JAKARTA -- Seringkali aku merasa hujan tanpa nama akan menghadiri sebuah pesta di taman yang terikat kencang dengan kenangan manis yang menyiksaku beberapa tahun lalu.
Di balik dinding kamar, kuresapi kesepian sebagai anak muda yang hanya ingin, secara mutlak, membatasi perihal halal dan haram dengan harga diri yang setinggi langit hingga menyentuh Tuhan yang tidak pernah kukenali dengan baik.
Aku sombong karena tidak ingin mengambil sesuatu yang menurutku sama saja dengan menjual harga diri
Untuk mendapatkan sepeser uang, kita perlu merasakan yang namanya mati.
Puisi-puisiku tetap tak masuk di akal meskipun hidupku mengalir begitu saja.
Genderang-genderang ketakutan masih berdiri di depan pintu kamar, kesepian yang absolut masih hadir menunjukkan wajahnya yang murka sepertihalnya dosa yang menuding seseorang tanpa pahala,
Ia membenci harga diriku.
Aku dikhianati berkali-kali di medan perang, tapi teman-temanku mati bukan di medan perang, diri mereka telah menyesatkan apa yang disebut dengan akal sehat
Terbaring lemah tanpa daya, bersimbah darah yang mengucur dari kepala, kulit kering tinggal tulang, bau mesiu, dan kematian yang akhirnya dilumat media
Aku masih tidak percaya dengan apapun,
Puisiku seperti kehilangan selera, masihkah aku muda?
Atau, aku hanya kehilangan suatu masa? Dan terjebak untuk melihat kejahatan terhadap harga diri manusia dari sisi-sisi aman kebaikan?
Kukira, itulah yang sebenarnya terjadi. Kita sebenarnya tidak pernah terlindungi,
Dan,
Selamat Ulang Tahun, Fauzan!!!
Jangan biarkan setan-setan itu menusukmu..
Amin
Dimana ketika segalanya ingin dituangkan kedalam sebuah tulisan, disinilah aku menggoreskannya.
Kamis, 20 September 2018
Jumat, 08 Juni 2018
Pagar dan Jurang
Aku tidak masalah apabila garis-garis puisiku tersendat di antara misteri yang bermula mulai dari romantisisme hingga iklan-iklan, asalkan pada ujungnya berakhir di not atau nada awal yang membawaku menuju ke semacam kemewahan yang tak tersendat.
Musik...
Kita adalah generasi yang idealnya sebisa mungkin bersikap lebih modern dalam mengatasi perasaan jika kita memang akan men-teknologi-kan diri tanpa harus menjadi robot.
Sebab, ke manapun kita pergi, kau dan aku, satu-satunya jalan yang kucari adalah jalan yang mampu membawa kita menuju kesadaran yang mengajarkan bagaimana caranya agar kita tidak bersikap terlalu berlebihan satu sama lain.
Aku ingin menjadi sesuatu yang renyah untukmu.
Maka dari itu, puisi ini segera kunetralkan dengan intonasi-intonasi dan humor serta kabar baik bahwa kita punya kesadaran mengenai kenyataan moneter yang saat ini menjadi tempat bersandar perasaan ringan kita masing-masing.
Bayangkan air sungai yang jernih di siang hari yang sejuk mengalir di bawah cahaya matahari dengan beberapa daun kering berwarna coklat terbawa arus serta bunyi gemericiknya yang ringan.
Apa daun-daun kering itu masih tertinggal di benakmu?
Ingat, memori adalah jalan yang berbeda.
Satu-satunya jalan yang kucari adalah jalan yang mampu membawa kita pada kesadaran yang mengajarkan bagaimana caranya agar kita tidak bersikap terlalu berlebihan satu sama lain.
Seseorang, jangan kau pikirkan paragraf aneh yang dulu sering kugunakan untuk lari dari kenyataanku yang romantis-tragis.
Berton-ton pesan?
Aku selalu menjadi sesuatu yang tidak terlalu banyak tahu, tetapi dengan luar biasa gelembung perasaanku membesar tiap kali diuji dengan pertanyaan;
Apakah aku mengenalmu?
Ya, dia membesar menjadi keyakinan yang visionis-romantis, di mana satu-satunya jalan yang kutemui adalah jalan yang mampu membawa kita menuju kesadaran yang mengajarkan bagaimana caranya agar kita tidak bersikap terlalu berlebihan satu sama lain.
Komedi terkadang adalah kebenaran yang terletak di dasar jurang dan kita lebih aman untuk berdiri di dalam pagar batasnya karena kita sudah punya kesadaran mengenai kenyataan moneter yang menjadi tempat bersandar perasaan ringan kita terhadap satu sama lain.
Komedi terkadang adalah imajinasi yang tiba-tiba bisu ketika adegan penentuannya dimulai, sehingga Romeo tidak mendengar apa yang dikatakannya kepada Cinderella yang telah tertawa tersanjung.
Ilustrasi gagal yang disebabkan oleh pikiran yang masih perlu dipercanggih agar dapat merekam suara-suara dalam dialog yang membutuhkan alat-alat canggih dari sistem komunikasi kelas wahid, super dinamis, mahal, dan ilegal.
Musik...
Kita adalah generasi yang idealnya sebisa mungkin bersikap lebih modern dalam mengatasi perasaan jika kita memang akan men-teknologi-kan diri tanpa harus menjadi robot.
Sebab, ke manapun kita pergi, kau dan aku, satu-satunya jalan yang kucari adalah jalan yang mampu membawa kita menuju kesadaran yang mengajarkan bagaimana caranya agar kita tidak bersikap terlalu berlebihan satu sama lain.
Aku ingin menjadi sesuatu yang renyah untukmu.
Maka dari itu, puisi ini segera kunetralkan dengan intonasi-intonasi dan humor serta kabar baik bahwa kita punya kesadaran mengenai kenyataan moneter yang saat ini menjadi tempat bersandar perasaan ringan kita masing-masing.
Bayangkan air sungai yang jernih di siang hari yang sejuk mengalir di bawah cahaya matahari dengan beberapa daun kering berwarna coklat terbawa arus serta bunyi gemericiknya yang ringan.
Apa daun-daun kering itu masih tertinggal di benakmu?
Ingat, memori adalah jalan yang berbeda.
Satu-satunya jalan yang kucari adalah jalan yang mampu membawa kita pada kesadaran yang mengajarkan bagaimana caranya agar kita tidak bersikap terlalu berlebihan satu sama lain.
Seseorang, jangan kau pikirkan paragraf aneh yang dulu sering kugunakan untuk lari dari kenyataanku yang romantis-tragis.
Berton-ton pesan?
Aku selalu menjadi sesuatu yang tidak terlalu banyak tahu, tetapi dengan luar biasa gelembung perasaanku membesar tiap kali diuji dengan pertanyaan;
Apakah aku mengenalmu?
Ya, dia membesar menjadi keyakinan yang visionis-romantis, di mana satu-satunya jalan yang kutemui adalah jalan yang mampu membawa kita menuju kesadaran yang mengajarkan bagaimana caranya agar kita tidak bersikap terlalu berlebihan satu sama lain.
Komedi terkadang adalah kebenaran yang terletak di dasar jurang dan kita lebih aman untuk berdiri di dalam pagar batasnya karena kita sudah punya kesadaran mengenai kenyataan moneter yang menjadi tempat bersandar perasaan ringan kita terhadap satu sama lain.
Komedi terkadang adalah imajinasi yang tiba-tiba bisu ketika adegan penentuannya dimulai, sehingga Romeo tidak mendengar apa yang dikatakannya kepada Cinderella yang telah tertawa tersanjung.
Ilustrasi gagal yang disebabkan oleh pikiran yang masih perlu dipercanggih agar dapat merekam suara-suara dalam dialog yang membutuhkan alat-alat canggih dari sistem komunikasi kelas wahid, super dinamis, mahal, dan ilegal.
Senin, 28 Mei 2018
Word & Glass
The script that I ever wrote,
and the earth that's spinning,
and the yellow and blue,
it all takes me back to the young broken glass theory made in the room full of books all around her.
They were small,
little like a bunch of stones and the long chair on the side of corridor between the flowers and the windows.
Then the fences,
I used to stand below the flag between a few...
(Why am I always looking at them?)
It's a tricky trick when you go round around very closely to the eyes without hiding behind something tricky.
What's behind you?
I don't even know either.
And suddenly,
I can't go anywhere anymore
But the shore,
And magically,
that broken glass transcends his believing as it doesn't even matter
Standing here,
A little distance from your eyes, and
Watching me,
whispering to you...
and the earth that's spinning,
and the yellow and blue,
it all takes me back to the young broken glass theory made in the room full of books all around her.
They were small,
little like a bunch of stones and the long chair on the side of corridor between the flowers and the windows.
Then the fences,
I used to stand below the flag between a few...
(Why am I always looking at them?)
It's a tricky trick when you go round around very closely to the eyes without hiding behind something tricky.
What's behind you?
I don't even know either.
And suddenly,
I can't go anywhere anymore
But the shore,
And magically,
that broken glass transcends his believing as it doesn't even matter
Standing here,
A little distance from your eyes, and
Watching me,
whispering to you...
Minggu, 20 Mei 2018
Healthy Way of Life
Aku tidak menyembah wanita yang aku cintai lagi. Sudah selesai dengan semuanya. Langitku sudah mendung sejak hati kecilku masih berupa janin. Adakah kau mengerti akan hal tersebut, Women? Untuk itu, seharusnya aku tidak mengenal cinta dengan cara seperti ini sama sekali.
Pernah suatu waktu aku mengalahkan puisiku sendiri dalam waktu satu malam. Lalu, kukatakan pada diriku, bahwa mimpi itu sama halnya dengan membangun istana untuk seorang putri kecil cengeng dan penangis. Tidak cocok untuk diberikan sehelai kain tanpa nama. Dia maunya Lea.
Tapi kini, sejak aku tidak bermasalah dengan hukum adat yang modern itu, semuanya menjadi indah pada waktunya. Dengan segala macam komedi yang telah kupersiapkan dengan diriku sendiri dari masa ke masa, akhinya blog pribadiku ini terisi kembali dengan cerita yang sangat tidak berhati-hati.
Aku rasa setiap pembaca sudah tahu apa yang mereka baca. Jika masih ada yang tidak, lalu untuk apa empat sampai tujuh tahun yang lalu itu? Di mana berpikir adalah intisari dari praktik dan segala yang muncul dan eksis di muka Bumi ini. Satu hal yang masih kupegang teguh sejak diriku masih kanak-kanak: aku tidak akan ke mana-mana.
Kuberitahu kau sesuatu...
Aku memulai kesalahanku yang sebenarnya kira-kira sekitar tujuh atau delapan tahun yang lalu. Matahari terbit dan aku bermain cinta dengan bidadari yang salah. Disitulah pintu kesalahannya. Begitu bidadari ini mulai mencintaiku, kebahagiaan melenyapkan semuanya. Termasuk kebahagiaan itu sendiri. Sehingga aku melakukan ikrar yang terlalu berlebihan dan mengemis, memohon, dan berfilsafat kemudian. Semuanya telah dimulai, dan aku tidak pernah bermain-main lagi.
Cinta yang kubawa sampai mati ini rasanya tidak perlu dikekalkan seperti keabadian. Selain itu, untuk hidup, perjuanganku sedang berjalan lurus menuju pintu-pintu pendaftaran bertema silverscreen serta seorang gadis dari Australia yang masih aku rahasiakan.
Di balik itu semua, aku kira masalalu telah mengundang untuk sejenak kembali mengembara ke titik-titiknya yang fana dimana puisi-puisiku masih berbicara tentang oase serta surga dan neraka. Atau eksistensi berbasis puzzle dengan teka-teki ringan mengenai Kurt Cobain yang kini masih melatihku untuk menjadi praktisi. Atau dengan imajinasi berani yang dulu sempat kusebarkan layaknya omong kosong yang berasal dari hati kecil yang terdalam.
Palung itu masih kutuju. Kurenangi bagian-bagian tersulitnya hingga diriku ternyata masih mampu merasakan ujung hidungku sendiri. Bangku taman yang kutinggalkan masih sendirian di bawah pohon yang tumbuh liar sejak kepergianku mencari seorang gadis kecil bernama Ningsih. Itulah rahasia yang bertahun-tahun kupetakan demi mencetak sejarah sebagai penanam harta karun paling dicari di seantero jagad raya yang sombong ini.
Di balik semua sejarah pembongkaran hawa nafsu, cinta dan prahara itu, aku kembali menyaksikan tulisan-tulisan lama yang tidak kutulis menggunakan tinta darah, tetapi keringatku yang membasahi kulit-kulit kertas itu sendiri telah lelah menjadi darah. Perannya terungkap sebagai pencatut misi rahasia yang seharusnya dimiliki oleh sel-sel lain, karena pada hakikatnya, darah mengalir di dalam tubuh manusia, bukan di udara terbuka seperti di medan perang.
Kini aku bebas dalam mengabarkan cerita. Rapi seperti stand up comedy Jim Carrey, merangsang seperti gesekan piano Albert Einstein di pelosok ide Bob Dylan bernama Desolation Row, menantang seperti puisi Zack de la Rocha yang mampu membuatnya turun dari gunung, tak tertangkal seperti Tom Morello, dan, for my healthy way of life, I decide to leave myself alone with the memories inside. Very beautiful, to see my party garden when nobody dance in it and no one knows how to make a loudy song. Very unhealhty.
Pernah suatu waktu aku mengalahkan puisiku sendiri dalam waktu satu malam. Lalu, kukatakan pada diriku, bahwa mimpi itu sama halnya dengan membangun istana untuk seorang putri kecil cengeng dan penangis. Tidak cocok untuk diberikan sehelai kain tanpa nama. Dia maunya Lea.
Tapi kini, sejak aku tidak bermasalah dengan hukum adat yang modern itu, semuanya menjadi indah pada waktunya. Dengan segala macam komedi yang telah kupersiapkan dengan diriku sendiri dari masa ke masa, akhinya blog pribadiku ini terisi kembali dengan cerita yang sangat tidak berhati-hati.
Aku rasa setiap pembaca sudah tahu apa yang mereka baca. Jika masih ada yang tidak, lalu untuk apa empat sampai tujuh tahun yang lalu itu? Di mana berpikir adalah intisari dari praktik dan segala yang muncul dan eksis di muka Bumi ini. Satu hal yang masih kupegang teguh sejak diriku masih kanak-kanak: aku tidak akan ke mana-mana.
Kuberitahu kau sesuatu...
Aku memulai kesalahanku yang sebenarnya kira-kira sekitar tujuh atau delapan tahun yang lalu. Matahari terbit dan aku bermain cinta dengan bidadari yang salah. Disitulah pintu kesalahannya. Begitu bidadari ini mulai mencintaiku, kebahagiaan melenyapkan semuanya. Termasuk kebahagiaan itu sendiri. Sehingga aku melakukan ikrar yang terlalu berlebihan dan mengemis, memohon, dan berfilsafat kemudian. Semuanya telah dimulai, dan aku tidak pernah bermain-main lagi.
Cinta yang kubawa sampai mati ini rasanya tidak perlu dikekalkan seperti keabadian. Selain itu, untuk hidup, perjuanganku sedang berjalan lurus menuju pintu-pintu pendaftaran bertema silverscreen serta seorang gadis dari Australia yang masih aku rahasiakan.
Di balik itu semua, aku kira masalalu telah mengundang untuk sejenak kembali mengembara ke titik-titiknya yang fana dimana puisi-puisiku masih berbicara tentang oase serta surga dan neraka. Atau eksistensi berbasis puzzle dengan teka-teki ringan mengenai Kurt Cobain yang kini masih melatihku untuk menjadi praktisi. Atau dengan imajinasi berani yang dulu sempat kusebarkan layaknya omong kosong yang berasal dari hati kecil yang terdalam.
Palung itu masih kutuju. Kurenangi bagian-bagian tersulitnya hingga diriku ternyata masih mampu merasakan ujung hidungku sendiri. Bangku taman yang kutinggalkan masih sendirian di bawah pohon yang tumbuh liar sejak kepergianku mencari seorang gadis kecil bernama Ningsih. Itulah rahasia yang bertahun-tahun kupetakan demi mencetak sejarah sebagai penanam harta karun paling dicari di seantero jagad raya yang sombong ini.
Di balik semua sejarah pembongkaran hawa nafsu, cinta dan prahara itu, aku kembali menyaksikan tulisan-tulisan lama yang tidak kutulis menggunakan tinta darah, tetapi keringatku yang membasahi kulit-kulit kertas itu sendiri telah lelah menjadi darah. Perannya terungkap sebagai pencatut misi rahasia yang seharusnya dimiliki oleh sel-sel lain, karena pada hakikatnya, darah mengalir di dalam tubuh manusia, bukan di udara terbuka seperti di medan perang.
Kini aku bebas dalam mengabarkan cerita. Rapi seperti stand up comedy Jim Carrey, merangsang seperti gesekan piano Albert Einstein di pelosok ide Bob Dylan bernama Desolation Row, menantang seperti puisi Zack de la Rocha yang mampu membuatnya turun dari gunung, tak tertangkal seperti Tom Morello, dan, for my healthy way of life, I decide to leave myself alone with the memories inside. Very beautiful, to see my party garden when nobody dance in it and no one knows how to make a loudy song. Very unhealhty.
Minggu, 15 Oktober 2017
Foto...
Kutarik waktu di kalender handphone
kembali menuju ke bulan di awal-awal kita menjadi siswa di SMA yang jelek itu.
Kuperhatikan angka-angkanya, dan untuk
selintas, aku merasa diri ini terbawa kembali ke masa itu.
Tentu saja semua perasaan yang datang
kemudian ada alasan yang mendahului,
Benar saja, satu jam yang lalu, aku
mendengarkan Winter Lady-nya Leonard Cohen sambil memandangi foto-fotomu yang
kudapat dari akun istagram yang temanku kirimkan beberapa bulan yang lalu.
Traveling
lady stay a while until the night is over. I’m just the station on your way. You
know I’m not your lover.
Lalu, aku menyadari satu hal, dan
mungkin itulah alasan dari semua ini.
Di dahimu, terselip sebuah tahi lalat di
tempat yang persis sama dengan yang kumiliki.
Senin, 24 April 2017
NEUROTIK SEJAK LAHIR
Aku
tulis kisahku di kertas yang samar-samar,
Ketakutan-ketakutan
itu datang dengan caranya yang aneh.
Sepertinya,
aku merasakan kebahagiaan sedang bersembunyi di antara lorong-lorong
labirinnya.
Di
dalam mimpiku, kadang ia ialah seorang wanita.
Dalam
mimpiku, dia adalah keinginan besar untuk menjadi rockstar.
Dia
membawaku ke dalam kemuliaan yang tercela, keberanian yang paranoid,
keberuntungan yang sial, gerak yang diam.
“Aku
ingin membuktikan bahwa Marx salah! “Ia terdiam, lalu menambahkan, “Namun,
Kapitalis juga salah.”
Orang-orang
memandangnya dengan tidak peduli, dengan kuping yang tak mendengarkan.
Bahkan,
ia sudah murtad dari agama yang bernama ‘Akupun adalah bekas dari seseorang
yang pernah tidak peduli dengan diriku sendiri’.
Dia
adalah anak pahala dan dosa.
“I got you!!!” Ucap Dunia ketika
menyambutnya di dunia.
Lalu,
ia berteriak sekencang-kencangnya, namun, kata dokter ia normal jika menangis.
“AAAAKKK!!!
(Aku berteriak, bukan menangis)”, ucapnya.
Sekarang,
siapa yang masih mengingat kesadaran mereka ketika kita pertama kali menyusui?
Mungkinkah
kesadaran itu terasa seperti bagaimana rasanya dilahirkan?
Hal-hal
yang harusnya terucapkan namun terlupakan?
Bukankah
seperti itu takdir?
Aku
sudah tahu takdirku, dan bisa membelokkannya ke arah manapun aku mau,
Dan
itu perjalanan yang berat, kawan, karena setelah itu kita akan terlahir
kembali.
Bukankah
itu sebuah reinkarnasi?
Sayangnya,
kita mengartikan dengan salah keniscayaan yang dimiliki oleh agama.
Seseorang,
entah siapa namanya, berteriak, “Abad Kegelapan sudah berakhir!”, lalu,
“DUARRR!”, berteriaklah si kecil Rennaisance.
Di
Indonesia, istilah ini digubah oleh R. A. Kartini, seorang puteri bupati.
Bukankah
Thomas Aquinas adalah anak zamannya Abad Kegelapan?
Bukankah
Kartini juga?
Lalu,
barulah kita menyerah dan ditakdirkan untuk dilahirkan kembali.
Bukankah
setiap agama di Indonesia percaya dengan kebangkitan kembali? Terlepas dari
dirayakan atau tidak?
Apakah
kita harus membicarakan Sukarno?
Coba
kita bandingkan dengan George Washington, siapa yang paling keren?
Dan
kalian, hanya sibuk dengan pencarian akan sebuah pertanyaan seperti di atas.
Aku
tidak peduli dengan siapa pun di antara mereka.
Tetapi,
aku kagum kepada istilah ‘Ibu Pertiwi’, ‘Morherland’.
Dan,
kalau harus memilih, siapa yang paling pantas mendapatkan gelar sebagai ‘Miss Universe’, aku akan memilih seorang
pemenang.
Siapa
yang memilih para Miss Universe ini?
Merekalah,
rockstar.
Orang-orang
yang tidak seharusnya berada di sana.
Mereka
adalah teman Para Presiden.
Ada
pertanyaan???
Mereka
sama-sama menjadi incaran para wartawan. Sebuah bagian dari permainan politik.
Jika
kita harus memilih antara Pak Presiden dan seorang rockstar, siapa di antara kita yang akan menolak keduanya, jika
jawabannya adalah keduanya merupakan korporasi di balik layar Miss Universe? Milik media yang
mempekerjakan para wartawan, orang-orang yang mengincar keduanya?
Mari
kita lihat kembali apa yang terjadi dengan John F. Kennedy. Bayangkan jika
peristiwa di Grassy Knoll hanya
sebuah sandiwara. Bayangkan jika Abad Pertengahan dan Rennaisance adalah sebuah permainan.
Rasanya
mungkin seperti mengalami kekalahan dan kemenangan, dikuasai atau menguasai.
Sesuatu
terjadi padaku, dan aku tidak punya alasan lain untuk tidak mengatakannya.
Beranikah
kita berhenti?
Jumat, 10 Februari 2017
II
AKU
Menurutku,
dia pergi karena tidak yakin dengan apa yang akan dikatakannya. Pernah suatu
hari dia berkata bahwa aku mengurungnya dengan kebenaran-kebenaran yang
kupaksakan padanya. Kapan aku pernah melakukan hal semacam itu? Aku
menanggapinya dengan mengatakan bahwa aku tidak bermaksud seperti itu,
sebaliknya, aku justru ingin membebaskannya. Entah dari apa. Upayaku untuk
membuka pintu-pintu yang masih tertutup dianggapnya sebagai dinding pembatas.
Di
malam harinya, kami makan di sebuah restoran kecil di dekat sungai yang
mengalir dari barat kota menuju selatan, sebuah desa kecil yang terkenal dengan
perkebunan kopinya.
"Bagaimana
fiksimu?" Ia menyalakan sebatang rokok. Wajahnya lesu.
"Aku
tidak tahu, aku masih sangat malas memikirkan pakaian apa yang digunakan oleh
karakter-karakterku. Aku tahu itu penting, tapi aku tidak dapat menikmati hidup
jika aku melakukannya. Hal-hal semacam itu membuatku merasa terkurung."
"Lalu,
apa yang kau lakukan?" Kali ini, dia terlihat agak bersemangat. Secercah
cahaya muncul di wajahnya.
"Aku
mencoba untuk keluar, terus menerus, hingga akhirnya secara perlahan aku dapat
melihatnya sebagai tantangan. Kecuali, aku memang orang yang pantas untuk
dikurung. Apakah menurutmu aku pantas?"
"Kau
yang mengurungku." Kali ini dengan nada bercanda.
"Aku
bahkan tidak bisa menjelaskan apakah penjara adalah tempat yang baik atau
buruk. Maksudku, bukan karena kita melanggar aturan, lalu kita dipenjara, dan
kita menyadari kesalahan yang sudah kita lakukan. Bukan penjara seperti itu yang
aku pikirkan. Penjara ini adalah penjara yang ada di dalam diriku, di dalam
dirimu, dan di dalam diri semua orang. Dimana mereka yang tidak terkurung
hanyalah para sipir. Jika kau berusaha menemukan jalan keluar, aku berusaha
menemukan jalan keluar, maka kau tidak akan berkata bahwa aku yang mengurungmu."
"Siapa
para sipir itu? Apakah mereka orang baik?"
"Semua
yang kukenal adalah kaum intelektual."
"Kau
mengenal mereka?"
"Ya,
tentu saja. Beberapa tahun lalu. Maksudku, aku juga membaca buku, kau juga
membaca buku, dan tidak terhitung jumlahnya di dunia ini orang yang membaca
buku. Itu saja. Aku tidak perlu merecoki bagaimana dan apa yang kau pikirkan
setelah itu. Aku tidak ingin terlihat pintar dengan cara kau harus terlihat
bodoh. Begitu juga sebaliknya."
"Kenapa?"
"Karena
kau membaca buku, aku membaca buku, dan tidak terhitung jumlahnya di dunia ini
orang yang membaca buku." Lagu Leonard Cohen mengalun indah dimainkan oleh
beberapa lelaki muda di atas panggung restoran.
I had lit a green
little candle, to make you jealous of me. But, the room just filled up with
mosquitos, they heard that my body was free.
"Boleh
aku bertanya sesuatu?"
"Silahkan."
Jawabku.
"Seberapa
kesal kau terhadap mereka?"
"Sangat."
Jawabku dingin.
Pembicaraanku
dengannya di malam itu menyelesaikan permasalahan yang kami pendam sekian tahun
lamanya. Hanya dialog. Itulah yang aku butuhkan. Setelah itu, kami menyaksikan
Bill Burr di acara Conan sambil
berbaring di atas kasur.
"Bukankah
kau seorang penulis di dalam fiksimu?"
"Ya.
Bagaimana menurutmu?" Ia kemudian menarik naskah dari atas meja. Tangan
kirinya melintasi dadaku, lalu membolak-balikkan halaman naskah sambil berkata,
"Tidak
adakah sesuatu yang mengganggumu?"
"Ya,
tapi aku sudah menemukan jawabannya. Karya ini sudah terekam dengan baik
sehingga menjadi rekaman terbaik yang pernah ada."
"Aku
pikir ini adalah bentuk yang paling mendekati kemurnian dari sebuah karya
kontemporer." Ucapnya sembari menaruh kembali naskah itu ke atas meja, tangannya
melintasi tanganku, lalu kembali menonton televisi.
"Seharusnya
kau tidak menanyakannya." Ucapku sambil bercanda.
"Kenapa?"
"Tidak
apa-apa. Aku hanya bercanda. Aku berharap sesuatu yang besar terjadi, semacam
ledakan ide yang luar biasa. Bill Burr menggunakan baju yang serupa dengan yang
digunakannya di acara Stephen Colbert. Apa kau menyadarinya?"
"Ya.
Dia menggunakan kaos polos berwarna hitam dengan lengan panjang."
"Apakah
itu penting?"
"Ya,
untuk sebuah karya visual. Kita dapat menangkap detail semacam itu di sana.
Tapi aku lebih menyukai apa yang aku dengarkan daripada yang aku lihat. Kecuali
pada saat bermimpi, sebab tidak ada seorang pun yang bisa menyediakan mimpi
untuk orang lain. Hanya penglihatan seperti itu yang aku sukai."
"Imajinasi."
ucapku.
Malam
itu, akhirnya dia mengerti bahwa aku berada di pihaknya dan pengertian itu
adalah sebuah rekaman yang harus ia jaga sebaik mungkin. Lalu aku bermimpi, beberapa
teman-teman intelektual menatapku dengan penuh kebencian. Aku tidak dapat
bergerak, apalagi pergi dari tempat aku berdiri. Namun, lambat laun aku
menyadari bahwa tatapan itu tidak benar-benar mengarah padaku, tetapi hanya
kepada tubuhku yang berdiri seperti patung. Mereka dapat melihat pakaian yang
aku kenakan, tetapi tidak dapat menyadari bahwa ada seseorang yang sedang
menatap mereka semua dengan tatapan yang jauh dari rasa benci: Aku.
Langganan:
Postingan (Atom)