Selasa, 17 Desember 2013

Sebenarnya bukan Manusia-lah yang Mengkonsumsi Teknologi dan Sabda Tuhan adalah Trend

Hidup adalah cerita tentang bergerak maju di jalanan diantara para manusia, terkadang kita melewati perempatan, menemukan seseorang disana, dan kembali pergi melanjutkan hidup yang sendiri dan tak bisa ditebak. Jalanan dengan udara dan matahari yang sama, semuanya memberikan tekanan pada hidup. Kemudian manusia akan memilih; mengalah atau melawan.

Yang jelas, setiap manusia memiliki jatah hidup masing-masing yang di atur oleh dirinya sendiri dan konsekuensinya dihadapi sendiri. Tapi terserah, definisi ini hanya pandangan subyektif saya, dan setiap orang bebas mengartikan hidupnya masing-masing.

Tekanan-tekanan yang muncul dalam kehidupan ini kemudian memunculkan arus-arus besar yang menyeret manusia bersamanya atau sebaliknya, manusia yang melawan, dan demi kebutuhan hidup, sebagian orang akan mengalah pada arus. Namun, sebagian lagi akan terus melawan arus dan mempertahankan pemaknaan-nya masing-masing. Logikanya, akan lebih banyak manusia terbawa arus karena keterbatasan tenaga daripada manusia yang terus melawan. Sehingga muncullah apa yang sekarang sedang nge-trend, mainstream dan hipster.

Saya mencoba mencermati apa yang menjadi mainstream di zaman sekarang, apa yang memberi tekanan pada manusia, dan kecenderungan apa yang muncul; melawan atau mengalah.

Mungkin saya akan mengaitkannya sedikit dengan semangat band Punk di era 70-an, The Clash.

The Clash adalah band Punk yang muncul di Inggris pada pertengahan 70-an. Hidup dalam kondisi masyarakat yang mapan, dan inilah yang mereka lawan. Sebagai penikmat lagu-lagu Punk, sedikitnya saya dapat memahami alasan kenapa The Clash anti terhadap kemapanan. Sekali lagi, ini subjektif. Alasannya sederhana, karena kemapanan adalah arus besar yang memaksa manusia untuk berhenti menjadi apa yang mereka impikan sebagai kebebasan.

Memang terdapat kesamaan antara era The Clash dengan Indonesia sekarang, atau yang lebih sering disebut orang-orang sebagai era globalisasi.

Di era 70-an, terutama di Inggris dan Amerika, adalah puncak dari kemajuan teknologi dan ekonomi yang dimulai dari tahun 50-an (pasca Perang Dunia ke 2) sebagai negara yang memenangkan perang.(Jakartabeat.net). Yang menjadi mainstream pada masa itu adalah ekonomi sebagai orientasi dan hidup mewah menggunakan produk-produk mahal, sebagai tolak ukur kemapanan.

The Clash melakukan perlawanan atas hal tersebut. Salah satunya terhadap industri musik yang pada masa itu hanya mengejar keuntungan ekonomi semata (komersial) dan dianggap menyulitkan ekspresi berkesenian individual. Pada album London Calling, The Clash memaksa perusahaan rekamannya untuk menjual album tersebut dengan harga murah.(jakartabeat.net)

The Clash juga mengangkat persoalan-persoalan global dalam lagu-lagunya di album ini mulai dari global warming, era persaingan nuklir hingga berbagai konflik. Dalam lagu “London Calling” itu misalnya, Joe Strummer sang vokalis sekaligus gitaris berseru: “The ice age is coming, the sun is zooming in, engines stop running, and the wheat is growing thin, a nuclear error, but i have no fear, London is drowning - and I live by the river”.(jakartabeat.net)

Lagu lain yang berjudul “Spanish Bomb” diilhami oleh berita meledaknya bom di sebuah provinsi di Spanyol yang hendak memerdekakan diri. Memang, seperti diakui para personel grup ini, mereka memilih nama the Clash sebagai nama grupnya karena kata “clash” menurut mereka adalah kata yang paling sering dijumpai di surat kabar saat itu.(jakartabeat.net)

Dari The Clash, kita beralih ke dalam negeri. Seperti di Inggris tahun 70-an, Indonesia sekarang ini juga dikuasai oleh perusahaan-perusahaan komersil, kebanyakan masyarakatnya berorientasi ekonomi, dan mengkonsumsi teknologi pada tiap perkembangannya. Hanya bedanya, Inggris dan Amerika memproduksi sendiri teknologinya, sedangkan Indonesia, teknologi yang ada merupakan barang impor.

Ya, ekonomi dan teknologi adalah mainstream di Indonesia saat ini. Keduanya, antara ekonomi dan teknologi, saling bahu-membahu untuk saling memajukan diri masing-masing, yang satu mengkonsumsi manusia dengan hasil produksinya, yang satu menyulap konsumerisme menjadi trend. Sebenarnya bukan manusia-lah yang mengkonsumsi teknologi, tapi teknologi-lah yang mengkonsumsi mental manusia. Karena dengan menguasai mental manusia, ekonomi dan teknologi menjadi Tuhan yang setiap sabdanya akan dibeli. Persis seperti yang terjadi saat ini, gadget seperti blackberry dan android sama halnya dengan sabda Tuhan karena setelah kemunculannya banyak manusia yang membelinya demi mengikuti trend.

Sabda Tuhan adalah trend.

Di suatu cafe di Yogyakarta, saya pernah melihat setiap orang yang datang dan berkumpul selama berjam-jam hanya sibuk dengan gadget masing-masing, termasuk perkumpulan saya sendiri. Tanpa menilai ini sebagai sesuatu yang salah, saya menganggap fenomena ini muncul menjadi budaya yang bertentangan pemikiran saya. Saya stress pada saat itu.

Saya menganggap itu sebagai bentuk kemapanan di Indonesia saat ini, sebagai mainstream yang akan saya lawan sendiri atau siapapun yang gelisah karenanya.

Sebagai mainstream, fenomena ini tentunya memberikan tekanan kepada setiap manusia, disadari atau tidak. Kecenderungan yang muncul adalah manusia mengalah terhadap mainstream ini. Itu dapat saya buktikan, paling tidak dari lingkungan saya sendiri, hampir setiap teman-teman saya menggunakan android dan blackberry dan lebih sering berkomunikasi lewat kedua benda tersebut daripada berkomunikasi secara langsung.

Tetapi, sebagai manusia, saya sadar bahwa setiap manusia bebas memilih cara hidup masing-masing.

Apa yang dilawan oleh idelogi Punk sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang saya lawan sekarang. Sebuah kondisi dimana mainstream membuat sebagian orang menjadi stress dan melakukan perlawanan terhadap mainstream tersebut. Perlawanan terhadap kemapanan - dimana manusia menjadi mapan ketika berkomunikasi lewat android dan blackberry ketimbang berkomunikasi secara langsung.

Dengan berpikir seperti itu, apakah saya seorang Punker?? Hahaha, I don't care about it!

Barangkali jika The Clash hidup di zaman sekarang, mereka juga akan melawan hal yang sama dengan apa yang saya lawan. Mainstream adalah sesuatu yang tipical, karena mengikuti perkembangan zaman. Pada tahun 70-an generasi The Clash belum mengenal android atau blackberry sebagai bentuk kemapanan. Saat ini, generasi saya sudah mengenal teknologi tersebut. Teknologi yang menjadi mainstream baru setelah ia dapat merobah perilaku manusia sampai kepada hal yang paling mendasar, yaitu pola dalam berkomunikasi, dan menjadikan manusia mapan didalamnya.

Senin, 25 November 2013

Ludah


dan semuanya telah terlambat. Entah kenapa, tiba-tiba saja langit membeku di hadapanku memantulkan warna awan yang pudar.

Barusaja ada yang berlari melewati mataku yang tidak pernah tahu apa makna silau yang menerpa, diam.

Berlari yang memperkenalkanku pada aku yang lupa siapa aku, tapi tanganku terkepal. Apa sebenarnya waktu?

Dinamit menghantam dinamit, lalu angin akan meniupkan puing-puingnya ke mataku, perih. Aku mendengar suara melengking yang melesat jauh merobek kata-kata menjadi amnesia.

Benarkah?

Cerita dari selatan Jakarta, aku sibuk di goyah Grunge ditengah-tengah malam yang terbakar.

Cita-citaku adalah menjadi gelap yang sendiri. sambil merobek-robek sejumlah kertas yang amnesia lalu kuludahi semuanya.

Mati.

Minggu, 10 November 2013

Mata

Aku mencoba menggerakkan tanganku dalam detik-detik yang gelisah dan membelakangi rak buku,

berjalan mundur membelakangi saat ini, aku sampai pada masa Led Zeppelin di tiap pagi hari.

Ibuku menghembuskan takdir pada mulut seorang wanita yang berbicara tentang mata,

kemudian dia pergi tanpa janji.

melangkahkan kakinya melewati pintu yang lebih mengenal hidup daripada aku sendiri

aku yang sebenarnya sudah gila

terperangkap gila di dalam sebuah mata...

Sabtu, 09 November 2013

Sajak Luka

Aku mulai tidak mengerti tentang waktu seperti gula dan serbuk kopi yang berserakan di dalam adukan gelas berisi air panas. Apakah makna asap?

Lalu tiba-tiba aku sudah di laut dangkal, menatap kacamata hitam. Aku menonton sepakbola sambil memain-mainkan anak-anak badai, kemudian jari-jariku meneteskan air mata.

Oh, Barcelona!! Adakah ia akan menjadi panggung seni? Karena aku butuh selimut untuk lupa yang sementara. Lalu Cinta, aku lupa memilih kata-kata dan aku hanya tahu bagaimana cicak-cicak menebak serangga.

Pagi buta, mataku menyala. Aku berteriak gila di gang buntu sementara tangan kananku menggenggam revolver berpeluru ganda.

Dorr!!

Aku ingin lebih mati daripada kematian.

Lalu, kemana waktu akan membawa kita….

Untuk Sebuah Nama

Waktu berserakan. Hujanlah yang mengacak-acak pasir. Dari kejauhan, seekor ayam mengintai untuk mengaisnya.

Sepi, dalam sepi ruanganku lalu-lalang burung-burung pemakan daging. Menerka.

Aku lupa menutup pintu yang aku sendiri tak mengerti cara membukanya.

Atas nama tubuhku yang robek,

Adakah kau cium bau darahnya??

Selasa, 05 November 2013

Eksistensi adalah Batas



Hari ini aku akan pulang ke Jogja. Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap-siap untuk berangkat dari Depok menuju Stasiun Senen lalu ke Stasiun Lempuyangan, Jogjakarta. Sayangnya, aku tidak merasakan kesegaran mandi pagi karena cuaca Jakarta yang sumuk. Dengan badan yang tidak segar dan mata yang masih mengantuk aku berangkat menuju Senen. Di perjalananpun kondisi tak jauh lebih baik, jalanan yang macet, kopaja yang berdesak-desakan, dan matahari yang terik. Pukul 12 lewat 15 menit aku sampai di daerah Senen dengan jadwal keberangkatan kereta pukul setengah 1 teng. Mengisi kebosanan dalam perjalanan, aku memutuskan untuk berfikir tentang hidup.

…..

Manusia adalah makhluk kesendirian yang dengan kebebasannya melangkah menuju realisasi dari ide atau kehendaknya sendiri. Ahh, begitu sederhananya hidup ini, kesederhanaan yang tidak dapat dikatakan menyenangkan. Karena manusia selalu gelisah.

Seperti sebuah lingkaran besar yang di dalamnya terdapat lingkaran-lingkaran kecil yang harus di hidupi satu per satu kemudian belajar dan belajar. Seperti menyusun puzzle yang setiap potongannya harus di pahami sehingga membentuk sesuatu yang utuh dan memiliki eksistensi. Seperti Yesus yang membiarkan dirinya di salib karena ia telah menyusun ajarannya dalam bentuk yang ideal, seperti Sidharta Gautama yang mengalami moksa, dan seperti Kurt Cobain.

Manusia menciptakan eksistensinya, tetapi dirinya tidak akan hidup di dalam eksistensi tersebut karena eksistensi sebenarnya adalah fase “akhir” dari kehidupan fisik. Bahkan waktupun akan menghancurkan jiwa yang selalu setia terhadap eksistensi. Karena pisau yang tajam akan hancur seiring berjalannya waktu.

Dalam lingkaran besarnya, yaitu Ide, manusia akan menghancurkan tesisnya dengan menggeseknya dengan lingkaran-lingkaran kecil yang berserakan di dalam lingkaran besar itu. Pemahaman baru yang muncul dari proses saling menghancurkan itu kemudian akan diletakkan pada posisinya yang pas dalam puzzle melingkar kehidupan seorang manusia. Lalu kembali bergulat dengan lingkaran kecil lainnya.

Saling menghancurkan barangkali merupakan cara hidup bagi manusia yang idealis. Menghancurkan untuk kemudian menciptakan bentuk ideal dan diletakkan pada posisi yang pas. Ketika semua potongan puzzle sudah tersusun, maka tidak ada lagi yang harus digerakkan. Manusia tidak dapat lagi memainkan puzzle tersebut, karena eksistensi adalah batas.

Begitu juga dengan Kurt Cobain ketika ia memutuskan untuk bunuh diri, ia tidak dapat melakukan apa-apa lagi karena eksistensinya. Dan kenyataan bahwa gaya hidupnya menjadi panutan banyak orang, adalah akhir dari kehidupan fisiknya. Ditambah lagi kekecewaannya atas kapitalisme yang memanfaatkan style-nya untuk dijual, suatu salah kaprah terjadi dari eksistensi Kurt. Tetapi musiknya sudah menjadi ideology bagi anak muda.

Pada salah satu potongan puzzle yang dihidupi oleh Kurt, pilihannya untuk menjadi “gelandangan” daripada bekerja setelah ia tamat dari SMA membuatnya untuk beberapa lama tinggal di kolong jembatan. Namun hal itu tidak menghalanginya untuk menjadi dirinya yang sebenarnya dituju.
Kurt Cobain sudah berhasil menyusun semua potongan puzzle kehidupannya.

Bagaimana dengan tanggung-jawab?

Pemahaman soal tanggung jawab, juga berbeda ketika seorang manusia berpikir soal bagaimana cara merealisasikan Ide-nya. Kesadaran akan eksistensi membuat seorang manusia melihat lingkaran besar jalan hidupnya. Bahwa manusia tidak hidup dalam satu potongan puzzle saja. Tidak ada pertanggungjawaban atas perjalanan dari pencarian letak potongan puzzle yang tepat kecuali pelajaran dari tiap-tiap potongan puzzle lalu meletakkannya.

Kesadaran seperti ini muncul apabila manusia sudah mengalahkan rasa takut akan suatu kehancuran.

Lalu apa yang harus dipertanggungjawabkan? Jawabannya adalah Ide kehidupan personal yang kita bentuk dan akan kita realisasikan. Yang harus dipertanggungjawabkan adalah kesadaran akan sebuah lingkaran besar eksistensi. Karena alasan itulah kenapa manusia selalu sendiri. Dengan catatan, manusia jangan sampai terlepas dari hokum social, seperti pergaulan sehari-hari, walaupun sah-sah saja jika kehendak manusia dibenurkan dengan hokum-hukum formal. Tiba-tiba tangan seseorang menepuk pundakku beberapa kali. Ternyata itu adalah tangan si kondektur yang menagih ongkos sekaligus mengakhiri apa yang aku pikirkan barusan.

Jalanan masih saja macet dan bis masih saja dipenuhi oleh manusia-manusia yang berdesakan. Kemudian aku terkejut melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 12 lewat 25 menit sementara aku masih di dalam bis Kopaja. Tepat 5 menit kemudian aku sampai di stasiun. Berlari menuju kereta, namun apa bisa dikata, kereta telah pergi meninggalkanku yang berkeringat lelah di peron.

Ini adalah bagian dari kisah hidupku dalam satu potongan puzzle dan aku tak perlu mempertanggungjawabkan kepergian kereta tersebut karena bagaimanapun kereta itu akan terus berjalan tanpa perlu pertangungjawabanku. Ini hanya sepotong kecil kisah, masih banyak potongan lain yang akan kujalani.

Kemudian aku menghubungi salah satu travel menuju Jogja, berangkat pukul 8 malam dan 12 jam kemudian aku akhirnya sampai juga di Jogja. Aku masih terlalu jauh dari eksistensi dan aku adalah satu titik yang bergerak didalam sebuah lingkaran besar. Namun bisa kupastikan, aku berada dijalur yang benar.

"Robah keinginan sendiri, bukan merombak dunia. Karena tidak ada satu pun yang berada dibawah kekuasaan kita sepenuhnya kecuali pikiran kita. ~Rene D".

Sabtu, 12 Oktober 2013

Puisi Bebas

Kebebasan itu menyakitkan,

Karena dunia ini penuh dengan ketakutan berwujud aturan, adat, dan norma-norma.

Dunia ini fana,

tetapi manusia masih juga memanipulasinya dengan menciptakan keseimbangan palsu,

menumbuhkan mitos-mitos, kemudian berbuah ketakutan yang memakai topeng rasionalitas.

Terlalu takutkah manusia terhadap rasa lapar dan kesendirian?

Sehingga menyatu dengan arus dunia dengan wujud rasionalitas ciptaan sekumpulan manusia?

Atau terlalu takutkah manusia akan kebebasannya sendiri?

Padahal kita punya hati nurani?

Manusia hidup dalam kesendirian, dengan kebebasannya.

Tak ada alasan untuk tidak terluka.