The script that I ever wrote,
and the earth that's spinning,
and the yellow and blue,
it all takes me back to the young broken glass theory made in the room full of books all around her.
They were small,
little like a bunch of stones and the long chair on the side of corridor between the flowers and the windows.
Then the fences,
I used to stand below the flag between a few...
(Why am I always looking at them?)
It's a tricky trick when you go round around very closely to the eyes without hiding behind something tricky.
What's behind you?
I don't even know either.
And suddenly,
I can't go anywhere anymore
But the shore,
And magically,
that broken glass transcends his believing as it doesn't even matter
Standing here,
A little distance from your eyes, and
Watching me,
whispering to you...
Dimana ketika segalanya ingin dituangkan kedalam sebuah tulisan, disinilah aku menggoreskannya.
Senin, 28 Mei 2018
Minggu, 20 Mei 2018
Healthy Way of Life
Aku tidak menyembah wanita yang aku cintai lagi. Sudah selesai dengan semuanya. Langitku sudah mendung sejak hati kecilku masih berupa janin. Adakah kau mengerti akan hal tersebut, Women? Untuk itu, seharusnya aku tidak mengenal cinta dengan cara seperti ini sama sekali.
Pernah suatu waktu aku mengalahkan puisiku sendiri dalam waktu satu malam. Lalu, kukatakan pada diriku, bahwa mimpi itu sama halnya dengan membangun istana untuk seorang putri kecil cengeng dan penangis. Tidak cocok untuk diberikan sehelai kain tanpa nama. Dia maunya Lea.
Tapi kini, sejak aku tidak bermasalah dengan hukum adat yang modern itu, semuanya menjadi indah pada waktunya. Dengan segala macam komedi yang telah kupersiapkan dengan diriku sendiri dari masa ke masa, akhinya blog pribadiku ini terisi kembali dengan cerita yang sangat tidak berhati-hati.
Aku rasa setiap pembaca sudah tahu apa yang mereka baca. Jika masih ada yang tidak, lalu untuk apa empat sampai tujuh tahun yang lalu itu? Di mana berpikir adalah intisari dari praktik dan segala yang muncul dan eksis di muka Bumi ini. Satu hal yang masih kupegang teguh sejak diriku masih kanak-kanak: aku tidak akan ke mana-mana.
Kuberitahu kau sesuatu...
Aku memulai kesalahanku yang sebenarnya kira-kira sekitar tujuh atau delapan tahun yang lalu. Matahari terbit dan aku bermain cinta dengan bidadari yang salah. Disitulah pintu kesalahannya. Begitu bidadari ini mulai mencintaiku, kebahagiaan melenyapkan semuanya. Termasuk kebahagiaan itu sendiri. Sehingga aku melakukan ikrar yang terlalu berlebihan dan mengemis, memohon, dan berfilsafat kemudian. Semuanya telah dimulai, dan aku tidak pernah bermain-main lagi.
Cinta yang kubawa sampai mati ini rasanya tidak perlu dikekalkan seperti keabadian. Selain itu, untuk hidup, perjuanganku sedang berjalan lurus menuju pintu-pintu pendaftaran bertema silverscreen serta seorang gadis dari Australia yang masih aku rahasiakan.
Di balik itu semua, aku kira masalalu telah mengundang untuk sejenak kembali mengembara ke titik-titiknya yang fana dimana puisi-puisiku masih berbicara tentang oase serta surga dan neraka. Atau eksistensi berbasis puzzle dengan teka-teki ringan mengenai Kurt Cobain yang kini masih melatihku untuk menjadi praktisi. Atau dengan imajinasi berani yang dulu sempat kusebarkan layaknya omong kosong yang berasal dari hati kecil yang terdalam.
Palung itu masih kutuju. Kurenangi bagian-bagian tersulitnya hingga diriku ternyata masih mampu merasakan ujung hidungku sendiri. Bangku taman yang kutinggalkan masih sendirian di bawah pohon yang tumbuh liar sejak kepergianku mencari seorang gadis kecil bernama Ningsih. Itulah rahasia yang bertahun-tahun kupetakan demi mencetak sejarah sebagai penanam harta karun paling dicari di seantero jagad raya yang sombong ini.
Di balik semua sejarah pembongkaran hawa nafsu, cinta dan prahara itu, aku kembali menyaksikan tulisan-tulisan lama yang tidak kutulis menggunakan tinta darah, tetapi keringatku yang membasahi kulit-kulit kertas itu sendiri telah lelah menjadi darah. Perannya terungkap sebagai pencatut misi rahasia yang seharusnya dimiliki oleh sel-sel lain, karena pada hakikatnya, darah mengalir di dalam tubuh manusia, bukan di udara terbuka seperti di medan perang.
Kini aku bebas dalam mengabarkan cerita. Rapi seperti stand up comedy Jim Carrey, merangsang seperti gesekan piano Albert Einstein di pelosok ide Bob Dylan bernama Desolation Row, menantang seperti puisi Zack de la Rocha yang mampu membuatnya turun dari gunung, tak tertangkal seperti Tom Morello, dan, for my healthy way of life, I decide to leave myself alone with the memories inside. Very beautiful, to see my party garden when nobody dance in it and no one knows how to make a loudy song. Very unhealhty.
Pernah suatu waktu aku mengalahkan puisiku sendiri dalam waktu satu malam. Lalu, kukatakan pada diriku, bahwa mimpi itu sama halnya dengan membangun istana untuk seorang putri kecil cengeng dan penangis. Tidak cocok untuk diberikan sehelai kain tanpa nama. Dia maunya Lea.
Tapi kini, sejak aku tidak bermasalah dengan hukum adat yang modern itu, semuanya menjadi indah pada waktunya. Dengan segala macam komedi yang telah kupersiapkan dengan diriku sendiri dari masa ke masa, akhinya blog pribadiku ini terisi kembali dengan cerita yang sangat tidak berhati-hati.
Aku rasa setiap pembaca sudah tahu apa yang mereka baca. Jika masih ada yang tidak, lalu untuk apa empat sampai tujuh tahun yang lalu itu? Di mana berpikir adalah intisari dari praktik dan segala yang muncul dan eksis di muka Bumi ini. Satu hal yang masih kupegang teguh sejak diriku masih kanak-kanak: aku tidak akan ke mana-mana.
Kuberitahu kau sesuatu...
Aku memulai kesalahanku yang sebenarnya kira-kira sekitar tujuh atau delapan tahun yang lalu. Matahari terbit dan aku bermain cinta dengan bidadari yang salah. Disitulah pintu kesalahannya. Begitu bidadari ini mulai mencintaiku, kebahagiaan melenyapkan semuanya. Termasuk kebahagiaan itu sendiri. Sehingga aku melakukan ikrar yang terlalu berlebihan dan mengemis, memohon, dan berfilsafat kemudian. Semuanya telah dimulai, dan aku tidak pernah bermain-main lagi.
Cinta yang kubawa sampai mati ini rasanya tidak perlu dikekalkan seperti keabadian. Selain itu, untuk hidup, perjuanganku sedang berjalan lurus menuju pintu-pintu pendaftaran bertema silverscreen serta seorang gadis dari Australia yang masih aku rahasiakan.
Di balik itu semua, aku kira masalalu telah mengundang untuk sejenak kembali mengembara ke titik-titiknya yang fana dimana puisi-puisiku masih berbicara tentang oase serta surga dan neraka. Atau eksistensi berbasis puzzle dengan teka-teki ringan mengenai Kurt Cobain yang kini masih melatihku untuk menjadi praktisi. Atau dengan imajinasi berani yang dulu sempat kusebarkan layaknya omong kosong yang berasal dari hati kecil yang terdalam.
Palung itu masih kutuju. Kurenangi bagian-bagian tersulitnya hingga diriku ternyata masih mampu merasakan ujung hidungku sendiri. Bangku taman yang kutinggalkan masih sendirian di bawah pohon yang tumbuh liar sejak kepergianku mencari seorang gadis kecil bernama Ningsih. Itulah rahasia yang bertahun-tahun kupetakan demi mencetak sejarah sebagai penanam harta karun paling dicari di seantero jagad raya yang sombong ini.
Di balik semua sejarah pembongkaran hawa nafsu, cinta dan prahara itu, aku kembali menyaksikan tulisan-tulisan lama yang tidak kutulis menggunakan tinta darah, tetapi keringatku yang membasahi kulit-kulit kertas itu sendiri telah lelah menjadi darah. Perannya terungkap sebagai pencatut misi rahasia yang seharusnya dimiliki oleh sel-sel lain, karena pada hakikatnya, darah mengalir di dalam tubuh manusia, bukan di udara terbuka seperti di medan perang.
Kini aku bebas dalam mengabarkan cerita. Rapi seperti stand up comedy Jim Carrey, merangsang seperti gesekan piano Albert Einstein di pelosok ide Bob Dylan bernama Desolation Row, menantang seperti puisi Zack de la Rocha yang mampu membuatnya turun dari gunung, tak tertangkal seperti Tom Morello, dan, for my healthy way of life, I decide to leave myself alone with the memories inside. Very beautiful, to see my party garden when nobody dance in it and no one knows how to make a loudy song. Very unhealhty.
Minggu, 15 Oktober 2017
Foto...
Kutarik waktu di kalender handphone
kembali menuju ke bulan di awal-awal kita menjadi siswa di SMA yang jelek itu.
Kuperhatikan angka-angkanya, dan untuk
selintas, aku merasa diri ini terbawa kembali ke masa itu.
Tentu saja semua perasaan yang datang
kemudian ada alasan yang mendahului,
Benar saja, satu jam yang lalu, aku
mendengarkan Winter Lady-nya Leonard Cohen sambil memandangi foto-fotomu yang
kudapat dari akun istagram yang temanku kirimkan beberapa bulan yang lalu.
Traveling
lady stay a while until the night is over. I’m just the station on your way. You
know I’m not your lover.
Lalu, aku menyadari satu hal, dan
mungkin itulah alasan dari semua ini.
Di dahimu, terselip sebuah tahi lalat di
tempat yang persis sama dengan yang kumiliki.
Senin, 24 April 2017
NEUROTIK SEJAK LAHIR
Aku
tulis kisahku di kertas yang samar-samar,
Ketakutan-ketakutan
itu datang dengan caranya yang aneh.
Sepertinya,
aku merasakan kebahagiaan sedang bersembunyi di antara lorong-lorong
labirinnya.
Di
dalam mimpiku, kadang ia ialah seorang wanita.
Dalam
mimpiku, dia adalah keinginan besar untuk menjadi rockstar.
Dia
membawaku ke dalam kemuliaan yang tercela, keberanian yang paranoid,
keberuntungan yang sial, gerak yang diam.
“Aku
ingin membuktikan bahwa Marx salah! “Ia terdiam, lalu menambahkan, “Namun,
Kapitalis juga salah.”
Orang-orang
memandangnya dengan tidak peduli, dengan kuping yang tak mendengarkan.
Bahkan,
ia sudah murtad dari agama yang bernama ‘Akupun adalah bekas dari seseorang
yang pernah tidak peduli dengan diriku sendiri’.
Dia
adalah anak pahala dan dosa.
“I got you!!!” Ucap Dunia ketika
menyambutnya di dunia.
Lalu,
ia berteriak sekencang-kencangnya, namun, kata dokter ia normal jika menangis.
“AAAAKKK!!!
(Aku berteriak, bukan menangis)”, ucapnya.
Sekarang,
siapa yang masih mengingat kesadaran mereka ketika kita pertama kali menyusui?
Mungkinkah
kesadaran itu terasa seperti bagaimana rasanya dilahirkan?
Hal-hal
yang harusnya terucapkan namun terlupakan?
Bukankah
seperti itu takdir?
Aku
sudah tahu takdirku, dan bisa membelokkannya ke arah manapun aku mau,
Dan
itu perjalanan yang berat, kawan, karena setelah itu kita akan terlahir
kembali.
Bukankah
itu sebuah reinkarnasi?
Sayangnya,
kita mengartikan dengan salah keniscayaan yang dimiliki oleh agama.
Seseorang,
entah siapa namanya, berteriak, “Abad Kegelapan sudah berakhir!”, lalu,
“DUARRR!”, berteriaklah si kecil Rennaisance.
Di
Indonesia, istilah ini digubah oleh R. A. Kartini, seorang puteri bupati.
Bukankah
Thomas Aquinas adalah anak zamannya Abad Kegelapan?
Bukankah
Kartini juga?
Lalu,
barulah kita menyerah dan ditakdirkan untuk dilahirkan kembali.
Bukankah
setiap agama di Indonesia percaya dengan kebangkitan kembali? Terlepas dari
dirayakan atau tidak?
Apakah
kita harus membicarakan Sukarno?
Coba
kita bandingkan dengan George Washington, siapa yang paling keren?
Dan
kalian, hanya sibuk dengan pencarian akan sebuah pertanyaan seperti di atas.
Aku
tidak peduli dengan siapa pun di antara mereka.
Tetapi,
aku kagum kepada istilah ‘Ibu Pertiwi’, ‘Morherland’.
Dan,
kalau harus memilih, siapa yang paling pantas mendapatkan gelar sebagai ‘Miss Universe’, aku akan memilih seorang
pemenang.
Siapa
yang memilih para Miss Universe ini?
Merekalah,
rockstar.
Orang-orang
yang tidak seharusnya berada di sana.
Mereka
adalah teman Para Presiden.
Ada
pertanyaan???
Mereka
sama-sama menjadi incaran para wartawan. Sebuah bagian dari permainan politik.
Jika
kita harus memilih antara Pak Presiden dan seorang rockstar, siapa di antara kita yang akan menolak keduanya, jika
jawabannya adalah keduanya merupakan korporasi di balik layar Miss Universe? Milik media yang
mempekerjakan para wartawan, orang-orang yang mengincar keduanya?
Mari
kita lihat kembali apa yang terjadi dengan John F. Kennedy. Bayangkan jika
peristiwa di Grassy Knoll hanya
sebuah sandiwara. Bayangkan jika Abad Pertengahan dan Rennaisance adalah sebuah permainan.
Rasanya
mungkin seperti mengalami kekalahan dan kemenangan, dikuasai atau menguasai.
Sesuatu
terjadi padaku, dan aku tidak punya alasan lain untuk tidak mengatakannya.
Beranikah
kita berhenti?
Jumat, 10 Februari 2017
II
AKU
Menurutku,
dia pergi karena tidak yakin dengan apa yang akan dikatakannya. Pernah suatu
hari dia berkata bahwa aku mengurungnya dengan kebenaran-kebenaran yang
kupaksakan padanya. Kapan aku pernah melakukan hal semacam itu? Aku
menanggapinya dengan mengatakan bahwa aku tidak bermaksud seperti itu,
sebaliknya, aku justru ingin membebaskannya. Entah dari apa. Upayaku untuk
membuka pintu-pintu yang masih tertutup dianggapnya sebagai dinding pembatas.
Di
malam harinya, kami makan di sebuah restoran kecil di dekat sungai yang
mengalir dari barat kota menuju selatan, sebuah desa kecil yang terkenal dengan
perkebunan kopinya.
"Bagaimana
fiksimu?" Ia menyalakan sebatang rokok. Wajahnya lesu.
"Aku
tidak tahu, aku masih sangat malas memikirkan pakaian apa yang digunakan oleh
karakter-karakterku. Aku tahu itu penting, tapi aku tidak dapat menikmati hidup
jika aku melakukannya. Hal-hal semacam itu membuatku merasa terkurung."
"Lalu,
apa yang kau lakukan?" Kali ini, dia terlihat agak bersemangat. Secercah
cahaya muncul di wajahnya.
"Aku
mencoba untuk keluar, terus menerus, hingga akhirnya secara perlahan aku dapat
melihatnya sebagai tantangan. Kecuali, aku memang orang yang pantas untuk
dikurung. Apakah menurutmu aku pantas?"
"Kau
yang mengurungku." Kali ini dengan nada bercanda.
"Aku
bahkan tidak bisa menjelaskan apakah penjara adalah tempat yang baik atau
buruk. Maksudku, bukan karena kita melanggar aturan, lalu kita dipenjara, dan
kita menyadari kesalahan yang sudah kita lakukan. Bukan penjara seperti itu yang
aku pikirkan. Penjara ini adalah penjara yang ada di dalam diriku, di dalam
dirimu, dan di dalam diri semua orang. Dimana mereka yang tidak terkurung
hanyalah para sipir. Jika kau berusaha menemukan jalan keluar, aku berusaha
menemukan jalan keluar, maka kau tidak akan berkata bahwa aku yang mengurungmu."
"Siapa
para sipir itu? Apakah mereka orang baik?"
"Semua
yang kukenal adalah kaum intelektual."
"Kau
mengenal mereka?"
"Ya,
tentu saja. Beberapa tahun lalu. Maksudku, aku juga membaca buku, kau juga
membaca buku, dan tidak terhitung jumlahnya di dunia ini orang yang membaca
buku. Itu saja. Aku tidak perlu merecoki bagaimana dan apa yang kau pikirkan
setelah itu. Aku tidak ingin terlihat pintar dengan cara kau harus terlihat
bodoh. Begitu juga sebaliknya."
"Kenapa?"
"Karena
kau membaca buku, aku membaca buku, dan tidak terhitung jumlahnya di dunia ini
orang yang membaca buku." Lagu Leonard Cohen mengalun indah dimainkan oleh
beberapa lelaki muda di atas panggung restoran.
I had lit a green
little candle, to make you jealous of me. But, the room just filled up with
mosquitos, they heard that my body was free.
"Boleh
aku bertanya sesuatu?"
"Silahkan."
Jawabku.
"Seberapa
kesal kau terhadap mereka?"
"Sangat."
Jawabku dingin.
Pembicaraanku
dengannya di malam itu menyelesaikan permasalahan yang kami pendam sekian tahun
lamanya. Hanya dialog. Itulah yang aku butuhkan. Setelah itu, kami menyaksikan
Bill Burr di acara Conan sambil
berbaring di atas kasur.
"Bukankah
kau seorang penulis di dalam fiksimu?"
"Ya.
Bagaimana menurutmu?" Ia kemudian menarik naskah dari atas meja. Tangan
kirinya melintasi dadaku, lalu membolak-balikkan halaman naskah sambil berkata,
"Tidak
adakah sesuatu yang mengganggumu?"
"Ya,
tapi aku sudah menemukan jawabannya. Karya ini sudah terekam dengan baik
sehingga menjadi rekaman terbaik yang pernah ada."
"Aku
pikir ini adalah bentuk yang paling mendekati kemurnian dari sebuah karya
kontemporer." Ucapnya sembari menaruh kembali naskah itu ke atas meja, tangannya
melintasi tanganku, lalu kembali menonton televisi.
"Seharusnya
kau tidak menanyakannya." Ucapku sambil bercanda.
"Kenapa?"
"Tidak
apa-apa. Aku hanya bercanda. Aku berharap sesuatu yang besar terjadi, semacam
ledakan ide yang luar biasa. Bill Burr menggunakan baju yang serupa dengan yang
digunakannya di acara Stephen Colbert. Apa kau menyadarinya?"
"Ya.
Dia menggunakan kaos polos berwarna hitam dengan lengan panjang."
"Apakah
itu penting?"
"Ya,
untuk sebuah karya visual. Kita dapat menangkap detail semacam itu di sana.
Tapi aku lebih menyukai apa yang aku dengarkan daripada yang aku lihat. Kecuali
pada saat bermimpi, sebab tidak ada seorang pun yang bisa menyediakan mimpi
untuk orang lain. Hanya penglihatan seperti itu yang aku sukai."
"Imajinasi."
ucapku.
Malam
itu, akhirnya dia mengerti bahwa aku berada di pihaknya dan pengertian itu
adalah sebuah rekaman yang harus ia jaga sebaik mungkin. Lalu aku bermimpi, beberapa
teman-teman intelektual menatapku dengan penuh kebencian. Aku tidak dapat
bergerak, apalagi pergi dari tempat aku berdiri. Namun, lambat laun aku
menyadari bahwa tatapan itu tidak benar-benar mengarah padaku, tetapi hanya
kepada tubuhku yang berdiri seperti patung. Mereka dapat melihat pakaian yang
aku kenakan, tetapi tidak dapat menyadari bahwa ada seseorang yang sedang
menatap mereka semua dengan tatapan yang jauh dari rasa benci: Aku.
Rabu, 08 Februari 2017
I
JAM
BEKER
"Siapapun boleh membacanya, mengomentarinya,
tetapi, tolong, jangan tanyakan tentang apa."
Jangan
tunjukkan kebencian, sedikitpun. Jangan. Jangan pernah. Tutupi sebisa mungkin.
Sebisa mungkin. Berikan kepada Tuhan. Tuhan? Hahaha. Rasa takut, ia muncul,
larut, dan menyebar hingga ke ujung rambut. Disitulah aku berpikir bahwa aku
akan gila atau sudah gila. Kalimat yang kubuat diatur dan dipenjara. Oleh
negara? Rasa takut, ia muncul, larut, dan rasa nyeri muncul di otot lengan
tangan kiriku. Manusia memiliki batasnya masing-masing. Aku ragu, beginikah
sakitnya berada di ambang batas. Paranoid. Aku lelah, memikirkan tidur. Aku
tidak menggunakan apa-apa lagi untuk "melarikan diri" sudah sejak
setahun yang lalu. Tapi, mengapa aku merasa bahwa arwahku sedang ingin keluar
dari dalam tubuh ini? Ya, usiaku 24 tahun tahun ini. Lahir bulan September
tanggal 25. Aku seorang Libra. Lihat, timbangan itu membuatku resah. Aku lahir
di tanggal dan bulan yang sama dengan William Faulkner.
Orang
lain adalah kehidupan yang aneh. Aku tidak tahu, karena mereka, orang lain itu,
aku menghembuskan nafas berat yang terdengar seperti tawa. Namun, tawa sinis
yang sudah sangat sering kulakukan. Teman? Tanpa mereka, aku mungkin akan mati,
dengan mereka, aku tersiksa. Bayangan seorang perempuan bijak berkelebat di
dalam pikiranku dan berkata, "cobalah berpikir positif", aku tidak
ingin mengikuti perintahnya karena aku takut akan jatuh cinta padanya.
Firasatku pun mengatakan, perempuan seperti itu, siapapun dia, akan pergi meninggalkanku.
Perempuan itu, sepertihalnya teman-temannya, perempuan-perempuan lain. Aku bisa
mencintai mereka satu per satu dengan atau tanpa alasan, namun, lebih baik aku
tidak memikirkan mereka semua.
Aku
tidak ingin berhenti memikirkan mereka, para perempuan. Bahkan, aku rela
menghabiskan seluruh malam hanya untuk mengutarakan perasaanku tentang mereka.
Bagaimana mereka jika sedang tersinggung, bagaimana mereka ketika berkhianat,
bagaimana mereka ketika melakukan hal-hal jahat yang tak pernah dilakukan oleh
siapapun di dunia ini kecuali oleh mereka sendiri. Dengan sinis dan jujur
kukatakan, itulah yang membuat mereka tampak sempurna. Namun, pada
kenyataannya, aku tidak ingin membuat mereka marah.
Beberapa
perempuan yang kukenal, adalah perempuan-perempuan rumit dan terlalu mudah
untuk dicintai. Aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak menduga-duga. Aku
mencoba untuk berpikir positif, bahwa, mereka akan dengan mudah mencintaiku
sepertihalnya diriku terhadap mereka, sehingga aku setidaknya bisa merasakan
sedikit ke-normal-an dalam hidup, meskipun aku tidak dapat mengerti sepenuhnya
apa itu normal. Kondisi itu, membuat bayangan-bayangan berkelebat di dalam
pikiranku: Ben Kingsley sebagai Mahatma Gandhi; poster John Lennon setelah The Beatles berakhir; tulisan
"televisi"; Misty Mountain yang sekarat di dalam film Nice Guy, seorang anak kecil yang
menyelimutinya dengan baju tidur, David Letterman dan Howard Stern. Aku tidak
bisa menghentikan bayangan-bayangan itu. Bayangan-bayangan itu kemudian
digantikan oleh setumpuk ide yang berserakan yang kucoba untuk menatanya.
Baiklah.
Aku mencoba untuk jujur dengan cerita ini. Hal yang sebenarnya ingin aku
ceritakan adalah cerita tentang kekacauan yang muncul akibat pandangan umum
yang sangat keras dan dipenuhi dengan rambu-rambu intelektualitas. Kekacauan
itu sendiri terjadi di dalam diriku seperti kutukan yang akan terus hadir
selama aku mencoba melawan dengan tidak mau mempercayai penyebab-penyebabnya.
Aku
lahir di sebuah kota kecil. Aku pertama kali bersentuhan dengan fiksi pada saat
berusia 11 tahun dan tidak berhenti membaca fiksi sampai sekarang. Namun, tidak
seperti karya fiksi yang sudah kubaca, aku selalu gagal menciptakan karakter di
dalam fiksiku sendiri. Aku sudah mencoba dan bisa, namun kugagalkan karena
membuatku tidak dapat menikmati hidup. Karakter yang muncul dalam fiksiku,
duniaku, kubiarkan tidak sempurna. Kubiarkan mereka muncul dari
kebetulan-kebetulan dan tidak kutuntut diriku untuk menjelaskan apalagi
mempertanggungjawabkan kehadiran mereka. Dengan demikian, aku dapat menyadari
caraku dalam memandang dunia.
Menurutku,
ada dua dunia. Pikiran dan realitas. Sebagai pribadi, aku merasa utuh di
keduanya. Sebagai bagian dari masyarakat, aku merasa bahwa karakter-karakter
lain yang muncul secara kebetulan di dalam fiksiku adalah sekumpulan
ketidaksempurnaan, orang lain. Begitulah cara pikiranku menyerap dunia luar ke
dalam dirinya.
Seorang
perempuan yang menjadi salah satu karakterku, tidak mengerti dengan beberapa
lembar naskah yang kuberikan padanya sekalipun jika perempuan itu jatuh cinta
padaku. Ia menatap naskah itu, wajahnya tetap cantik dengan rambut panjangnya
yang terurai menutupi sebagian wajahnya, ia tersenyum dengan tulus dan penuh
cinta, tetapi aku tidak yakin, apakah ia mengerti dengan apa yang sedang
dihadapinya, naskah itu. Aku terpaksa membuatnya tersenyum manis demi menghibur
diriku sendiri. Hanya senyum.
Ia
tahu bahwa naskah yang kuberikan adalah cerita yang aneh, sesekali air mukanya
berubah, lalu kuminta kembali naskah itu dengan keramahan naluriahku.
"Apakah kamu kebingungan?", tanyaku. Dia mengatakan bahwa ceritaku
bagus dan membuat dirinya semakin jatuh hati padaku. Aku adalah seorang pria
dewasa sekarang, dan aku berhak sepenuhnya atas hidupku. Ia mengatakan bahwa ia
dapat memaklumi setiap hal yang kutulis dalam naskah itu, berpikir sejenak,
lalu ia berkata, "Aku dapat menerima apapun yang kau tulis."
Aku
mengalihkan perhatian kepada naskah yang kini sudah berada di pangkuanku. Beberapa
menit tenggelam ke dalam naskah, aku mulai merasa aneh perempuan itu masih
duduk di sampingku, walaupun dengan sepenuh hati aku menginginkan ia duduk di
sana selama mungkin. Terserah, apakah ia kemudian bermain dengan androidnya,
dia harus duduk di sana. Dan ia memang hanya duduk di sana, sambil bermain
dengan salah satu aplikasi androidnya. Sekarang, sepasang manusia tengah duduk
bersama dimana kertas HVS bertuliskan cerita aneh bersanding dengan aplikasi
instagram dari sebuah alat komunikasi zaman sekarang. Pukul delapan pagi,
sebuah jam beker berdering: mataku terbuka karena deringnya, dan hal pertama
yang aku lihat adalah android milik karakter perempuanku berada di atas naskah
yang sedang kutulis. Namun, jam beker yang berdering itu tidak membangunkannya,
perempuan itu.
***
MAROON CURTAIN
Ia
masih tertidur dan kubiarkan ia tetap seperti itu karena aku ingin membiarkan
mimpinya mengalir begitu saja, atau juga karena ia sendiri mungkin tidak ingin
kehilangan mimpinya yang mengalir begitu saja. "Suatu saat, engkau akan
kuberi nama." ucapku padanya meskipun aku tahu bahwa ia sedang tertidur.
Perempuan itu hanya bernafas dan bernafas. Tubuhnya membelakangi jendela
bertirai maroon. Aku melihat cahaya
matahari di sana. Kupejamkan mataku namun tidak jatuh tertidur.
"Jangan
katakan bahwa aku lelah", sekali lagi aku berbicara di hadapan seorang
perempuan yang sedang tertidur. Namun, kali ini ia mendengarnya. Aku mendengar
suara senyumnya, "hmmmh". Ini situasi yang aneh, namun aku menahan
diri untuk tidak mengernyitkan dahi. Sebab, mataku berada tepat di depan
matanya. Kasur di bawah tubuhku telah menjebak diriku ke dalam situasi yang
aneh ini. Aku ingin melarikan diri.
"Aku harus
bekerja." Ucapku. Sejujurnya, karakterku yang satu ini sangat menyiksaku,
mengikat pikiranku. Apakah dia sebenarnya? "I wanna go home." ucap perempuan itu kemudian. Ia beranjak
dari kasur, mengganti pakaiannya, dan pergi.
Selasa, 07 Februari 2017
Dialogue
There is no dialogue.
That's not the dialogue.
It can't be the real dialogue.
The destiny of dialogue,
It makes a Hero of dialogue.
Langganan:
Postingan (Atom)