Kamis, 24 November 2016

Sebab Mereka Hanya Menjual Ilmu


Kemampuan seseorang tanpa ajaran pengampu bisa dikategorikan bodoh atau lebih sopan tidak kompeten.

Unsur-unsur yang diterapkan harus mengacu pada sebuah asas penilaian atau yang sering ditutur oleh para bajingan adalah skor.

Menjunjung tinggi pemikiran kritis katanya, harus mengacu pada nilai dan norma yang berlaku katanya.

Kadang mereka tertawa disaat satu-satunya perintah adalah mendapat nilai terbaik.

Apakah sebuah kompetensi seorang harus diukur oleh kemapuan menjawab soal ujian? Atau melalui kemampuan dalam menghafal materi?

Itulah kenapa dia menjadi peminta atau yang sering disebut budak institusi tukang contek.

Setiap hari diwajibkan untuk mengikuti, mendengar dan mengerjakan. Setiap minggu ditagih dan setiap semester dituntut. Bukankah kita hanya mencari? Mencari ilmu yang dijual oleh mereka. Kadang mampu dan kadang merintih, tak tersirat sebenarnya.

Menghormati seseorang bukan berarti menjadi tunduk dan diam layaknya babu. Menghargai pendapat dan masukan merupakan hal yang wajib diteladani. Seharusnya berlaku disemua elemen institusi dan mirisnya apakah mahasiswa dianggap sebagai pelanggan?

Seberapa besar dan seberapa penting sebuah kompetensi seseorang? Seberapa besar niat mereka memberi sedang mereka sukar menerima?
Sebenarnya, apakah mengajar sama dengan mendidik?

Coba perhatikan sedikit dan pikirkan sejenak. Dimana hak yang dimaksud ketika sistem masih membedakan status?

Silent tears counterpart vulgar smiles


Everybody has taken their chance to be born
But no one has ever despised it.
Everybody should have taken their decision
But no one would gamble to spit.

                        They have ruled upon.
                        Once they took the execution,
                        They still want the abomination.
                        Should someone defy their showdown?

They indeed smile upon tears
For too many years.
Silencing every move to defend their loved ones
And banish every awareness.

                        Greed always drives to fight,
                        It never takes any objection
                        Nor believe any obligation.
                        To shine over one’s right.

They wear tie and fancy suits,
They sleep with many cameras,
While other wear rotten dress
And fight for their tears.

                       

Queen’s eyes


In several times she comb her light-brown hair,
Sometimes she did not at all.
In several occasions she stare at the stair
Without seeing a thing at all.
                                   

                                    The scenery is emphasize its awe eveywhere,
                                    While everyone is busy to stare.
                                    The Queen never stops give her share,
                                    Yet she insists not to go there.


Today is one day she expects to cry
She wants to try it harder,
While yesterday she expect herself to pry
And never she did such character.

                                   
                                    Earlier she burst her tears out
                                    She never ease her eyes without,
                                    Just thirty minutes later she found out
                                    Her sight finally come out.


Jumat, 11 November 2016

There's a Life and the Knife

Happy to forget about something that I don't even want to say for now

Can you hear me?

People hates the hatred, people likes to fake it

There's a lot in my mind. They come and go and come and go again.

They like a  bunch of picture from the past when I'm trying to remember or forget

There's a little pretty girl, there's a music, and everything comes on the ground of my brain

There's a life, and the knife.

But I don't want to go out and stab anything that I've got to hate

I just want to sing it all, sing it all night long, night and day

Until somebody comes to tell me it's wrong

or they don't care about anything at all

I will understand

Yes, I will understand.

But I will never stop to sing, never hates the hatred, and never likes to fake it.

And it could be a mistake.

Sabtu, 05 November 2016

Maze

Time's not on my side

This is always "I'm so big and you're so small"

But, well, you're pretty

And I'm so kind

I'm laughing while my head is such a hell

for nothing

Sleep, Baby, sleep.

And lift your head up when I call your name

You need to go, Pretty Picture

I'm on a maze,

So, what about you?

Because I don't want to spell out the love is in your pretty eyes

Selasa, 18 Oktober 2016

Puran

“ “Hujan turun. Semua orang terjebak. Aku terjebak. Seharusnya aku tidak keluar dari rumah. Tetapi, hujan sudah terlanjur turun dan aku terjebak di tengah kerumunan. Menakutkan. Sama halnya dengan mengatakan kenyataan, memberi pengertian yang sebenarnya kepada orang lain, atau seseorang. Sangat menakutkan. Sementara hujan masih begitu deras, aku terjebak di tengah kerumunan dan harus menghadapi kenyataan bahwa seseorang yang aku cintai (aku tertawa di saat menuliskan kata “cintai” ini. Entah kenapa) juga terkepung hujan.
“ “Sebenarnya aku tidak tahu pasti, apakah aku benar-benar jatuh cinta atau hanya mengalami kegilaan terobsesi dengan harapan yang muncul beberapa tahun lalu. Jika ini hanya sebuah obsesi, maka sebut saja aku seseorang yang gila. Dan jangan pernah hiraukan apa yang aku pikir dan lakukan. Akan lebih baik lagi jika kau bisa membedakan keduanya: obsesi, (gila), dan cinta. Namun, jika hujan turun begitu deras, ke mana kita harus pergi? Di situasi seperti itu, kau tidak bisa menghiraukan aku. Bukan karena aku sedang terobsesi atau jatuh cinta, tetapi karena kesopanan”.”, Puran menatap Zul yang sedang menutup buku catatannya. Dia baru saja mendengarkan kisah yang Zul tulis beberapa waktu lalu. Zul dan Puran adalah teman lama. Mereka adalah teman satu tim di sebuah sekolah sepakbola di saat masih duduk di bangku sekolah dasar. Ketika mereka satu kelas pada saat duduk di kelas tiga SMP, mereka berhasil menjuarai turnamen sekolah.
“Orang-orang akan menertawakanmu. Itukah yang kau alami beberapa waktu lalu?” tanya Puran.
“Aku juga berpikir seperti itu. Orang-orang menertawakanku. Dan itu membuat perutku mual. Ya, itulah yang kualami. Hujan turun, aku terjebak, gadis itu terjebak, orang-orang terjebak, dan aku tidak tahu harus membicarakan apa. Meskipun aku terus berbicara dengannya.”
“Jika memang seperti itu kenyataannya. . .”
“Aku semakin mual.” Potong Zul.
“Apa kau baik-baik saja?” tanya Puran.
“Tidak. Aku tidak baik-baik saja. Bagaimana jika dia tahu?”
“Dia? Dia siapa? Oh, dia. Apa yang dia tahu?”
“Maksudku, bagaimana jika dia merasa terganggu?”
“Terganggu? Ini hanya tulisan. Kau bisa membuatnya menjadi sebuah fiksi, dia tidak berhak merasa terganggu karena itu. Menurutku, kau boleh sedikit membencinya apabila dia merasa terganggu.”
“Tulisan ini barulah sebuah rencana. Akan kupublikasikan nanti. Hanya saja, sebisa mungkin jangan sampai ada yang merasa terganggu karenanya.”
“Kau sudah menceritakan tulisan ini padaku. Menurutku, tidak ada yang mengganggu.”
“Bagaimana kau tahu bahwa dia tidak berhak merasa terganggu?”
“Zul, kukatakan padamu, jika gadis itu merasa jijik padamu, barulah dia akan merasa terganggu.”
“Oh, ya? Lalu, apa yang sebaiknya kulakukan jika dia benar-benar seperti yang kau katakan?”
“Tinggalkan dia. Tetapi jangan tinggalkan ceritamu. Hidup ini terlalu singkat, kau tidak akan punya waktu untuk menyesal karena menyia-nyiakan sesuatu yang membuatmu hidup seperti sekarang ini. Sekali-kali, kau harus lari. Jika ini adalah penjara bagimu, maka lari. Dan jangan lupa untuk mengikatkan naskahmu di kaki jika kau ingin lari seperti Andy Dufrene.”
Aku selalu menjadi pendengar di saat-saat seperti ini. Memikirkan sesuatu untuk dikatakan membuat perutku semakin mual. "Kau tahu, saat aku masih SD, aku akan muntah jika merasa terlalu takut.”
“Oh, ya? Apa yang terjadi pada saat itu?”
“Aku masih kelas enam, hari sudah malam, dan semua toko di pasar sudah tutup. Besok, akan ada praktek di kelas pengetahuan alam dan salah satu peralatan yang dibutuhkan adalah spiritus. Jam pertama. Kau tahu, aku lupa membeli spiritus. Dan hukuman yang aku bayangkan bakal kuterima jika aku tidak membawa barang itu sangat membuatku takut pada saat itu. Lalu, kukatakan pada ibuku, bahwa aku harus membawa spiritus untuk besok, tetapi hari sudah terlalu malam untuk pergi membeli barang tersebut.
“Kemudian, aku mulai menangis karena ketakutan. Ibuku, kedua saudaraku, tanteku, nenekku, ayahku, tidak satupun dari mereka yang bisa membuatku tenang. Ibuku berjanji akan membelinya besok pagi dan menghantarkan spiritus sialan itu ke sekolah. Tetapi, aku tidak melihat dan memahami apa yang dilihat dan dipahami oleh ibuku dan siapapun di ruangan itu. Aku terus menangis ketakukan sambil berbaring di atas sofa. Aku panik. Semua orang melihat bahwa masih ada kesempatan untukku, tetapi aku tidak. Tangisanku semakin menjadi-jadi dan ‘weekkk!’, lantai di bawah kepalaku berserakan dengan muntahan. Kemudian, aku lupa apa yang terjadi selanjutnya. Sepertinya aku langsung tertidur. Atau pingsan? Aku tidak ingat.”
“Lalu, bagaimana dengan spiritusnya? Apa kau mendapatkannya?”
“Aku tidak ingat. Bahkan aku tidak ingat apa yang terjadi di sekolah keesokan harinya. Dan aku tidak pernah ingin mengingatnya. Aku merasa pengalaman itu merubah cara pandangku terhadap hidup. Aku tidak mengerti, mengapa aku begitu takut, mengapa aku muntah, tetapi, itulah yang terjadi. Dan semua orang di keluargaku masih mengingat kejadian itu hingga sekarang. Sebelas tahun kemudian, keponakan pertamaku, seorang laki-laki yang baru dua tahun, juga memuntahkan isi perutnya jika terlalu lama menangis. Ketika aku melihat keponakanku seperti itu, aku sedikit terganggu dengan pikiran bahwa dia akan menjadi seperti diriku di saat dewasa. Di saat keponakanku menangis dan muntah, ibuku mengatakan padaku, “dia (keponakanku) seperti kamu”.
“Dan aku menyadari, bahwa antara aku dan keponakanku tersebut memang memiliki beberapa kemiripan. Kami sangat dekat, dan kupikir, itu adalah sebuah keserasian.”
“Lalu, akan ada kesamaan antara kau dan keponakanmu. Termasuk dalam caranya menghadapi perempuan. Bukankah itu yang sedang kau bicarakan sebenarnya?”
“Aku pikir begitu. Meskipun aku tidak menginginkannya mengalami hal itu. Tapi, jika teori ini valid, suatu saat keponakanku akan mengenal seorang perempuan yang membuatnya jatuh cinta atau terobsesi, kemudian merasakan apa yang aku rasakan pada saat ini. Tetapi, aku tidak khawatir, sebab, keponakanku adalah tipikal anak yang sangat aktif. Itu menandakan kecerdasan. Dia sudah berlari seperti anak  berusia lima tahun, tidak menangis jika terjatuh, dan, ini yang paling kusuka, dia akan memintaku membacakan sesuatu untuknya jika menemukanku di kamar sedang membaca buku.”
“Oh, ya? Apa yang kau bacakan untuknya?”
“Tentang Daendles. Jalan Raya Pos. Keponakanku akan duduk termangu mendengarkanku membacakan cerita. Ketika aku berhenti untuk jeda, aku menatapnya, dan wajahnya begitu serius. Aku ingin menciumnya pada saat seperti itu. Dia begitu lucu. Tetapi, aku akan kembali pada cerita. Hari berikutnya, dia akan mengatakan, “Om, nyanyi orang jahat” setiap kali dia ingin aku membacakan kisah tentang Daendles. Kenapa dia mengucapkan kata “nyanyi” untuk mengatakan “cerita”, aku tidak tahu.”
“Apa yang kau harapkan dari keponakanmu itu?”
“Aku tidak tahu.”
“Lalu, apa yang kau harapkan dari dirimu?” pertanyaan Puran digantikan dengan sunyi. Zul nyaris saja mengatakan “aku tidak tahu”, tetapi dia berhasil menahan diri. Kemudian Puran memperjelas pertanyaannya,
“Kau tahu apa yang kau hadapi. Entah itu obsesi atau cinta. Lalu, apa yang kau harapkan dari dirimu untuk kau lakukan?”

“Entahlah. Aku mual.” Jawab Zul.

To Blur and Oasis

I hear something in my ears,

Part of Oasis, part of Blur. .

I see something in my mind,

Liam and Albarn are just looks like the same each other

Am I right?

They’re nineties, they’re famous, they’re a star, they’re a singer, they’re on the band

They were young, and they’re British.

I can’t see no differencies

“No one’s gonna tell her what I am about?”

Who is ‘her’?

“She’s a twentieth  century girl”

Now I’m sitting in a chair when the people called the years 2016

“This is the next century,”

But the songs “are gonna live forever”.

Now take a look to myself,

I’m afraid to see, to feel what I feel,

To do what I want to.


“It’s nothing special”.