan?” tanya Zul.
“Hanya
karangan pendek untuk tugas. Tentang “perempuan”.” Zul tidak mengatakan apa-apa
lagi. Tetapi, aku tahu, dia sedang ingin membicarakan sesuatu. Dan aku tidak
salah. Ketika aku menutup buku tugasku, Zul menangkap isyarat itu, dan memulai
pembicaraan:
“Pernah
aku membaca sebuah novel yang ditulis oleh seseorang laki-laki berdarah Minang.
Sebuah novel fiksi-sejarah. Novel ini, menyinggung persoalan matrilinealisme
dalam tradisi Minang. Dituliskan bahwa, pada awalnya suku Minang merupakan suku
yang patrilineal. Kerajaan Pagaruyung, kerajaan yang berkuasa di daerah
Minangkabau pada masa itu, mendapat ancaman dari kerajaan yang memiliki
keahlian dalam berperang, Majapahit. Pagaruyung sendiri, merupakan kerajaan
besar yang sangat ahli dalam melakukan negosiasi dan diplomasi. Namun, lemah
dalam berperang.
“Informasi
mengenai ancaman dari Majapahit tersebut sampai di Pagaruyung beberapa waktu
sebelum pasukan Majapahit berlabuh di wilayah Minangkabau. Tidak ada waktu bagi
kerajaan Pagaruyung untuk membuat strategi berperang melawan Majapahit. Selain
itu, toh, kerajaan ini memang bukan kerajaan yang identik dengan peperangan.
Berarti, hanya ada satu jalan, yaitu mengadakan musyawarah, mengatur langkah
diplomatif, dan mempersiapkan “sesuatu” untuk dinegosiasikan dengan pihak
Majapahit.
“Itulah
yang dilakukan oleh para petinggi kerajaan kemudian. Pihak kerajaan Pagaruyung
sudah sadar dari awal, bahwa mereka hanya punya sedikit waktu untuk
mempersiapkan rencana perang. Tetapi, tidak pernah ada “sedikit waktu” untuk urusan diplomasi. Setelah semuanya selesai dipikirkan, baik para
petinggi, maupun rakyat biasa, kembali beraktivitas seperti biasanya
seolah-olah tidak pernah ada sebuah kerajaan yang suka berperang yang telah
bersiap-siap untuk bertempur dengan mereka dalam waktu dekat.”
Zul
berhenti sejenak, menatap mataku dan tersenyum. Aku menangkap kesan “bangga”
dari caranya tersenyum. Aku merasa “harga diri”-nya mendesak harga diriku. Dan
aku juga merasa, bahwa, ada kebenaran dari setiap kata-katanya. Kemudian, dia
melanjutkan,
“Akhirnya,
datanglah hari di mana persiapan pendek Kerajaan Pagaruyung harus diuji oleh
musuh besarnya yang datang dari Timur. Majapahit berlabuh di Sumatra Barat,
dengan kekuatan perangnya yang terkenal luar biasa. Namun, tidak pernah terjadi
perang di Minangkabau. Yang ada hanyalah penyambutan meriah untuk kedatangan
Majapahit di wilayah kekuasaan kerajaan Pagaruyung. Sesampainya Majapahit di
istana kerajaan Pagaruyung, rencana perang yang telah mereka persiapkan
dijungkir-balikkan oleh langkah diplomasi yang direncanakan dalam waktu
singkat. Ini mungkin terdengar hebat dan membuat orang-orang Minang bangga
dengan masalalu dan tradisi mereka. Tetapi, bagiku, ini sangat memalukan. Bukan
hanya memalukan, tetapi juga melukai perasaanku sebagai seorang anak yang lahir
dari rahim seorang perempuan. Tahu kau apa yang mereka negosiasikan pada waktu
itu?
“Kenyataan
bahwa mereka, Kerajaan Pagaruyung, sudah pasti kalah jika berperang, membuat
mereka , aku tidak tahu, apakah ini benar atau salah, menjadikan Puteri
kerajaan sebagai hadiah kepada Raja Majapahit. Tindakan seperti inilah yang
mereka musyawarahkan beberapa waktu lalu. Namun, benar saja, alih-alih
memerangi kerajaan Pagaruyung, Majapahit justru sepakat dengan penawaran ini dan
menarik seluruh pasukannya kembali ke Timur beserta seorang Puteri yang telah
dinikahkan dengan sang raja."
“Jadi,
kau merasa terluka karena kerajaan Pagaruyung merendahkan derajat seorang
perempuan dengan menjadikannya hadiah kepada raja Majapahit?” tetapi, ternyata
Zul belum selesai dengan ceritanya.
“Bukan
hanya itu yang melukaiku. Kau tahu, bahwa pada masa lalu yang sangat jauh di
Afrika, mereka percaya bahwa Dewa mereka adalah seorang perempuan? The Great Mother menurut istilah Alice
Walker? Mereka menghormati perempuan sebagai ras dewa. Dan aku setuju dengan konsep
mereka tentang ke-dewa-an perempuan tersebut, karena ini merupakan tanda penghormatan terhadap Ibu. Tetapi, jauh dari Afrika, perempuan menjadi simbol dari
alat negosiasi. Entah dari mana datangnya ide seperti itu, tetapi, satu hal yang
pasti adalah pada waktu itu kerajaan Pagaruyung dikuasai oleh kaum laki-laki.
Dan, dalam situasi genting seperti pada waktu itu, sudah tentu kaum laki-laki yang
menentukan langkah. Lalu, mereka menjadikan seorang Puteri sebagai hadiah agar
Majapahit mau berdamai. Bukan hanya selesai di titik itu, namun terjadi
perubahan fundamental dalam tradisi Minangkabau. Demi kepentingan kekuasaan, dan
aku akui, secara politik, trik ini memang sangat cerdas, kerajaan Pagaruyung
merubah tradisi mereka yang tadinya patrilineal menjadi matrilineal. Jadi,
garis keturunan tidak lagi diturunkan dari sang ayah, melainkan ibu. Bisakah
kau membayangkan apa yang terjadi kemudian?
“Sekembalinya
ke wilayah kekuasaannya, Majapahit memiliki permaisuri baru, putri kandung dari
Raja kerajaan Pagaruyung. Kemudian, dari pernikahan antara Raja Majapahit
dengan Puteri Raja Pagaruyung, lahir seorang anak laki-laki yang kelak menjadi
raja Majapahit menggantikan ayahnya. Namun, jauh sebelum kelahiran anak
laki-laki yang kelak menjadi raja ini, para penguasa kerajaan Pagaruyung telah
mengganti tradisi patrilineal mereka menjadi matrilineal. Jika perubahan
tradisi tersebut tidak pernah terjadi, maka anak tersebut bukanlah orang Minang
menurut adat yang berlaku. Karena, status kesukuan mereka masih diturunkan dari
garis bapak. Tetapi, tradisi telah dirubah. Jadi hal ini sama saja dengan,
menurut perspektif tradisi Minangkabau, anak laki-laki tersebut adalah orang
Minang yang menjadi raja di Majapahit.”
Lagi,
Zul mengalihkan pandangannya cukup lama padaku dan tersenyum. Tetapi, tidak
dengan “kebanggaan”, tetapi kali ini jenaka, menggoda, sekaligus mempertahankan
kesan kebenaran pada ceritanya.
“Kau
tersenyum. Lalu apa yang melukaimu?” tanyaku.
“Sebagai
perempuan, apakah kau tidak bermasalah ketika kau mendapatkan status sebagai,
aku tidak terlalu suka menggunakan istilah ini, tetapi untuk sementara kita
gunakan saja, penguasa, tetapi hanya sebagai hasil dari manipulasi yang dibuat oleh
dan untuk kepentingan kaum laki-laki yang takut menghadapi perang?”
“Tidak,
aku tidak bermasalah. Bagiku itu cukup adil. Mereka, para petinggi kerajaan Pagaruyung
itu, mungkin memang takut untuk berperang melawan Majapahit, tetapi mereka
tidak lari. Apakah tradisi tersebut masih bertahan?”
“Ya,
tentu saja. Kami punya suku, dan suku itu masih diturunkan oleh Ibu kami.” Zul
untuk kesekian kalinya tersenyum, tetapi kali ini dengan sedikit ekspresi
keheranan. Hening. Lalu, untuk pertama kali, aku memulai,
“Kau
tahu, bagaimana Yesus dilahirkan? Ia dilahirkan dari seorang ibu yang tidak
diketahui siapa orang yang menghamilinya? Percayakah kau bahwa seseorang bisa
hamil seperti halnya yang terjadi pada Siti Mariam? Tetapi, bukan itu
masalahnya. Terlepas dari kecurigaanku atas apa yang menimpa Mariam, anak yang
dilahirkan tersebut, Yesus menurut orang Kristen, Isa menurut orang Islam,
mewariskan sesuatu yang masih bertahan hingga sekarang. Juga sebagai sebuah
tradisi. Lalu apa salahnya jika tradisi matrilineal lahir dari negosiasi yang
muncul dari dalam kepala kaum laki-laki yang penuh dengan kepentingan kekuasaan?”
Zul
sekarang menatapku dengan serius, lalu dia bertanya,
“Dari
mana kau mendapat kecurigaan itu?” pertanyaan ini membuatku bingung untuk
beberapa saat, lalu,
“Maksudmu,
kecurigaanku atas apa yang menimpa Mariam?”
“Ya,
tentu saja.” Jawabnya singkat.
“Alice
Walker.” Jawabku lebih singkat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar