Selasa, 04 Oktober 2016

Walpaper Fiksi



“Yang terjadi adalah diriku tidak mampu menghentikan kehidupan yang bekerja di dalam otakku untuk berpikir. Aku merasa tidak mampu beristirahat. Beristirahat membuatku merasa bersalah karena mengabaikan pikiranku yang terus bekerja dan membuat apa yang mereka kerjakan menjadi sia-sia. Aku merasa berdosa jika membiarkan itu terjadi – beristirahat sementara itu pikiranku belum ingin beristirahat. Kadang aku berpikir, bahwa pikiran adalah Alam Semesta. Mereka tidak pernah berhenti bekerja. Bahkan, di saat tidur pun pikiran tetap bekerja. Mereka tidak pernah berhenti. Kecuali, mungkin, jika kita sudah mati.”

Dari dalam gerbong kereta, Zul, mengarahkan pandangannya ke luar jendela. Beberapa tahun setelah perjalanan itu, dia mengatakan padaku bahwa dirinya tidak dapat mengingat dengan baik apa yang ditatapnya saat itu, karena bukan pemandangan di luar yang sebenarnya ia lihat, melainkan masalalu.
Masalalu: cinta pertama yang dia rasakan pada saat masih duduk di bangku kelas 1 SMP. Masalalu: masa orientasi siswa di bangku SMA. Masalalu: pramuka. Masalalu: satu bulan mengalami gangguan tidur.
Setelah perasaannya tentang masalalu itu menguap, yang tersisa kemudian hanyalah ingatan. Menurutnya, ingatan tanpa perasaan sama seperti sebotol Johnson’s baby cologne yang dibiarkan terbuka selama berminggu-minggu sehingga keharuman di dalamnya menguap dan kehilangan “kekuatannya”. Kita masih bisa melihatnya, menuangkannya, bahkan mengoleskannya di seluruh bagian dari tubuh kita. Tetapi, kita tidak bisa lagi menikmati baunya, esensi darinya.
Kereta terus melaju meninggalkan apa saja yang dilewatinya.
Setelah sepuluh jam menempuh perjalanan, kereta yang ditumpangi Zul akhirnya sampai di stasiun tujuan. Sebuah stasiun dengan arsitektur kolonial. Hanya itu kesan yang muncul dari Zul mengenai stasiun itu. Beberapa tahun kemudian, ia bahkan tidak berkenan untuk mengingat langkah-langkah pertamanya di stasiun tersebut yang juga merupakan langkah-langkah pertamanya di kota tempat stasiun itu berada. Dia tidak lupa, dia hanya tidak ingin mengingatnya.
Hal yang berkenan untuk diingatnya tentang saat itu hanyalah langkah-langkah pertamanya setelah keluar dari bangunan stasiun di mana saudaranya berdiri menunggu hanya beberapa meter dari pintu keluar-masuk stasiun. Kemudian, sekilas pemandangan Malioboro, lukisan mural Chairil Anwar, ayam geprek di mana mereka berhenti untuk makan malam, dan hanya itu. Bahkan dia tidak mengingat bagaimana dia dan saudaranya sampai di rumah kost yang mulai saat itu menjadi tempat tinggalnya hingga tiga bulan ke depan.
Zul menganggap masa itu sebagai masa di mana imajinasi berhenti, hasrat yang sesekali datang adalah palsu dan lemah, dan menimbulkan kesan ‘membosankan’ di dalam dirinya setiap kali ia mencoba untuk mengingat.
Aku mengetahui hal itu – yang menurutku telah membawanya ke kota di mana kami sekarang berkuliah – pada saat Zul menceritakannya padaku di suatu siang di lantai dua perpustakaan universitas.
“Aku tidak membaca sepatah kata-pun dari fiksi ini dalam setengah jam terakhir.” Itulah kata-kata pertama yang keluar dari mulut Zul setelah ia bercerita tentang masalalunya. Ia melanjutkan, “Aku juga tidak tahu bagaimana ingatan itu bisa muncul.”
Aku tidak sering menoleh ke arah Zul meskipun sudah dua jam kami berada di bilik yang bersebelahan. Tetapi, aku bisa memastikan bahwa, selama “setengah jam terakhir”, Zul sama sekali tidak menggerakkan kepalanya, dan tidak mengubah arah pandangnya dari fiksi di hadapannya.
“Apa ada hal yang sedang mengganggumu?” aku memancing Zul untuk mulai bercerita karena aku juga sudah tidak lagi dapat berkonsentrasi pada bacaanku.
“Apa kau sering membaca?” Tanya Zul.
“Ya.” Ketika aku ingin menambahkan sesuatu, Zul mendahului,
“Apakah kau suka menulis?”
“Ya.” Kali ini, aku menahan diri dan menunggu apakah Zul akan mengatakan sesuatu. Kemudian setelah diam selama beberapa saat, akhirnya aku yakin bahwa aku bisa memulai pembicaraan.
“Apakah kau juga menyukainya? Membaca dan menulis?”
“Ya.” Zul menjawab sembari memberi anggukan ke arahku. Lalu menegakkan duduknya dengan gerakan cepat, mengarahkan badannya ke arahku, kemudian,
“Aku sudah duduk di sini dan mulai membaca sejak dua jam yang lalu. Seperti biasa, aku mambaca dengan semangat. Kemudian, di akhir sebuah bab, aku seperti menemukan sesuatu yang berharga. Sesuatu yang memberikanku sebuah kebenaran, dan aku tidak ingin membantahnya. Pendeknya, aku setuju dengan kebenaran tersebut karena aku merasa ada kebaikan di dalamnya. Bahkan, aku mengagumi apa yang baru saja kutemukan.
“Seperti biasa, hal itu memicu semangat untuk menulis meledak dalam diriku. Namun, ada sebuah gangguan.” Zul berhenti beberapa saat, semangat di wajahnya memudar. Sepertinya gangguan tersebut benar-benar membuatnya tidak nyaman.
“Aku mensyukuri ledakan semangat yang terjadi, tetapi gangguan itu benar-benar membuatku takut. Kau tahu apa yang sedang aku baca beberapa hari ini?”
“Alice Walker?” tanyaku.
“Ya. Nama itulah yang sekarang membuatku takut. Takut jika, kepribadianku hilang dan tulisanku hanya menjadi “milik” Alice Walker. Apa yang harus kulakukan?”
“Aku tidak tahu apa yang sebaiknya kau lakukan terkait dengan rasa takut mu itu. Tetapi, aku cukup yakin untuk mengatakan, jangan berhenti membaca. Dan, setelah kau menyelesaikannya, jangan takut untuk membacanya kembali. Meskipun aku lebih suka membaca buku lain setiap kali aku menyelesaikan satu buku.”
“Apakah itu bisa dijadikan kebenaran?”
“Jika apa yang ditulis oleh Alice Walker bisa kau anggap sebagai kebenaran, kenapa tidak dengan ucapanku? Ada banyak kebenaran di dunia ini. Banyak sekali. Jika satu kebenaran datang, maka kebenaran lain akan datang, kemudian yang lainnya juga akan datang, begitu seterusnya. Hahaha! Kau dipenjarai oleh kebenaranmu sendiri. Aku juga sudah membaca buku yang kau baca. Apakah kau sepakat jika buku Alice Walker yang sedang kau baca berbicara tentang perjuangan melawan penindasan? Aku harap kau sepakat. Dan harus sepakat.”
“Tetapi, mengapa aku justru merasa ditindas? Oleh pikiran bahwa akan ada orang-orang yang berpendapat bahwa tulisanku seperti Alice Walker? Kemudian, aku menganggap bahwa rasa takut akibat gangguan yang menindas tersebut sebagai pengalaman estetis, lalu aku merasa bahwa pengalaman tersebut penting untuk kutuliskan, dan lalu,” Zul tiba-tiba berhenti berbicara. Kemudian memulainya lagi beberapa detik kemudian,
“Apakah orang-orang akan membenciku setelah aku mengungkapkan pengalaman estetis tersebut ke dalam tulisan? “ dia berpikir sejenak, lalu, “Atticus Finch!” Zul mengucapkan kata ‘Atticus Finch’ dengan setengah berteriak dan itu cukup untuk membuat kursinya bergeser dan mengeluarkan suara yang lumayan keras. Aku melihat sekitar, beberapa orang melihat ke arah kami, beberapa orang tidak. Zul menyadari suara yang diakibatkan oleh tindakannya, tersenyum, dan melanjutkan kata-katanya,
“Aku membayangkan diriku akan seperti Atticus Finch ketika dirinya diludahi di pinggir jalan oleh seseorang yang membencinya setelah melakukan sesuatu yang menurutnya benar.”
“Kau bahkan belum menghadapi situasi seperti itu. Kau baru menghadapi bayangan tentang situasi itu.”
“Apakah itu berarti hal yang kita bicarakan ini hanya omong kosong?”
“Jika kau tidak pernah belajar, maka ya, apa yang kita bicarakan hanya omong kosong. Kenapa kau bisa berpikir seperti itu? Kau mau meremehkan dirimu sendiri?”
“Aku hanya sedang terbakar, kurasa.”
“Bukan hanya kau yang sedang terbakar. Aku pun juga tengah mengalaminya. Mungkin juga beberapa orang di dunia ini sedang mengalaminya. Akan kuberitahu kau sebuah kebenaran. Dengarkan baik-baik. Ini adalah titik penting. Aku percaya dengan apa yang aku bicarakan. Begitu juga dengan apa yang kau bicarakan. Sementara itu, jika kau tidak bisa percaya dengan dirimu sendiri, jika kau meremehkan dirimu sendiri, kau akan terhenti di titik ini. Itulah kenapa aku mengatakan bahwa sekarang ini merupakan titik penting. Untuk dapat melampauinya, kau bisa saja kedinginan, berkali-kali mengalami kegagalan, kehabisan akal, dan tidak mendapatkan apa yang kau inginkan pada akhirnya. Lalu kau akan pulang ke rumah, menceritakan kegagalanmu kepada seorang teman, sebelum kemudian giliran temanmu yang melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang kalian inginkan.
“Jika pun pada akhirnya tidak seorang pun dari kalian yang berhasil, itu tidak masalah. Sebab, kalian sudah melakukan segala sesuatu yang bisa kalian pikirkan. Hidup ini hanya soal menunggu giliran. Itulah kebenarannya. Lalu, kenapa Alice Walker begitu mengganggumu?”
“Aku rasa kau benar, aku dipenjara oleh kebenaran-kebenaran. Sekarang aku berpikir, tanpa rasa takut, hanya berpikir. Begini, beberapa waktu lalu kau mengatakan bahwa aku dipenjarai oleh kebenaran. Saat ini, setelah penjelasanmu, aku merasa jauh lebih baik. Aku tidak lagi bermasalah dengan tokoh-tokoh, kemudian, yang terjadi adalah diriku tidak mampu menghentikan kehidupan yang bekerja di dalam otakku untuk berpikir. Aku merasa tidak mampu beristirahat. Beristirahat membuatku merasa bersalah karena mengabaikan pikiranku yang terus bekerja dan membuat apa yang mereka kerjakan menjadi sia-sia. Aku merasa berdosa jika membiarkan itu terjadi – beristirahat sementara itu pikiranku belum ingin beristirahat. Kadang aku berpikir, bahwa pikiran seperti hal nya Alam Semesta. Mereka tidak pernah berhenti bekerja. Bahkan, di saat tidur pun pikiran tetap bekerja. Mereka tidak pernah berhenti. Kecuali, mungkin, jika kita sudah mati.”
“Kau akan merasa lelah. Dan di saat seperti itu, kau bisa beristirahat. Aku rasa aku cukup lelah setelah pembicaraan kita kali ini. Dan aku akan pulang ke rumah lalu tidur dan membiarkan pikiranku meneruskan pekerjaannya.” Aku benar-benar lelah. Setelah membereskan perlengkapanku aku segera bergerak meninggalkan Zul. Baru beberapa langkah aku berjalan, Zul memanggil,
“Hey, kau melupakan handphone-mu.”
“Oh, my God! Terima kasih banyak, Zul.” Zul menyerahkan handphone-ku. Aku melihat layarnya menyala dan melihat Zul.
“Lelaki ini, dia kekasihmu?” Yang dimaksudkannya adalah seorang lelaki di walpaper handphone-ku. Lalu, kumasukkan handphone-ku ke dalam kantong celana, dan pergi tanpa menjawab pertanyaannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar