Pelangi,
sampai pada titik dimana manusia tidak mampu lagi mengendalikan sesuatu yang
kita miliki seperti misalnya lampu-lampu bercahaya oranye yang senantiasa
menyinari semua kalangan orang-orang yang tak pernah bercita-cita lebih tinggi
dari apa yang aku tidak mampu menebaknya, tapi bisa kupastikan itu rendah.
Siapakah
yang menjadi pelaku dari kejadian-kejadian yang muncul diluar otakku yang
sederhana dan tak mau tahu tentang persoalan yang tidak masuk akal, apalagi
tentang kisah cinta yang di bumbui oleh peristiwa-peristiwa yang tak pernah
dicatat oleh para pencipta langit dan bumi, manusia dan pelangi, teknologi dan
kemapanan yang menang mutlak atas sebuah generasi yang memiliki otak nanar
namun berjiwa lalu aku hidup didalamnya dan mengerti apa yang terjadi
sebenarnya.
Zaman
berlalu begitu saja, tiga menit sudah. Tidak ada peristiwa istimewa dibalik
tirai-tirai baja yang saat ini menjelma menjadi gema-gema ringtone handphone
dan mampu menembus privasi-privasi umat manusia. Aku dimakan oleh unsur-unsur
gaib yang aku tak pernah mengerti sama sekali, bahkan pedulipun tidak. Teknologi
memang cocok dijual di dunia yang masih percaya dengan dukun.
Kurcaci
yang jumlahnya 9 kusuruh bekerja diladang yang hanya ada didalam khayalanku,
dan wanita yang benar-benar aku cintai bertunangan dengan seseorang lelaki
biasa-biasa saja pada saat aku sibuk dengan urusan bagaimana cara
merealisasikan ide yang sudah kubentuk semenjak takdirku ditentukan oleh Tuhan
Yang Maha Esa yang tak pernah kupercaya karena dirinya hadir didalam
kitab-kitab yang saban hari tingkah-lakunya tidak berbeda dengan robot-robot
didalam film Terminator yang tercipta untuk tidak saling mencinta, robot-robot
yang memakai baju bertuliskan namaNya tapi aku hanya mampu membuktikanNya lewat
layar-layar Hollywood.
Politik luar negeri yang Amerika
Serikat yang pada suatu malam memaksaku untuk merasakan kebosanan yang luar
biasa tanpa sedikitpun ada orang-orang yang bercerita mengenai dunia karena
mereka sudah gila oleh kemajuan teknologi yang dijual oleh Amerika pasca Perang
Dingin, konsumerisme pemikiran yang menggadaikan kecerdasan dan merendahkan
logika dan IQ manusia remaja serendah-rendahnya, bahkan tenggelam didasar tanah
dan jika diinjak oleh sendal jepit bermerk Swallow murahan itupun tak akan
terasa.
Lalu aku kembali pada perdebatan
tentang mana yang penting antara pencapaian atau pola pikir. Aku yakin pola
pikir adalah mayor, dan pencapaian hanyalah sisa dari apa yang dimakan oleh
manusia, alias TAHI!! Manusia butuh pembuktian totalitas, berani, dan atas
hasrat diri sendiri, karena jika tidak begitu, hasilnya hanya tahi sisa. Ketika
aku melihat dua orang yang disuruh mencari sesuatu yang ia hasrati dalam
hidupnya, salah satu dari orang tersebut dengan segera langsung menemukan
sesuatu dibandingkan dengan seseorang lainnya, ia meraih buah-buahan yang tak
layak untuk dimakan karena bergetah dan mungkin beracun, lalu dengan memuakkan
dia mengatakan padaku; “yang terpenting adalah pencapaian”. Kemudian aku pergi dan
tidak akan pernah peduli dengan manusia-manusia yang tidak baja hatinya dan
tidak melompat sejauh mungkin sampai ke suatu tempat yang dirinya sendiri tidak
tahu apakah itu jurang atau surga.
Buku catatan yang tak pernah
ditulisi, kamar, dan dunia yang antiklimaks dan membuatku menjadi “In Bloom”,
kutemukan dengan mudah bahkan pada saat pertama kali mataku terbuka dan
matahari yang nyata sudah dibungkusi plastik es teh di dalam khayalan pengangguran
tanpa uang dijalanan kota Seattle.
Tidak pernah membayangkan kenyataan
setelah kesadaran dimabuki oleh pertemuan yang main-main dan biasa saja namun
emosional, pasca. Gaib, gaib sekali ketika orang-orang membicarakan aktivitas
universitas yang sama sekali tidak pantas untuk berada di podium mana dan nomor
berapapun karena tidak ada bedanya dengan kisah sinetron yang di skenario lalu
para artisnya mempromosikan dirinya sebagai aktor utama.
Ya, semuanya!! Geblek nomer satu di
dunia! = formalitas = kuliah = kelas = rubber plan= anything. Selaras seperti
bintang-bintang dilangit, benda menjadi cita-cita, televisi dan langit sama
saja. Manusia. . . .