Selasa, 18 Oktober 2016

Puran

“ “Hujan turun. Semua orang terjebak. Aku terjebak. Seharusnya aku tidak keluar dari rumah. Tetapi, hujan sudah terlanjur turun dan aku terjebak di tengah kerumunan. Menakutkan. Sama halnya dengan mengatakan kenyataan, memberi pengertian yang sebenarnya kepada orang lain, atau seseorang. Sangat menakutkan. Sementara hujan masih begitu deras, aku terjebak di tengah kerumunan dan harus menghadapi kenyataan bahwa seseorang yang aku cintai (aku tertawa di saat menuliskan kata “cintai” ini. Entah kenapa) juga terkepung hujan.
“ “Sebenarnya aku tidak tahu pasti, apakah aku benar-benar jatuh cinta atau hanya mengalami kegilaan terobsesi dengan harapan yang muncul beberapa tahun lalu. Jika ini hanya sebuah obsesi, maka sebut saja aku seseorang yang gila. Dan jangan pernah hiraukan apa yang aku pikir dan lakukan. Akan lebih baik lagi jika kau bisa membedakan keduanya: obsesi, (gila), dan cinta. Namun, jika hujan turun begitu deras, ke mana kita harus pergi? Di situasi seperti itu, kau tidak bisa menghiraukan aku. Bukan karena aku sedang terobsesi atau jatuh cinta, tetapi karena kesopanan”.”, Puran menatap Zul yang sedang menutup buku catatannya. Dia baru saja mendengarkan kisah yang Zul tulis beberapa waktu lalu. Zul dan Puran adalah teman lama. Mereka adalah teman satu tim di sebuah sekolah sepakbola di saat masih duduk di bangku sekolah dasar. Ketika mereka satu kelas pada saat duduk di kelas tiga SMP, mereka berhasil menjuarai turnamen sekolah.
“Orang-orang akan menertawakanmu. Itukah yang kau alami beberapa waktu lalu?” tanya Puran.
“Aku juga berpikir seperti itu. Orang-orang menertawakanku. Dan itu membuat perutku mual. Ya, itulah yang kualami. Hujan turun, aku terjebak, gadis itu terjebak, orang-orang terjebak, dan aku tidak tahu harus membicarakan apa. Meskipun aku terus berbicara dengannya.”
“Jika memang seperti itu kenyataannya. . .”
“Aku semakin mual.” Potong Zul.
“Apa kau baik-baik saja?” tanya Puran.
“Tidak. Aku tidak baik-baik saja. Bagaimana jika dia tahu?”
“Dia? Dia siapa? Oh, dia. Apa yang dia tahu?”
“Maksudku, bagaimana jika dia merasa terganggu?”
“Terganggu? Ini hanya tulisan. Kau bisa membuatnya menjadi sebuah fiksi, dia tidak berhak merasa terganggu karena itu. Menurutku, kau boleh sedikit membencinya apabila dia merasa terganggu.”
“Tulisan ini barulah sebuah rencana. Akan kupublikasikan nanti. Hanya saja, sebisa mungkin jangan sampai ada yang merasa terganggu karenanya.”
“Kau sudah menceritakan tulisan ini padaku. Menurutku, tidak ada yang mengganggu.”
“Bagaimana kau tahu bahwa dia tidak berhak merasa terganggu?”
“Zul, kukatakan padamu, jika gadis itu merasa jijik padamu, barulah dia akan merasa terganggu.”
“Oh, ya? Lalu, apa yang sebaiknya kulakukan jika dia benar-benar seperti yang kau katakan?”
“Tinggalkan dia. Tetapi jangan tinggalkan ceritamu. Hidup ini terlalu singkat, kau tidak akan punya waktu untuk menyesal karena menyia-nyiakan sesuatu yang membuatmu hidup seperti sekarang ini. Sekali-kali, kau harus lari. Jika ini adalah penjara bagimu, maka lari. Dan jangan lupa untuk mengikatkan naskahmu di kaki jika kau ingin lari seperti Andy Dufrene.”
Aku selalu menjadi pendengar di saat-saat seperti ini. Memikirkan sesuatu untuk dikatakan membuat perutku semakin mual. "Kau tahu, saat aku masih SD, aku akan muntah jika merasa terlalu takut.”
“Oh, ya? Apa yang terjadi pada saat itu?”
“Aku masih kelas enam, hari sudah malam, dan semua toko di pasar sudah tutup. Besok, akan ada praktek di kelas pengetahuan alam dan salah satu peralatan yang dibutuhkan adalah spiritus. Jam pertama. Kau tahu, aku lupa membeli spiritus. Dan hukuman yang aku bayangkan bakal kuterima jika aku tidak membawa barang itu sangat membuatku takut pada saat itu. Lalu, kukatakan pada ibuku, bahwa aku harus membawa spiritus untuk besok, tetapi hari sudah terlalu malam untuk pergi membeli barang tersebut.
“Kemudian, aku mulai menangis karena ketakutan. Ibuku, kedua saudaraku, tanteku, nenekku, ayahku, tidak satupun dari mereka yang bisa membuatku tenang. Ibuku berjanji akan membelinya besok pagi dan menghantarkan spiritus sialan itu ke sekolah. Tetapi, aku tidak melihat dan memahami apa yang dilihat dan dipahami oleh ibuku dan siapapun di ruangan itu. Aku terus menangis ketakukan sambil berbaring di atas sofa. Aku panik. Semua orang melihat bahwa masih ada kesempatan untukku, tetapi aku tidak. Tangisanku semakin menjadi-jadi dan ‘weekkk!’, lantai di bawah kepalaku berserakan dengan muntahan. Kemudian, aku lupa apa yang terjadi selanjutnya. Sepertinya aku langsung tertidur. Atau pingsan? Aku tidak ingat.”
“Lalu, bagaimana dengan spiritusnya? Apa kau mendapatkannya?”
“Aku tidak ingat. Bahkan aku tidak ingat apa yang terjadi di sekolah keesokan harinya. Dan aku tidak pernah ingin mengingatnya. Aku merasa pengalaman itu merubah cara pandangku terhadap hidup. Aku tidak mengerti, mengapa aku begitu takut, mengapa aku muntah, tetapi, itulah yang terjadi. Dan semua orang di keluargaku masih mengingat kejadian itu hingga sekarang. Sebelas tahun kemudian, keponakan pertamaku, seorang laki-laki yang baru dua tahun, juga memuntahkan isi perutnya jika terlalu lama menangis. Ketika aku melihat keponakanku seperti itu, aku sedikit terganggu dengan pikiran bahwa dia akan menjadi seperti diriku di saat dewasa. Di saat keponakanku menangis dan muntah, ibuku mengatakan padaku, “dia (keponakanku) seperti kamu”.
“Dan aku menyadari, bahwa antara aku dan keponakanku tersebut memang memiliki beberapa kemiripan. Kami sangat dekat, dan kupikir, itu adalah sebuah keserasian.”
“Lalu, akan ada kesamaan antara kau dan keponakanmu. Termasuk dalam caranya menghadapi perempuan. Bukankah itu yang sedang kau bicarakan sebenarnya?”
“Aku pikir begitu. Meskipun aku tidak menginginkannya mengalami hal itu. Tapi, jika teori ini valid, suatu saat keponakanku akan mengenal seorang perempuan yang membuatnya jatuh cinta atau terobsesi, kemudian merasakan apa yang aku rasakan pada saat ini. Tetapi, aku tidak khawatir, sebab, keponakanku adalah tipikal anak yang sangat aktif. Itu menandakan kecerdasan. Dia sudah berlari seperti anak  berusia lima tahun, tidak menangis jika terjatuh, dan, ini yang paling kusuka, dia akan memintaku membacakan sesuatu untuknya jika menemukanku di kamar sedang membaca buku.”
“Oh, ya? Apa yang kau bacakan untuknya?”
“Tentang Daendles. Jalan Raya Pos. Keponakanku akan duduk termangu mendengarkanku membacakan cerita. Ketika aku berhenti untuk jeda, aku menatapnya, dan wajahnya begitu serius. Aku ingin menciumnya pada saat seperti itu. Dia begitu lucu. Tetapi, aku akan kembali pada cerita. Hari berikutnya, dia akan mengatakan, “Om, nyanyi orang jahat” setiap kali dia ingin aku membacakan kisah tentang Daendles. Kenapa dia mengucapkan kata “nyanyi” untuk mengatakan “cerita”, aku tidak tahu.”
“Apa yang kau harapkan dari keponakanmu itu?”
“Aku tidak tahu.”
“Lalu, apa yang kau harapkan dari dirimu?” pertanyaan Puran digantikan dengan sunyi. Zul nyaris saja mengatakan “aku tidak tahu”, tetapi dia berhasil menahan diri. Kemudian Puran memperjelas pertanyaannya,
“Kau tahu apa yang kau hadapi. Entah itu obsesi atau cinta. Lalu, apa yang kau harapkan dari dirimu untuk kau lakukan?”

“Entahlah. Aku mual.” Jawab Zul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar