“
“Hujan turun. Semua orang terjebak. Aku terjebak. Seharusnya aku tidak keluar
dari rumah. Tetapi, hujan sudah terlanjur turun dan aku terjebak di tengah
kerumunan. Menakutkan. Sama halnya dengan mengatakan kenyataan, memberi
pengertian yang sebenarnya kepada orang lain, atau seseorang. Sangat
menakutkan. Sementara hujan masih begitu deras, aku terjebak di tengah
kerumunan dan harus menghadapi kenyataan bahwa seseorang yang aku cintai (aku
tertawa di saat menuliskan kata “cintai” ini. Entah kenapa) juga terkepung
hujan.
“
“Sebenarnya aku tidak tahu pasti, apakah aku benar-benar jatuh cinta atau hanya
mengalami kegilaan terobsesi dengan harapan yang muncul beberapa tahun lalu.
Jika ini hanya sebuah obsesi, maka sebut saja aku seseorang yang gila. Dan
jangan pernah hiraukan apa yang aku pikir dan lakukan. Akan lebih baik lagi
jika kau bisa membedakan keduanya: obsesi, (gila), dan cinta. Namun, jika hujan
turun begitu deras, ke mana kita harus pergi? Di situasi seperti itu, kau tidak
bisa menghiraukan aku. Bukan karena aku sedang terobsesi atau jatuh cinta,
tetapi karena kesopanan”.”, Puran menatap Zul yang sedang menutup buku
catatannya. Dia baru saja mendengarkan kisah yang Zul tulis beberapa waktu lalu.
Zul dan Puran adalah teman lama. Mereka adalah teman satu tim di sebuah sekolah
sepakbola di saat masih duduk di bangku sekolah dasar. Ketika mereka satu kelas
pada saat duduk di kelas tiga SMP, mereka berhasil menjuarai turnamen sekolah.
“Orang-orang
akan menertawakanmu. Itukah yang kau alami beberapa waktu lalu?” tanya Puran.
“Aku
juga berpikir seperti itu. Orang-orang menertawakanku. Dan itu membuat perutku
mual. Ya, itulah yang kualami. Hujan turun, aku terjebak, gadis itu terjebak,
orang-orang terjebak, dan aku tidak tahu harus membicarakan apa. Meskipun aku
terus berbicara dengannya.”
“Jika
memang seperti itu kenyataannya. . .”
“Aku
semakin mual.” Potong Zul.
“Apa
kau baik-baik saja?” tanya Puran.
“Tidak.
Aku tidak baik-baik saja. Bagaimana jika dia tahu?”
“Dia?
Dia siapa? Oh, dia. Apa yang dia tahu?”
“Maksudku,
bagaimana jika dia merasa terganggu?”
“Terganggu?
Ini hanya tulisan. Kau bisa membuatnya menjadi sebuah fiksi, dia tidak berhak
merasa terganggu karena itu. Menurutku, kau boleh sedikit membencinya apabila
dia merasa terganggu.”
“Tulisan
ini barulah sebuah rencana. Akan kupublikasikan nanti. Hanya saja, sebisa
mungkin jangan sampai ada yang merasa terganggu karenanya.”
“Kau
sudah menceritakan tulisan ini padaku. Menurutku, tidak ada yang mengganggu.”
“Bagaimana
kau tahu bahwa dia tidak berhak merasa terganggu?”
“Zul,
kukatakan padamu, jika gadis itu merasa jijik padamu, barulah dia akan merasa
terganggu.”
“Oh,
ya? Lalu, apa yang sebaiknya kulakukan jika dia benar-benar seperti yang kau
katakan?”
“Tinggalkan
dia. Tetapi jangan tinggalkan ceritamu. Hidup ini terlalu singkat, kau tidak
akan punya waktu untuk menyesal karena menyia-nyiakan sesuatu yang membuatmu
hidup seperti sekarang ini. Sekali-kali, kau harus lari. Jika ini adalah
penjara bagimu, maka lari. Dan jangan lupa untuk mengikatkan naskahmu di kaki
jika kau ingin lari seperti Andy Dufrene.”
Aku
selalu menjadi pendengar di saat-saat seperti ini. Memikirkan sesuatu untuk
dikatakan membuat perutku semakin mual. "Kau tahu, saat aku masih SD, aku akan
muntah jika merasa terlalu takut.”
“Oh,
ya? Apa yang terjadi pada saat itu?”
“Aku
masih kelas enam, hari sudah malam, dan semua toko di pasar sudah tutup. Besok,
akan ada praktek di kelas pengetahuan alam dan salah satu peralatan yang
dibutuhkan adalah spiritus. Jam pertama. Kau tahu, aku lupa membeli spiritus.
Dan hukuman yang aku bayangkan bakal kuterima jika aku tidak membawa barang itu
sangat membuatku takut pada saat itu. Lalu, kukatakan pada ibuku, bahwa aku
harus membawa spiritus untuk besok, tetapi hari sudah terlalu malam untuk pergi
membeli barang tersebut.
“Kemudian,
aku mulai menangis karena ketakutan. Ibuku, kedua saudaraku, tanteku, nenekku,
ayahku, tidak satupun dari mereka yang bisa membuatku tenang. Ibuku berjanji
akan membelinya besok pagi dan menghantarkan spiritus sialan itu ke sekolah.
Tetapi, aku tidak melihat dan memahami apa yang dilihat dan dipahami oleh ibuku
dan siapapun di ruangan itu. Aku terus menangis ketakukan sambil berbaring di
atas sofa. Aku panik. Semua orang melihat bahwa masih ada kesempatan untukku,
tetapi aku tidak. Tangisanku semakin menjadi-jadi dan ‘weekkk!’, lantai di
bawah kepalaku berserakan dengan muntahan. Kemudian, aku lupa apa yang terjadi
selanjutnya. Sepertinya aku langsung tertidur. Atau pingsan? Aku tidak ingat.”
“Lalu,
bagaimana dengan spiritusnya? Apa kau mendapatkannya?”
“Aku
tidak ingat. Bahkan aku tidak ingat apa yang terjadi di sekolah keesokan
harinya. Dan aku tidak pernah ingin mengingatnya. Aku merasa pengalaman itu
merubah cara pandangku terhadap hidup. Aku tidak mengerti, mengapa aku begitu
takut, mengapa aku muntah, tetapi, itulah yang terjadi. Dan semua orang di
keluargaku masih mengingat kejadian itu hingga sekarang. Sebelas tahun
kemudian, keponakan pertamaku, seorang laki-laki yang baru dua tahun, juga
memuntahkan isi perutnya jika terlalu lama menangis. Ketika aku melihat keponakanku
seperti itu, aku sedikit terganggu dengan pikiran bahwa dia akan menjadi
seperti diriku di saat dewasa. Di saat keponakanku menangis dan muntah, ibuku
mengatakan padaku, “dia (keponakanku) seperti kamu”.
“Dan
aku menyadari, bahwa antara aku dan keponakanku tersebut memang memiliki
beberapa kemiripan. Kami sangat dekat, dan kupikir, itu adalah sebuah
keserasian.”
“Lalu,
akan ada kesamaan antara kau dan keponakanmu. Termasuk dalam caranya menghadapi
perempuan. Bukankah itu yang sedang kau bicarakan sebenarnya?”
“Aku
pikir begitu. Meskipun aku tidak menginginkannya mengalami hal itu. Tapi, jika
teori ini valid, suatu saat keponakanku akan mengenal seorang perempuan yang
membuatnya jatuh cinta atau terobsesi, kemudian merasakan apa yang aku rasakan pada
saat ini. Tetapi, aku tidak khawatir, sebab, keponakanku adalah tipikal anak
yang sangat aktif. Itu menandakan kecerdasan. Dia sudah berlari seperti
anak berusia lima tahun, tidak menangis
jika terjatuh, dan, ini yang paling kusuka, dia akan memintaku membacakan
sesuatu untuknya jika menemukanku di kamar sedang membaca buku.”
“Oh,
ya? Apa yang kau bacakan untuknya?”
“Tentang
Daendles. Jalan Raya Pos. Keponakanku
akan duduk termangu mendengarkanku membacakan cerita. Ketika aku berhenti untuk
jeda, aku menatapnya, dan wajahnya begitu serius. Aku ingin menciumnya pada
saat seperti itu. Dia begitu lucu. Tetapi, aku akan kembali pada cerita. Hari
berikutnya, dia akan mengatakan, “Om, nyanyi orang jahat” setiap kali dia ingin
aku membacakan kisah tentang Daendles. Kenapa dia mengucapkan kata “nyanyi”
untuk mengatakan “cerita”, aku tidak tahu.”
“Apa
yang kau harapkan dari keponakanmu itu?”
“Aku
tidak tahu.”
“Lalu,
apa yang kau harapkan dari dirimu?” pertanyaan Puran digantikan dengan sunyi.
Zul nyaris saja mengatakan “aku tidak tahu”, tetapi dia berhasil menahan diri.
Kemudian Puran memperjelas pertanyaannya,
“Kau
tahu apa yang kau hadapi. Entah itu obsesi atau cinta. Lalu, apa yang kau
harapkan dari dirimu untuk kau lakukan?”
“Entahlah.
Aku mual.” Jawab Zul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar