AKU
Menurutku,
dia pergi karena tidak yakin dengan apa yang akan dikatakannya. Pernah suatu
hari dia berkata bahwa aku mengurungnya dengan kebenaran-kebenaran yang
kupaksakan padanya. Kapan aku pernah melakukan hal semacam itu? Aku
menanggapinya dengan mengatakan bahwa aku tidak bermaksud seperti itu,
sebaliknya, aku justru ingin membebaskannya. Entah dari apa. Upayaku untuk
membuka pintu-pintu yang masih tertutup dianggapnya sebagai dinding pembatas.
Di
malam harinya, kami makan di sebuah restoran kecil di dekat sungai yang
mengalir dari barat kota menuju selatan, sebuah desa kecil yang terkenal dengan
perkebunan kopinya.
"Bagaimana
fiksimu?" Ia menyalakan sebatang rokok. Wajahnya lesu.
"Aku
tidak tahu, aku masih sangat malas memikirkan pakaian apa yang digunakan oleh
karakter-karakterku. Aku tahu itu penting, tapi aku tidak dapat menikmati hidup
jika aku melakukannya. Hal-hal semacam itu membuatku merasa terkurung."
"Lalu,
apa yang kau lakukan?" Kali ini, dia terlihat agak bersemangat. Secercah
cahaya muncul di wajahnya.
"Aku
mencoba untuk keluar, terus menerus, hingga akhirnya secara perlahan aku dapat
melihatnya sebagai tantangan. Kecuali, aku memang orang yang pantas untuk
dikurung. Apakah menurutmu aku pantas?"
"Kau
yang mengurungku." Kali ini dengan nada bercanda.
"Aku
bahkan tidak bisa menjelaskan apakah penjara adalah tempat yang baik atau
buruk. Maksudku, bukan karena kita melanggar aturan, lalu kita dipenjara, dan
kita menyadari kesalahan yang sudah kita lakukan. Bukan penjara seperti itu yang
aku pikirkan. Penjara ini adalah penjara yang ada di dalam diriku, di dalam
dirimu, dan di dalam diri semua orang. Dimana mereka yang tidak terkurung
hanyalah para sipir. Jika kau berusaha menemukan jalan keluar, aku berusaha
menemukan jalan keluar, maka kau tidak akan berkata bahwa aku yang mengurungmu."
"Siapa
para sipir itu? Apakah mereka orang baik?"
"Semua
yang kukenal adalah kaum intelektual."
"Kau
mengenal mereka?"
"Ya,
tentu saja. Beberapa tahun lalu. Maksudku, aku juga membaca buku, kau juga
membaca buku, dan tidak terhitung jumlahnya di dunia ini orang yang membaca
buku. Itu saja. Aku tidak perlu merecoki bagaimana dan apa yang kau pikirkan
setelah itu. Aku tidak ingin terlihat pintar dengan cara kau harus terlihat
bodoh. Begitu juga sebaliknya."
"Kenapa?"
"Karena
kau membaca buku, aku membaca buku, dan tidak terhitung jumlahnya di dunia ini
orang yang membaca buku." Lagu Leonard Cohen mengalun indah dimainkan oleh
beberapa lelaki muda di atas panggung restoran.
I had lit a green
little candle, to make you jealous of me. But, the room just filled up with
mosquitos, they heard that my body was free.
"Boleh
aku bertanya sesuatu?"
"Silahkan."
Jawabku.
"Seberapa
kesal kau terhadap mereka?"
"Sangat."
Jawabku dingin.
Pembicaraanku
dengannya di malam itu menyelesaikan permasalahan yang kami pendam sekian tahun
lamanya. Hanya dialog. Itulah yang aku butuhkan. Setelah itu, kami menyaksikan
Bill Burr di acara Conan sambil
berbaring di atas kasur.
"Bukankah
kau seorang penulis di dalam fiksimu?"
"Ya.
Bagaimana menurutmu?" Ia kemudian menarik naskah dari atas meja. Tangan
kirinya melintasi dadaku, lalu membolak-balikkan halaman naskah sambil berkata,
"Tidak
adakah sesuatu yang mengganggumu?"
"Ya,
tapi aku sudah menemukan jawabannya. Karya ini sudah terekam dengan baik
sehingga menjadi rekaman terbaik yang pernah ada."
"Aku
pikir ini adalah bentuk yang paling mendekati kemurnian dari sebuah karya
kontemporer." Ucapnya sembari menaruh kembali naskah itu ke atas meja, tangannya
melintasi tanganku, lalu kembali menonton televisi.
"Seharusnya
kau tidak menanyakannya." Ucapku sambil bercanda.
"Kenapa?"
"Tidak
apa-apa. Aku hanya bercanda. Aku berharap sesuatu yang besar terjadi, semacam
ledakan ide yang luar biasa. Bill Burr menggunakan baju yang serupa dengan yang
digunakannya di acara Stephen Colbert. Apa kau menyadarinya?"
"Ya.
Dia menggunakan kaos polos berwarna hitam dengan lengan panjang."
"Apakah
itu penting?"
"Ya,
untuk sebuah karya visual. Kita dapat menangkap detail semacam itu di sana.
Tapi aku lebih menyukai apa yang aku dengarkan daripada yang aku lihat. Kecuali
pada saat bermimpi, sebab tidak ada seorang pun yang bisa menyediakan mimpi
untuk orang lain. Hanya penglihatan seperti itu yang aku sukai."
"Imajinasi."
ucapku.
Malam
itu, akhirnya dia mengerti bahwa aku berada di pihaknya dan pengertian itu
adalah sebuah rekaman yang harus ia jaga sebaik mungkin. Lalu aku bermimpi, beberapa
teman-teman intelektual menatapku dengan penuh kebencian. Aku tidak dapat
bergerak, apalagi pergi dari tempat aku berdiri. Namun, lambat laun aku
menyadari bahwa tatapan itu tidak benar-benar mengarah padaku, tetapi hanya
kepada tubuhku yang berdiri seperti patung. Mereka dapat melihat pakaian yang
aku kenakan, tetapi tidak dapat menyadari bahwa ada seseorang yang sedang
menatap mereka semua dengan tatapan yang jauh dari rasa benci: Aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar