"Aku ingin menulis!", teriak Raka, bocah 7 tahun.
"Aku tidak mau bakat Ayahku turun ke Anakku." itulah Riijkard, 48 tahun.
"Kenapa Ayah berpikir seperti itu. . . .".
Keindahan taman menghiasi pemandangan belakang rumah mereka. Banyak bunga, tetapi aku tidak mengenal satupun dari mereka. Bukan orangnya, tetapi bunga-bunganya. Itu maksudku. Hmmmhh. Baiklah! Sekarang kita akan masuk ke cerita selanjutnya, apakah si Anak membunuh kakek itu? Kita saksikan bersama-sama.
"Aku bingung."
"Bingung kenapa Ayah?"
"Aku rasa kau belum pantas untuk mengetahuinya."
"Kenapa? Apa karena aku 7 tahun? Sehingga orang dewasa seperti Ayah tidak bermasalah dengan hak-hakku?"
"Apa yang kau bicarakan, Nak? Aku tidak mengerti. Berhentilah meneriaki Ayah."
"Tahukah Ayah mengapa aku berbeda saat ini?"
"Enyahlah Kau dari pikiranku! Aku tidak mengerti dengan apa yang kau jelaskan. Dan, Aku Ayahmu!"
"Shut the Fuck up!", Raka berbisik menggerutu.
"Oh, Tuhan! Aku sangat bangga karena mendapatkan anak yang "berbakat" dari-Mu. Fuck You!!"
"Hey hey hey, Pak. Tenanglah. . ."
"Kau memang lebih pantas menyebutku begitu."
Sebut saja, mereka adalah pasangan yang lucu. Cukup adil, kan? Ya, tentu saja. Jangan menggerutu seperti aku habis terbaring di ruangan terang benderang berwarna putih.
"Raka, di mana Ayah?" Dia bertemu ibu-nya yang telah menanti di luar kamar mandi.
"Aku tidak tahu. Aku pikir kita telah kehilangan dia."
"Apa yang kau bicarakan? Bicarakan sesuatu yang lebih baik dari itu."
Saya potong lagi. Lebih dari itu, antara anak dan ayah itu, ada suatu hubungan tersembunyi yang menjadi tanda. Baik, kita lanjutkan.
"Maksud ibu, ibu lebih membela ayah?"
"Ya!"
"Kenapa?"
"Karena kau masih 7 tahun."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar