Rabu, 28 September 2016

Bisakah Kita Menerima Kenyataan Ini?



Di lantai dua perpustakaan universitas, aku sedang mengerjakan sebuah karangan pendek tentang “perempuan” yang tidak lain adalah tugas untuk mata kuliah Gender dan Modernitas. Di sebelahku, duduk seseorang teman, aku memanggilnya Zul, menutup buku yang sedang dibacanya, mengalihkan pandangan pada tugas yang hampir selesai kukerjakan.
“Apa yang kau kerjakan?” tanya Zul.
“Hanya karangan pendek untuk tugas. Tentang “perempuan”.” Zul tidak mengatakan apa-apa lagi. Tetapi, aku tahu, dia sedang ingin membicarakan sesuatu. Dan aku tidak salah. Ketika aku menutup buku tugasku, Zul menangkap isyarat itu, dan memulai pembicaraan:
“Pernah aku membaca sebuah novel yang ditulis oleh seseorang laki-laki berdarah Minang. Sebuah novel fiksi-sejarah. Novel ini, menyinggung persoalan matrilinealisme dalam tradisi Minang. Dituliskan bahwa, pada awalnya suku Minang merupakan suku yang patrilineal. Kerajaan Pagaruyung, kerajaan yang berkuasa di daerah Minangkabau pada masa itu, mendapat ancaman dari kerajaan yang memiliki keahlian dalam berperang, Majapahit. Pagaruyung sendiri, merupakan kerajaan besar yang sangat ahli dalam melakukan negosiasi dan diplomasi. Namun, lemah dalam berperang.
“Informasi mengenai ancaman dari Majapahit tersebut sampai di Pagaruyung beberapa waktu sebelum pasukan Majapahit berlabuh di wilayah Minangkabau. Tidak ada waktu bagi kerajaan Pagaruyung untuk membuat strategi berperang melawan Majapahit. Selain itu, toh, kerajaan ini memang bukan kerajaan yang identik dengan peperangan. Berarti, hanya ada satu jalan, yaitu mengadakan musyawarah, mengatur langkah diplomatif, dan mempersiapkan “sesuatu” untuk dinegosiasikan dengan pihak Majapahit.
“Itulah yang dilakukan oleh para petinggi kerajaan kemudian. Pihak kerajaan Pagaruyung sudah sadar dari awal, bahwa mereka hanya punya sedikit waktu untuk mempersiapkan rencana perang. Tetapi, tidak pernah ada “sedikit waktu” untuk urusan diplomasi. Setelah semuanya selesai dipikirkan, baik para petinggi, maupun rakyat biasa, kembali beraktivitas seperti biasanya seolah-olah tidak pernah ada sebuah kerajaan yang suka berperang yang telah bersiap-siap untuk bertempur dengan mereka dalam waktu dekat.”
Zul berhenti sejenak, menatap mataku dan tersenyum. Aku menangkap kesan “bangga” dari caranya tersenyum. Aku merasa “harga diri”-nya mendesak harga diriku. Dan aku juga merasa, bahwa, ada kebenaran dari setiap kata-katanya. Kemudian, dia melanjutkan,
“Akhirnya, datanglah hari di mana persiapan pendek Kerajaan Pagaruyung harus diuji oleh musuh besarnya yang datang dari Timur. Majapahit berlabuh di Sumatra Barat, dengan kekuatan perangnya yang terkenal luar biasa. Namun, tidak pernah terjadi perang di Minangkabau. Yang ada hanyalah penyambutan meriah untuk kedatangan Majapahit di wilayah kekuasaan kerajaan Pagaruyung. Sesampainya Majapahit di istana kerajaan Pagaruyung, rencana perang yang telah mereka persiapkan dijungkir-balikkan oleh langkah diplomasi yang direncanakan dalam waktu singkat. Ini mungkin terdengar hebat dan membuat orang-orang Minang bangga dengan masalalu dan tradisi mereka. Tetapi, bagiku, ini sangat memalukan. Bukan hanya memalukan, tetapi juga melukai perasaanku sebagai seorang anak yang lahir dari rahim seorang perempuan. Tahu kau apa yang mereka negosiasikan pada waktu itu?
“Kenyataan bahwa mereka, Kerajaan Pagaruyung, sudah pasti kalah jika berperang, membuat mereka , aku tidak tahu, apakah ini benar atau salah, menjadikan Puteri kerajaan sebagai hadiah kepada Raja Majapahit. Tindakan seperti inilah yang mereka musyawarahkan beberapa waktu lalu. Namun, benar saja, alih-alih memerangi kerajaan Pagaruyung, Majapahit justru sepakat dengan penawaran ini dan menarik seluruh pasukannya kembali ke Timur beserta seorang Puteri yang telah dinikahkan dengan sang raja."
“Jadi, kau merasa terluka karena kerajaan Pagaruyung merendahkan derajat seorang perempuan dengan menjadikannya hadiah kepada raja Majapahit?” tetapi, ternyata Zul belum selesai dengan ceritanya.
“Bukan hanya itu yang melukaiku. Kau tahu, bahwa pada masa lalu yang sangat jauh di Afrika, mereka percaya bahwa Dewa mereka adalah seorang perempuan? The Great Mother menurut istilah Alice Walker? Mereka menghormati perempuan sebagai ras dewa. Dan aku setuju dengan konsep mereka tentang ke-dewa-an perempuan tersebut, karena ini merupakan tanda penghormatan terhadap Ibu. Tetapi, jauh dari Afrika, perempuan menjadi simbol dari alat negosiasi. Entah dari mana datangnya ide seperti itu, tetapi, satu hal yang pasti adalah pada waktu itu kerajaan Pagaruyung dikuasai oleh kaum laki-laki. Dan, dalam situasi genting seperti pada waktu itu, sudah tentu kaum laki-laki yang menentukan langkah. Lalu, mereka menjadikan seorang Puteri sebagai hadiah agar Majapahit mau berdamai. Bukan hanya selesai di titik itu, namun terjadi perubahan fundamental dalam tradisi Minangkabau. Demi kepentingan kekuasaan, dan aku akui, secara politik, trik ini memang sangat cerdas, kerajaan Pagaruyung merubah tradisi mereka yang tadinya patrilineal menjadi matrilineal. Jadi, garis keturunan tidak lagi diturunkan dari sang ayah, melainkan ibu. Bisakah kau membayangkan apa yang terjadi kemudian?
“Sekembalinya ke wilayah kekuasaannya, Majapahit memiliki permaisuri baru, putri kandung dari Raja kerajaan Pagaruyung. Kemudian, dari pernikahan antara Raja Majapahit dengan Puteri Raja Pagaruyung, lahir seorang anak laki-laki yang kelak menjadi raja Majapahit menggantikan ayahnya. Namun, jauh sebelum kelahiran anak laki-laki yang kelak menjadi raja ini, para penguasa kerajaan Pagaruyung telah mengganti tradisi patrilineal mereka menjadi matrilineal. Jika perubahan tradisi tersebut tidak pernah terjadi, maka anak tersebut bukanlah orang Minang menurut adat yang berlaku. Karena, status kesukuan mereka masih diturunkan dari garis bapak. Tetapi, tradisi telah dirubah. Jadi hal ini sama saja dengan, menurut perspektif tradisi Minangkabau, anak laki-laki tersebut adalah orang Minang yang menjadi raja di Majapahit.”
Lagi, Zul mengalihkan pandangannya cukup lama padaku dan tersenyum. Tetapi, tidak dengan “kebanggaan”, tetapi kali ini jenaka, menggoda, sekaligus mempertahankan kesan kebenaran pada ceritanya.
“Kau tersenyum. Lalu apa yang melukaimu?” tanyaku.
“Sebagai perempuan, apakah kau tidak bermasalah ketika kau mendapatkan status sebagai, aku tidak terlalu suka menggunakan istilah ini, tetapi untuk sementara kita gunakan saja, penguasa, tetapi hanya sebagai hasil dari manipulasi yang dibuat oleh dan untuk kepentingan kaum laki-laki yang takut menghadapi perang?”
“Tidak, aku tidak bermasalah. Bagiku itu cukup adil. Mereka, para petinggi kerajaan Pagaruyung itu, mungkin memang takut untuk berperang melawan Majapahit, tetapi mereka tidak lari. Apakah tradisi tersebut masih bertahan?”
“Ya, tentu saja. Kami punya suku, dan suku itu masih diturunkan oleh Ibu kami.” Zul untuk kesekian kalinya tersenyum, tetapi kali ini dengan sedikit ekspresi keheranan. Hening. Lalu, untuk pertama kali, aku memulai,
“Kau tahu, bagaimana Yesus dilahirkan? Ia dilahirkan dari seorang ibu yang tidak diketahui siapa orang yang menghamilinya? Percayakah kau bahwa seseorang bisa hamil seperti halnya yang terjadi pada Siti Mariam? Tetapi, bukan itu masalahnya. Terlepas dari kecurigaanku atas apa yang menimpa Mariam, anak yang dilahirkan tersebut, Yesus menurut orang Kristen, Isa menurut orang Islam, mewariskan sesuatu yang masih bertahan hingga sekarang. Juga sebagai sebuah tradisi. Lalu apa salahnya jika tradisi matrilineal lahir dari negosiasi yang muncul dari dalam kepala kaum laki-laki yang penuh dengan kepentingan kekuasaan?”
Zul sekarang menatapku dengan serius, lalu dia bertanya,
“Dari mana kau mendapat kecurigaan itu?” pertanyaan ini membuatku bingung untuk beberapa saat, lalu,
“Maksudmu, kecurigaanku atas apa yang menimpa Mariam?”
“Ya, tentu saja.” Jawabnya singkat.
“Alice Walker.” Jawabku lebih singkat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar