Sabtu, 09 April 2016

Nabi

Jika seseorang dapat memahami apa itu sebenarnya kutukan, maka sudah sepatutnyalah ada cita-cita yang harus dipelihara olehnya.

Karena harapan yang besar adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan orang-orang disekitarmu.

Tuhan, entah kenapa aku harus jujur untuk mengatakan aku malu sampai harus mengucapkan nama-Mu, aku tidak tahu.

Mimpi menjadi kenyataan. Sebuah horor dan seorang penyelamat.

Ini adalah akibat dari kemalasan, kutukan nenek moyang, kebencian seorang guru, dan ketidakpedulian, rasa lapar, rasa takut untuk disalahkan, kemabukan, intuisi yang berkelana, pertemanan yang penuh dengan kebencian dan rasa curiga, kepalsuan dunia, dan keengganan untuk menuduh.

Ini adalah sebuah Petualangan Besar!

Seperti sebuah tawaran dari Seseorang entah di mana, lalu sesuatu menguap menghilangkan akal sehatku.

Apakah malu adalah satu pertanda bahwa ada Sesuatu yang memberitahu manusia tentang kerendahan hati dan refleksi yang hidup di dalam diri mereka?

Aku hanya ingin menulis puisi. Dengan segala kerendahan hati. Dengan semua yang mampu ku refleksikan. Apakah aku sudah mendengarkan-Mu?

Dan, akhirnya aku merasakannya: Aku memiliki waktu untuk meragukan-Mu.

Lalu aku membayangkan: seorang ibu akan menangis karena ketidakmengertiannya terhadap puisi ini. Karena dia mungkin tidak tahu, bahwa Engkau-lah yang selama ini kucari.

Dan kemudian, apakah ini setan atau Tuhan?

Atau, semua hanyalah musik? Lalu semuanya kembali lagi kepada kenyataan.

Hal yang paling tidak kuinginkan saat ini. Egoisme versus sosialisme, kapitalisme versus komunisme, kegilaan versus kewarasan. Selamanya dunia ini adalah arena pertarungan; di mana seorang penyendiri sangat membenci dunia sekitarnya; sementara cinta adalah masalalu.

Romantisisme memang mengacu pada kisah percintaan, di mana setiap orang ingin kembali padanya dengan berhalusinasi melihatnya di masa depan. Harapan yang sangat nikmat.

Kenyataan, Nak! Kenyataan!

Sudah waktunya kau harus melupakan kehidupanmu.

Tapi aku tidak mau sedetikpun berada di luar puisi. Meskipun kenyataannya tidak begitu.

Seseorang yang tengah marah mengatakan pada dirinya sendiri kata-kata yang sudah dilupakannya mengenai “giliran”.

Percaya tidak percaya, aku akan kaya. Dan aku tidak pernah sedikitpun menginginkannya.

Namun, ketika aku kembali, aku merasakan keinginan untuk menjadi kaya.

Ini hanya perbedaan serupa yang memberi alasan mengapa di dunia ini terdapat kapitalis-komunis, berkuasa-dikuasai, ataupun surga dan neraka.

Puisi bukan permainan kata-kata untuk kesenangan dunia tetapi tanpa makna atau sembarang makna,

Sebab, Tuhanlah yang membisikkan kata-kata dalam puisi kepada para penyair!

Narsisme bukan untuk bermain-main.

Dan, aku tidak mungkin menulis puisi dengan seseorang di sisiku.


Meskipun aku menginginkan Ningsih-ku untuk melakukannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar