Apa yang saya lihat
dari feminisme? Sekitar dua tahun yang lalu, saya pernah, selama satu semester,
mengikuti perkuliahan dengan tema: Gender. Bukan mata kuliah wajib, namun
mengapa saya mengambil kelas tersebut? Alasannya adalah, saya tertarik dengan feminisme
karena rasa ingin tahu. Itu saja. Pengetahuan soal hal tersebut, jujur, baru
saya mulai ketika kelas gender yang saya ambil dimulai. Tidak banyak cerita
yang saya dapat tentang kesetaraan gender pada kelas tersebut, dengan seorang
Doktor perempuan sebagai pengajar, selain masalah; bagaimana perempuan selalu
mendapat “jatah” lebih sedikit dibandingkan laki-laki dalam dunia kerja dan
sedikit mengenai budaya patriarkal yang memposisikan wanita pada level macak, masak, manak.
Tentu saja, Ibu saya adalah seorang perempuan. Tapi,
terlepas dari itu, di rumah tempat saya dibesarkan, antara Ayah dan Ibu saya
tidak terjadi apa yang dikenal sekarang dengan ketidaksetaraan gender. Setiap pagi
ayah saya bekerja, sementara itu ibu saya berbelanja ke pasar. Selama Ayah saya
bekerja di pasar, Ibu saya memastikan segala hal di rumah beres. Apapun itu. Tidak
ada aturan yang diciptakan, atau perintah dari Ayah saya terkait semua yang Ibu
saya kerjakan di rumah. Dan hal itu terjadi hingga detik ini. Jika kuasa selalu
memposisikan perempuan di bawah laki-laki, mengapa hal tersebut tidak terjadi
dengan Ibu saya? Atau, jika saya sedikit meragukan dalam hal ini, seseorang
mungkin akan bertanya untuk menguji; siapa yang mengatakan, sehingga saya bisa mengatakan
kalau kuasa memposisikan perempuan di bawah
kaum laki-laki? Dan jawaban yang bisa saya berikan adalah, Dewi Candraningrum,
seorang pemimpin redaksi di Jurnal
Perempuan, yang menggambarkan hubungan kuasa dan perempuan tersebut ke
dalam benak saya di suatu seminar yang diselenggarakan di ruang LPPM
Universitas sanata Dharma, 22 April 2016. Memang, Ibu saya bukan satu-satunya
perempuan di dunia. Tetapi, dan itu sama saja artinya dengan, tidak semua
perempuan di dunia yang mengalami masalah ketidaksetaraan gender.
Cara ibu saya bersikap di dalam rumah, sama sekali tidak
memberikan gambaran bahwa perempuan, sebagai suatu gender liyan, berada di bawah laki-laki. Saya akui, bahwa Negara, bahwa
Indonesia, didominasi oleh kaum laki-laki. Walaupun sebagai seorang laki-laki,
saya sendiri tidak pernah tertarik dengan tindak-tanduk
politik di Negara saya. Lalu, muncul pertanyaan dalam benak saya, apakah semua
perempuan menghendaki posisi sebagai politisi/negarawan? Atau, mungkin saja,
seperti saya, lebih banyak yang merasa tidak tertarik dengan urusan kekuasaan
semacam itu. Sehingga mereka tidak perlu sibuk-sibuk untuk menjelaskan bahwa suatu
Negara dikuasai oleh laki-laki dan dengan begitu berarti secara politis
perempuan kurang diperhatikan. Huuh, saya pikir saya harus menghindar dari
realitas semacam itu.
Jika ada yang ingin adil, maka kita harus mengingat, pada
Woodstock 1969, ratusan ribu orang dari seluruh penjuru Amerika Serikat
terhipnotis oleh penampilan Janis Joplin. Panggung Rock n Roll, adalah satu
dimensi di mana kesetaraan gender dan feminisme tidak mesti menjadi bermasalah.
Joan Baez, Janis Joplin, Grace Slick (Jefferson Airplane) Melanie Safka, berada
di panggung yang sama, di depan penonton yang sama, dan pada ajang yang sama,
dan mereka tercatat bersama-sama dalam sejarah Rock n Roll dengan Jimi Hendrix,
The Who, Johnny Winter dan Joe Cocker. Lalu apa? Apakah kita harus menghitung
jumlah performer pada konser tersebut hanya untuk membuktikan bahwa laki-laki
mendominasi. Di dalam Rock n Roll, hanya ada peace and love. Janis Joplin adalah penderita Body Dismorphya, tapi dia mampu menjadi bintang Rock n Roll. Sebagai
perempuan, dia sangat pantas untuk dikagumi. Sayangnya, di beberapa seminar
tentang perempuan yang pernah saya ikuti, nama Janis Joplin tidak pernah
muncul.
Apakah feminisme benar-benar mewakili semua perempuan di
alam semesta ini? Ketika Dr. Reyes menjadi pembicara tentang masalah “perempuan”
di ruang Pusdema Universitas Sanata Dharma, entah mengapa, pikiran bahwa
perempuan adalah alien muncul di
benak saya. Ruang tersebut mencipatakan atmosfer yang membuat saya berpikir
demikian. Sebagai penolakan, akhirnya saya pergi meninggalkan diskusi tersebut
sebelum acara selesai. Sebab, di benak saya Janis Joplin selalu muncul berulang
kali untuk mematahkan segala teori tentang masalah ketidaksetaraan gender yang
disampaikan dalam diskusi saat itu. Saya merasa harus menjauhkan diri dari
persoalan kekuasaan jika hendak melihat perempuan sebagai sesuatu yang tidak
berbeda level dengan laki-laki, dan saya 100% yakin akan hal tersebut.
Perempuan, menurut saya, tidak semuanya dapat diartikan
ke dalam feminisme. Baik Dr. Reyes, maupun Dr. Phil. Dewi Candraningrum, bisa
saya saya pastikan, bahwa mereka tidak memiliki Rock n Roll dalam jiwanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar