Senin, 25 November 2013

Ludah


dan semuanya telah terlambat. Entah kenapa, tiba-tiba saja langit membeku di hadapanku memantulkan warna awan yang pudar.

Barusaja ada yang berlari melewati mataku yang tidak pernah tahu apa makna silau yang menerpa, diam.

Berlari yang memperkenalkanku pada aku yang lupa siapa aku, tapi tanganku terkepal. Apa sebenarnya waktu?

Dinamit menghantam dinamit, lalu angin akan meniupkan puing-puingnya ke mataku, perih. Aku mendengar suara melengking yang melesat jauh merobek kata-kata menjadi amnesia.

Benarkah?

Cerita dari selatan Jakarta, aku sibuk di goyah Grunge ditengah-tengah malam yang terbakar.

Cita-citaku adalah menjadi gelap yang sendiri. sambil merobek-robek sejumlah kertas yang amnesia lalu kuludahi semuanya.

Mati.

Minggu, 10 November 2013

Mata

Aku mencoba menggerakkan tanganku dalam detik-detik yang gelisah dan membelakangi rak buku,

berjalan mundur membelakangi saat ini, aku sampai pada masa Led Zeppelin di tiap pagi hari.

Ibuku menghembuskan takdir pada mulut seorang wanita yang berbicara tentang mata,

kemudian dia pergi tanpa janji.

melangkahkan kakinya melewati pintu yang lebih mengenal hidup daripada aku sendiri

aku yang sebenarnya sudah gila

terperangkap gila di dalam sebuah mata...

Sabtu, 09 November 2013

Sajak Luka

Aku mulai tidak mengerti tentang waktu seperti gula dan serbuk kopi yang berserakan di dalam adukan gelas berisi air panas. Apakah makna asap?

Lalu tiba-tiba aku sudah di laut dangkal, menatap kacamata hitam. Aku menonton sepakbola sambil memain-mainkan anak-anak badai, kemudian jari-jariku meneteskan air mata.

Oh, Barcelona!! Adakah ia akan menjadi panggung seni? Karena aku butuh selimut untuk lupa yang sementara. Lalu Cinta, aku lupa memilih kata-kata dan aku hanya tahu bagaimana cicak-cicak menebak serangga.

Pagi buta, mataku menyala. Aku berteriak gila di gang buntu sementara tangan kananku menggenggam revolver berpeluru ganda.

Dorr!!

Aku ingin lebih mati daripada kematian.

Lalu, kemana waktu akan membawa kita….

Untuk Sebuah Nama

Waktu berserakan. Hujanlah yang mengacak-acak pasir. Dari kejauhan, seekor ayam mengintai untuk mengaisnya.

Sepi, dalam sepi ruanganku lalu-lalang burung-burung pemakan daging. Menerka.

Aku lupa menutup pintu yang aku sendiri tak mengerti cara membukanya.

Atas nama tubuhku yang robek,

Adakah kau cium bau darahnya??

Selasa, 05 November 2013

Eksistensi adalah Batas



Hari ini aku akan pulang ke Jogja. Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap-siap untuk berangkat dari Depok menuju Stasiun Senen lalu ke Stasiun Lempuyangan, Jogjakarta. Sayangnya, aku tidak merasakan kesegaran mandi pagi karena cuaca Jakarta yang sumuk. Dengan badan yang tidak segar dan mata yang masih mengantuk aku berangkat menuju Senen. Di perjalananpun kondisi tak jauh lebih baik, jalanan yang macet, kopaja yang berdesak-desakan, dan matahari yang terik. Pukul 12 lewat 15 menit aku sampai di daerah Senen dengan jadwal keberangkatan kereta pukul setengah 1 teng. Mengisi kebosanan dalam perjalanan, aku memutuskan untuk berfikir tentang hidup.

…..

Manusia adalah makhluk kesendirian yang dengan kebebasannya melangkah menuju realisasi dari ide atau kehendaknya sendiri. Ahh, begitu sederhananya hidup ini, kesederhanaan yang tidak dapat dikatakan menyenangkan. Karena manusia selalu gelisah.

Seperti sebuah lingkaran besar yang di dalamnya terdapat lingkaran-lingkaran kecil yang harus di hidupi satu per satu kemudian belajar dan belajar. Seperti menyusun puzzle yang setiap potongannya harus di pahami sehingga membentuk sesuatu yang utuh dan memiliki eksistensi. Seperti Yesus yang membiarkan dirinya di salib karena ia telah menyusun ajarannya dalam bentuk yang ideal, seperti Sidharta Gautama yang mengalami moksa, dan seperti Kurt Cobain.

Manusia menciptakan eksistensinya, tetapi dirinya tidak akan hidup di dalam eksistensi tersebut karena eksistensi sebenarnya adalah fase “akhir” dari kehidupan fisik. Bahkan waktupun akan menghancurkan jiwa yang selalu setia terhadap eksistensi. Karena pisau yang tajam akan hancur seiring berjalannya waktu.

Dalam lingkaran besarnya, yaitu Ide, manusia akan menghancurkan tesisnya dengan menggeseknya dengan lingkaran-lingkaran kecil yang berserakan di dalam lingkaran besar itu. Pemahaman baru yang muncul dari proses saling menghancurkan itu kemudian akan diletakkan pada posisinya yang pas dalam puzzle melingkar kehidupan seorang manusia. Lalu kembali bergulat dengan lingkaran kecil lainnya.

Saling menghancurkan barangkali merupakan cara hidup bagi manusia yang idealis. Menghancurkan untuk kemudian menciptakan bentuk ideal dan diletakkan pada posisi yang pas. Ketika semua potongan puzzle sudah tersusun, maka tidak ada lagi yang harus digerakkan. Manusia tidak dapat lagi memainkan puzzle tersebut, karena eksistensi adalah batas.

Begitu juga dengan Kurt Cobain ketika ia memutuskan untuk bunuh diri, ia tidak dapat melakukan apa-apa lagi karena eksistensinya. Dan kenyataan bahwa gaya hidupnya menjadi panutan banyak orang, adalah akhir dari kehidupan fisiknya. Ditambah lagi kekecewaannya atas kapitalisme yang memanfaatkan style-nya untuk dijual, suatu salah kaprah terjadi dari eksistensi Kurt. Tetapi musiknya sudah menjadi ideology bagi anak muda.

Pada salah satu potongan puzzle yang dihidupi oleh Kurt, pilihannya untuk menjadi “gelandangan” daripada bekerja setelah ia tamat dari SMA membuatnya untuk beberapa lama tinggal di kolong jembatan. Namun hal itu tidak menghalanginya untuk menjadi dirinya yang sebenarnya dituju.
Kurt Cobain sudah berhasil menyusun semua potongan puzzle kehidupannya.

Bagaimana dengan tanggung-jawab?

Pemahaman soal tanggung jawab, juga berbeda ketika seorang manusia berpikir soal bagaimana cara merealisasikan Ide-nya. Kesadaran akan eksistensi membuat seorang manusia melihat lingkaran besar jalan hidupnya. Bahwa manusia tidak hidup dalam satu potongan puzzle saja. Tidak ada pertanggungjawaban atas perjalanan dari pencarian letak potongan puzzle yang tepat kecuali pelajaran dari tiap-tiap potongan puzzle lalu meletakkannya.

Kesadaran seperti ini muncul apabila manusia sudah mengalahkan rasa takut akan suatu kehancuran.

Lalu apa yang harus dipertanggungjawabkan? Jawabannya adalah Ide kehidupan personal yang kita bentuk dan akan kita realisasikan. Yang harus dipertanggungjawabkan adalah kesadaran akan sebuah lingkaran besar eksistensi. Karena alasan itulah kenapa manusia selalu sendiri. Dengan catatan, manusia jangan sampai terlepas dari hokum social, seperti pergaulan sehari-hari, walaupun sah-sah saja jika kehendak manusia dibenurkan dengan hokum-hukum formal. Tiba-tiba tangan seseorang menepuk pundakku beberapa kali. Ternyata itu adalah tangan si kondektur yang menagih ongkos sekaligus mengakhiri apa yang aku pikirkan barusan.

Jalanan masih saja macet dan bis masih saja dipenuhi oleh manusia-manusia yang berdesakan. Kemudian aku terkejut melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 12 lewat 25 menit sementara aku masih di dalam bis Kopaja. Tepat 5 menit kemudian aku sampai di stasiun. Berlari menuju kereta, namun apa bisa dikata, kereta telah pergi meninggalkanku yang berkeringat lelah di peron.

Ini adalah bagian dari kisah hidupku dalam satu potongan puzzle dan aku tak perlu mempertanggungjawabkan kepergian kereta tersebut karena bagaimanapun kereta itu akan terus berjalan tanpa perlu pertangungjawabanku. Ini hanya sepotong kecil kisah, masih banyak potongan lain yang akan kujalani.

Kemudian aku menghubungi salah satu travel menuju Jogja, berangkat pukul 8 malam dan 12 jam kemudian aku akhirnya sampai juga di Jogja. Aku masih terlalu jauh dari eksistensi dan aku adalah satu titik yang bergerak didalam sebuah lingkaran besar. Namun bisa kupastikan, aku berada dijalur yang benar.

"Robah keinginan sendiri, bukan merombak dunia. Karena tidak ada satu pun yang berada dibawah kekuasaan kita sepenuhnya kecuali pikiran kita. ~Rene D".

Sabtu, 12 Oktober 2013

Puisi Bebas

Kebebasan itu menyakitkan,

Karena dunia ini penuh dengan ketakutan berwujud aturan, adat, dan norma-norma.

Dunia ini fana,

tetapi manusia masih juga memanipulasinya dengan menciptakan keseimbangan palsu,

menumbuhkan mitos-mitos, kemudian berbuah ketakutan yang memakai topeng rasionalitas.

Terlalu takutkah manusia terhadap rasa lapar dan kesendirian?

Sehingga menyatu dengan arus dunia dengan wujud rasionalitas ciptaan sekumpulan manusia?

Atau terlalu takutkah manusia akan kebebasannya sendiri?

Padahal kita punya hati nurani?

Manusia hidup dalam kesendirian, dengan kebebasannya.

Tak ada alasan untuk tidak terluka.

Rasionalitas Yang Ketakutan

Dalam hidup ini, aku sangat percaya pada fase. Setiap manusia untuk sementara akan berhenti di titik-titik dalam rel waktu kehidupannya. Jika ada yang bertanya apa yang paling kusadari dalam hidup, jawabanku adalah, “aku percaya bahwa aku sadar pada perasaanku yang tertatih dan terinjak oleh titik-titik waktu yang terbagi itu”. Lalu menuntunku kepada lorong dimana aku melangkah sendiri, terasing, dan gelap.

Menyendiri akan membawaku menuju kebebasan sepenuhnya, tak peduli angin berhembus kemana, selagi kemudaanku tak mengusik berubahnya musim.  Kemudian aku bisa dengan bebas sebebas-bebasnya membaca tulisan-tulisan Tan Malaka yang juga mati dengan sendirinya, sendiri. Lalu dengan bebas pula mendengarkan Kurt Cobain berteriak betapa dia mencintai dirinya sendiri dari orang lain, matipun dia dalam sepi yang menembus kerongkongannya dengan panasnya peluru.

Cerita mengenai Kurt, aku pernah membaca dan bercerita dengan seseorang yang juga seperti Kurt, bagaimana Kurt hidup terasing, bahkan dari orang tuanya. Dimasa-masa seperti itu Kurt yang sebenarnya telah lahir, bukan dari kasih sayang persetubuhan orang tuanya, bukan pula dari didikan persahabatan lingkungannya. Ia lahir dari keterasingan dibawah kolong jembatan disatu sisi kota Seattle. Dan Kurt adalah laki-laki penyendiri yang lebih kuat dari pada lingkungannya yang hidup bersama dan mungkin mengutuk Kurt karena sifat luarbiasanya. Hanya karena orang-orang tidak terbiasa dengan kata ‘persetan’ atau terlalu iri melihat Kurt dengan sepenuh hati menikmati kebebasannya.

Setelah itu Kurt pantas menerima status sebagai seorang Rocker, manusia Rocker. Kesendirian telah menciptakan seorang rocker sejati, dan menurutku Kurt Cobain setara dengan seorang nabi. Dia beragamakan Rock n roll, dan Nirvana adalah ruang kerjanya dalam menulis lagu-lagu yang sudah tak bias dibedakan lagi dengan sabda nabi.

Untuk itu, aku lebih percaya pada kesendirian Kurt daripada keharmonisan hidup bersama. Dia membangun eksistensinya dengan kesendirian dan rasa terasing.

Kembali beberapa bulan yang lalu, aku bertukar pikiran dengan seseorang penyendiri luar biasa di sebuah Bandar udara. Lalu kami berbicara tentang Eksistensialisme Sartre. Eksistensialisme, menurut sang penyendiri tersebut,adalah,  setiap manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan siapa dirinya bahkan semenjak dia dilahirkan kedunia. Aku setuju. Karena sangat tidak penting bagi seseorang untuk mengurusi kebebasan orang lain, toh, siapa saja juga memiliki kebebasan yang sama. Apalagi mengurusi rasionalitas seseorang, perlu disadari bahwa setiap manusia menembus dunia yang fana ini dengan cara hidupnya masing-masing.

Dengan alasan itu, aku berani mengatakan bahwa setiap manusia itu sama saja.

Sebagai contoh, aku membandingkan antara seorang dosen dan seorang tukang sapu jalanan. Pakaian, jumlah gaji, title, kekayaan, segala hal itu bukanlah sesuatu yang membedakan mereka. Apa yang dikerjakan oleh dosen dan apa yang dikerjakan oleh tukang sapu jalanan cuma punya satu tujuan yang sama, untuk mempertahankan diri dari rasa lapar, bertahan hidup.

Manusia harus mempertahankan hidupnya.

Dari cara mempertahankan hidupnya tersebut kemudian manusia akan berkumpul dengan kelompok-kelompoknya untuk berlindung hanya karena takut pada rasa lapar. Orang-orang akan membuat kesepakatan, baik itu menjadi koruptor, memberi label pada orang lain, menertawakan cara hidup orang lain, demi tujuan agar tidak didatangi ketakutannya, takut untuk “lapar”.

Oleh karena itu, aku tidak akan pernah percaya pada kesadaran kolektif yang dengan liciknya berkata bahwa semua itu adalah sebuah rasionalitas. Apakah rasa lapar tidak rasional? Apakah kesendirian tidak rasional? Apakah seorang penyendiri tidak pernah berpikir rasional? Dan apakah cita-cita pribadi juga tidak rasional? Satu hal yang aku yakini, bahwa rasionalitas bukanlah alasan untuk lari dari ketakutan akan rasa lapar, kesendirian, dan mengejar cita-cita pribadi.

Jika ingin menjadi rockstar, maka buatlah jalan untuk menjadi seorang rockstar.

Hidup ini tidak perlu direduksi dengan alasan rasionalitas, apalagi kemudian rasionalitas yang tidak jelas tersebut malah mengusik kehidupan orang lain yang notabene adalah manusia bebas. Ketakutan untuk lapar dan kemudian menjadi pencemooh. Eksistensi seseorang hanya akan lahir dari pembuktiannya melawan dunia. Seorang pencemooh yang mereduksi “kelaparannya” dengan alasan rasionalitas dengan sendirinya tenggelam dan menyatu dengan dunia yang harus dilawan ini, membuat norma-norma, lalu menjadi fana.

Norma-norma adalah produk ketakutan manusia yang menyerang diri sendiri, kemudian manusia menjadi sebuah norma pula, bukan manusia yang utuh dengan kebebasannya. “Manusia-manusia norma” tersebut membelenggu manusia-manusia lain dengan norma-norma yang ada, membelenggu dengan ketakutannya.


Tak ada pilihan lain kecuali melawan, toh, dari awal aku percaya setiap manusia itu sama. Tak ada yang perlu dikhawatirkan terhadap kebebasan karena tiap manusia punya hati nurani. Kemudian, untuk segala alasan yang muncul, itu hanyalah sebuah ketakutan…