Selasa, 18 Oktober 2016

To Blur and Oasis

I hear something in my ears,

Part of Oasis, part of Blur. .

I see something in my mind,

Liam and Albarn are just looks like the same each other

Am I right?

They’re nineties, they’re famous, they’re a star, they’re a singer, they’re on the band

They were young, and they’re British.

I can’t see no differencies

“No one’s gonna tell her what I am about?”

Who is ‘her’?

“She’s a twentieth  century girl”

Now I’m sitting in a chair when the people called the years 2016

“This is the next century,”

But the songs “are gonna live forever”.

Now take a look to myself,

I’m afraid to see, to feel what I feel,

To do what I want to.


“It’s nothing special”.

Easy Baby Easy

What do you think about the situation?

I lost my game, I’m feeling sad as I’m proud to be loving you

What do I know? I don’t deserve. There’s nobody want me to know

I have to do some little act,

Talking, sleeping, eating, and laughing for nothing

Good for you and the people

Something must be done, but, how? When it’s over, I think I’m gonna be fine

Except if I hear some people come and ask me about what I meant was.

It’s good to know. But it’s bad to feel.

Sun is shining and sun is sinking

So, what are we waiting for? Let the sun up and down. Time is never stop

I promise you. We’re here and we’ll gone. I light the cigarette and then something is burning.

Do you know what I mean?

The people just don’t understand about love, I guess.

John Lennon was right, the people wasn’t

Sitting in a chair and write something about feeling

I’m a rock and roll, Baby. The people isn’t. I’m a blue and you’re the light

It’s cool to be mean. Go out for the challenge,

I’m feeling guilty but this is not the end.


If I dead, so that’s the truly end.

Rabu, 12 Oktober 2016

It,s Just a Hard Time, I have to go and I Will...

This is my blog.

So, FUCK!

Love is always fuck, shit, make me sad..

Huuu, "We don't deserve to single one thing". Who said that? Jack White.

He's right. Absolutely.

Im gonna run away. Leaving. I'm doing it for the second time. Remember, for the second time.

Never like it.

Senin, 10 Oktober 2016

Histrionic

Entah kenapa, berat menulis puisi menggunakan bahasa Indonesia.

Setiap kata yang kutulis, terasa berlebih-lebihan, manja, dan menjijikkan.

Kenapa?

Jawabannya adalah: karena aku jijik melihat puisiku sendiri.

Lihatlah, hampir di setiap puisi yang pernah kutulis, aku melarikan diri dari perasaan yang sebenarnya.

Menutupi hal yang sebenarnya.

Aku jatuh cinta, dan aku tidak berani mengatakan apa-apa. Sebaliknya, aku menciptakan diksi-diksi untuk mengatakan bahwa aku ‘baik-baik’ saja.

Karena, kenyataan di dalamnya sangat menakutkan.

Menakutkan sehingga membuatku merasa ingin muntah, tetapi kuanggap hal itu sebagai menjijikkan. 

Bukan menakutkan.

Karena, jika kutuliskan apa yang sebenarnya, menakutkan memikirkan bagaimana aku menghadapi orang-orang di esok hari.

Itulah kenyataannya. Aku ingin menyelami jiwa-jiwa para penulis hebat di dunia, lalu mencari tahu apakah mereka juga mengalami apa yang kualami, melakukan apa yang kulakukan, dan bagaimana rasanya melewati masa-masa seperti itu.

Menghadapi orang-orang di esok hari. Itulah yang sangat menakutkan.

Tapi, aku sedang jatuh cinta, mencari sesuatu untuk memberi makan pikiranku, dan merahasiakan sesuatu.

Histrionic. Ini adalah tentang diriku, bukan kau, kalian, atau siapapun. Aku butuh diriku untuk merasa baik-baik saja.

Untuk tenang,


Dan kuharap, kau juga merasa baik-baik saja....

Selasa, 04 Oktober 2016

Tuturan Kata: Walpaper Fiksi

Tuturan Kata: Walpaper Fiksi: “Yang terjadi adalah diriku tidak mampu menghentikan kehidupan yang bekerja di dalam otakku untuk berpikir. Aku merasa tidak mampu beri...

Walpaper Fiksi



“Yang terjadi adalah diriku tidak mampu menghentikan kehidupan yang bekerja di dalam otakku untuk berpikir. Aku merasa tidak mampu beristirahat. Beristirahat membuatku merasa bersalah karena mengabaikan pikiranku yang terus bekerja dan membuat apa yang mereka kerjakan menjadi sia-sia. Aku merasa berdosa jika membiarkan itu terjadi – beristirahat sementara itu pikiranku belum ingin beristirahat. Kadang aku berpikir, bahwa pikiran adalah Alam Semesta. Mereka tidak pernah berhenti bekerja. Bahkan, di saat tidur pun pikiran tetap bekerja. Mereka tidak pernah berhenti. Kecuali, mungkin, jika kita sudah mati.”

Dari dalam gerbong kereta, Zul, mengarahkan pandangannya ke luar jendela. Beberapa tahun setelah perjalanan itu, dia mengatakan padaku bahwa dirinya tidak dapat mengingat dengan baik apa yang ditatapnya saat itu, karena bukan pemandangan di luar yang sebenarnya ia lihat, melainkan masalalu.
Masalalu: cinta pertama yang dia rasakan pada saat masih duduk di bangku kelas 1 SMP. Masalalu: masa orientasi siswa di bangku SMA. Masalalu: pramuka. Masalalu: satu bulan mengalami gangguan tidur.
Setelah perasaannya tentang masalalu itu menguap, yang tersisa kemudian hanyalah ingatan. Menurutnya, ingatan tanpa perasaan sama seperti sebotol Johnson’s baby cologne yang dibiarkan terbuka selama berminggu-minggu sehingga keharuman di dalamnya menguap dan kehilangan “kekuatannya”. Kita masih bisa melihatnya, menuangkannya, bahkan mengoleskannya di seluruh bagian dari tubuh kita. Tetapi, kita tidak bisa lagi menikmati baunya, esensi darinya.
Kereta terus melaju meninggalkan apa saja yang dilewatinya.
Setelah sepuluh jam menempuh perjalanan, kereta yang ditumpangi Zul akhirnya sampai di stasiun tujuan. Sebuah stasiun dengan arsitektur kolonial. Hanya itu kesan yang muncul dari Zul mengenai stasiun itu. Beberapa tahun kemudian, ia bahkan tidak berkenan untuk mengingat langkah-langkah pertamanya di stasiun tersebut yang juga merupakan langkah-langkah pertamanya di kota tempat stasiun itu berada. Dia tidak lupa, dia hanya tidak ingin mengingatnya.
Hal yang berkenan untuk diingatnya tentang saat itu hanyalah langkah-langkah pertamanya setelah keluar dari bangunan stasiun di mana saudaranya berdiri menunggu hanya beberapa meter dari pintu keluar-masuk stasiun. Kemudian, sekilas pemandangan Malioboro, lukisan mural Chairil Anwar, ayam geprek di mana mereka berhenti untuk makan malam, dan hanya itu. Bahkan dia tidak mengingat bagaimana dia dan saudaranya sampai di rumah kost yang mulai saat itu menjadi tempat tinggalnya hingga tiga bulan ke depan.
Zul menganggap masa itu sebagai masa di mana imajinasi berhenti, hasrat yang sesekali datang adalah palsu dan lemah, dan menimbulkan kesan ‘membosankan’ di dalam dirinya setiap kali ia mencoba untuk mengingat.
Aku mengetahui hal itu – yang menurutku telah membawanya ke kota di mana kami sekarang berkuliah – pada saat Zul menceritakannya padaku di suatu siang di lantai dua perpustakaan universitas.
“Aku tidak membaca sepatah kata-pun dari fiksi ini dalam setengah jam terakhir.” Itulah kata-kata pertama yang keluar dari mulut Zul setelah ia bercerita tentang masalalunya. Ia melanjutkan, “Aku juga tidak tahu bagaimana ingatan itu bisa muncul.”
Aku tidak sering menoleh ke arah Zul meskipun sudah dua jam kami berada di bilik yang bersebelahan. Tetapi, aku bisa memastikan bahwa, selama “setengah jam terakhir”, Zul sama sekali tidak menggerakkan kepalanya, dan tidak mengubah arah pandangnya dari fiksi di hadapannya.
“Apa ada hal yang sedang mengganggumu?” aku memancing Zul untuk mulai bercerita karena aku juga sudah tidak lagi dapat berkonsentrasi pada bacaanku.
“Apa kau sering membaca?” Tanya Zul.
“Ya.” Ketika aku ingin menambahkan sesuatu, Zul mendahului,
“Apakah kau suka menulis?”
“Ya.” Kali ini, aku menahan diri dan menunggu apakah Zul akan mengatakan sesuatu. Kemudian setelah diam selama beberapa saat, akhirnya aku yakin bahwa aku bisa memulai pembicaraan.
“Apakah kau juga menyukainya? Membaca dan menulis?”
“Ya.” Zul menjawab sembari memberi anggukan ke arahku. Lalu menegakkan duduknya dengan gerakan cepat, mengarahkan badannya ke arahku, kemudian,
“Aku sudah duduk di sini dan mulai membaca sejak dua jam yang lalu. Seperti biasa, aku mambaca dengan semangat. Kemudian, di akhir sebuah bab, aku seperti menemukan sesuatu yang berharga. Sesuatu yang memberikanku sebuah kebenaran, dan aku tidak ingin membantahnya. Pendeknya, aku setuju dengan kebenaran tersebut karena aku merasa ada kebaikan di dalamnya. Bahkan, aku mengagumi apa yang baru saja kutemukan.
“Seperti biasa, hal itu memicu semangat untuk menulis meledak dalam diriku. Namun, ada sebuah gangguan.” Zul berhenti beberapa saat, semangat di wajahnya memudar. Sepertinya gangguan tersebut benar-benar membuatnya tidak nyaman.
“Aku mensyukuri ledakan semangat yang terjadi, tetapi gangguan itu benar-benar membuatku takut. Kau tahu apa yang sedang aku baca beberapa hari ini?”
“Alice Walker?” tanyaku.
“Ya. Nama itulah yang sekarang membuatku takut. Takut jika, kepribadianku hilang dan tulisanku hanya menjadi “milik” Alice Walker. Apa yang harus kulakukan?”
“Aku tidak tahu apa yang sebaiknya kau lakukan terkait dengan rasa takut mu itu. Tetapi, aku cukup yakin untuk mengatakan, jangan berhenti membaca. Dan, setelah kau menyelesaikannya, jangan takut untuk membacanya kembali. Meskipun aku lebih suka membaca buku lain setiap kali aku menyelesaikan satu buku.”
“Apakah itu bisa dijadikan kebenaran?”
“Jika apa yang ditulis oleh Alice Walker bisa kau anggap sebagai kebenaran, kenapa tidak dengan ucapanku? Ada banyak kebenaran di dunia ini. Banyak sekali. Jika satu kebenaran datang, maka kebenaran lain akan datang, kemudian yang lainnya juga akan datang, begitu seterusnya. Hahaha! Kau dipenjarai oleh kebenaranmu sendiri. Aku juga sudah membaca buku yang kau baca. Apakah kau sepakat jika buku Alice Walker yang sedang kau baca berbicara tentang perjuangan melawan penindasan? Aku harap kau sepakat. Dan harus sepakat.”
“Tetapi, mengapa aku justru merasa ditindas? Oleh pikiran bahwa akan ada orang-orang yang berpendapat bahwa tulisanku seperti Alice Walker? Kemudian, aku menganggap bahwa rasa takut akibat gangguan yang menindas tersebut sebagai pengalaman estetis, lalu aku merasa bahwa pengalaman tersebut penting untuk kutuliskan, dan lalu,” Zul tiba-tiba berhenti berbicara. Kemudian memulainya lagi beberapa detik kemudian,
“Apakah orang-orang akan membenciku setelah aku mengungkapkan pengalaman estetis tersebut ke dalam tulisan? “ dia berpikir sejenak, lalu, “Atticus Finch!” Zul mengucapkan kata ‘Atticus Finch’ dengan setengah berteriak dan itu cukup untuk membuat kursinya bergeser dan mengeluarkan suara yang lumayan keras. Aku melihat sekitar, beberapa orang melihat ke arah kami, beberapa orang tidak. Zul menyadari suara yang diakibatkan oleh tindakannya, tersenyum, dan melanjutkan kata-katanya,
“Aku membayangkan diriku akan seperti Atticus Finch ketika dirinya diludahi di pinggir jalan oleh seseorang yang membencinya setelah melakukan sesuatu yang menurutnya benar.”
“Kau bahkan belum menghadapi situasi seperti itu. Kau baru menghadapi bayangan tentang situasi itu.”
“Apakah itu berarti hal yang kita bicarakan ini hanya omong kosong?”
“Jika kau tidak pernah belajar, maka ya, apa yang kita bicarakan hanya omong kosong. Kenapa kau bisa berpikir seperti itu? Kau mau meremehkan dirimu sendiri?”
“Aku hanya sedang terbakar, kurasa.”
“Bukan hanya kau yang sedang terbakar. Aku pun juga tengah mengalaminya. Mungkin juga beberapa orang di dunia ini sedang mengalaminya. Akan kuberitahu kau sebuah kebenaran. Dengarkan baik-baik. Ini adalah titik penting. Aku percaya dengan apa yang aku bicarakan. Begitu juga dengan apa yang kau bicarakan. Sementara itu, jika kau tidak bisa percaya dengan dirimu sendiri, jika kau meremehkan dirimu sendiri, kau akan terhenti di titik ini. Itulah kenapa aku mengatakan bahwa sekarang ini merupakan titik penting. Untuk dapat melampauinya, kau bisa saja kedinginan, berkali-kali mengalami kegagalan, kehabisan akal, dan tidak mendapatkan apa yang kau inginkan pada akhirnya. Lalu kau akan pulang ke rumah, menceritakan kegagalanmu kepada seorang teman, sebelum kemudian giliran temanmu yang melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang kalian inginkan.
“Jika pun pada akhirnya tidak seorang pun dari kalian yang berhasil, itu tidak masalah. Sebab, kalian sudah melakukan segala sesuatu yang bisa kalian pikirkan. Hidup ini hanya soal menunggu giliran. Itulah kebenarannya. Lalu, kenapa Alice Walker begitu mengganggumu?”
“Aku rasa kau benar, aku dipenjara oleh kebenaran-kebenaran. Sekarang aku berpikir, tanpa rasa takut, hanya berpikir. Begini, beberapa waktu lalu kau mengatakan bahwa aku dipenjarai oleh kebenaran. Saat ini, setelah penjelasanmu, aku merasa jauh lebih baik. Aku tidak lagi bermasalah dengan tokoh-tokoh, kemudian, yang terjadi adalah diriku tidak mampu menghentikan kehidupan yang bekerja di dalam otakku untuk berpikir. Aku merasa tidak mampu beristirahat. Beristirahat membuatku merasa bersalah karena mengabaikan pikiranku yang terus bekerja dan membuat apa yang mereka kerjakan menjadi sia-sia. Aku merasa berdosa jika membiarkan itu terjadi – beristirahat sementara itu pikiranku belum ingin beristirahat. Kadang aku berpikir, bahwa pikiran seperti hal nya Alam Semesta. Mereka tidak pernah berhenti bekerja. Bahkan, di saat tidur pun pikiran tetap bekerja. Mereka tidak pernah berhenti. Kecuali, mungkin, jika kita sudah mati.”
“Kau akan merasa lelah. Dan di saat seperti itu, kau bisa beristirahat. Aku rasa aku cukup lelah setelah pembicaraan kita kali ini. Dan aku akan pulang ke rumah lalu tidur dan membiarkan pikiranku meneruskan pekerjaannya.” Aku benar-benar lelah. Setelah membereskan perlengkapanku aku segera bergerak meninggalkan Zul. Baru beberapa langkah aku berjalan, Zul memanggil,
“Hey, kau melupakan handphone-mu.”
“Oh, my God! Terima kasih banyak, Zul.” Zul menyerahkan handphone-ku. Aku melihat layarnya menyala dan melihat Zul.
“Lelaki ini, dia kekasihmu?” Yang dimaksudkannya adalah seorang lelaki di walpaper handphone-ku. Lalu, kumasukkan handphone-ku ke dalam kantong celana, dan pergi tanpa menjawab pertanyaannya.

Rabu, 28 September 2016

Bisakah Kita Menerima Kenyataan Ini?



Di lantai dua perpustakaan universitas, aku sedang mengerjakan sebuah karangan pendek tentang “perempuan” yang tidak lain adalah tugas untuk mata kuliah Gender dan Modernitas. Di sebelahku, duduk seseorang teman, aku memanggilnya Zul, menutup buku yang sedang dibacanya, mengalihkan pandangan pada tugas yang hampir selesai kukerjakan.
“Apa yang kau kerjakan?” tanya Zul.
“Hanya karangan pendek untuk tugas. Tentang “perempuan”.” Zul tidak mengatakan apa-apa lagi. Tetapi, aku tahu, dia sedang ingin membicarakan sesuatu. Dan aku tidak salah. Ketika aku menutup buku tugasku, Zul menangkap isyarat itu, dan memulai pembicaraan:
“Pernah aku membaca sebuah novel yang ditulis oleh seseorang laki-laki berdarah Minang. Sebuah novel fiksi-sejarah. Novel ini, menyinggung persoalan matrilinealisme dalam tradisi Minang. Dituliskan bahwa, pada awalnya suku Minang merupakan suku yang patrilineal. Kerajaan Pagaruyung, kerajaan yang berkuasa di daerah Minangkabau pada masa itu, mendapat ancaman dari kerajaan yang memiliki keahlian dalam berperang, Majapahit. Pagaruyung sendiri, merupakan kerajaan besar yang sangat ahli dalam melakukan negosiasi dan diplomasi. Namun, lemah dalam berperang.
“Informasi mengenai ancaman dari Majapahit tersebut sampai di Pagaruyung beberapa waktu sebelum pasukan Majapahit berlabuh di wilayah Minangkabau. Tidak ada waktu bagi kerajaan Pagaruyung untuk membuat strategi berperang melawan Majapahit. Selain itu, toh, kerajaan ini memang bukan kerajaan yang identik dengan peperangan. Berarti, hanya ada satu jalan, yaitu mengadakan musyawarah, mengatur langkah diplomatif, dan mempersiapkan “sesuatu” untuk dinegosiasikan dengan pihak Majapahit.
“Itulah yang dilakukan oleh para petinggi kerajaan kemudian. Pihak kerajaan Pagaruyung sudah sadar dari awal, bahwa mereka hanya punya sedikit waktu untuk mempersiapkan rencana perang. Tetapi, tidak pernah ada “sedikit waktu” untuk urusan diplomasi. Setelah semuanya selesai dipikirkan, baik para petinggi, maupun rakyat biasa, kembali beraktivitas seperti biasanya seolah-olah tidak pernah ada sebuah kerajaan yang suka berperang yang telah bersiap-siap untuk bertempur dengan mereka dalam waktu dekat.”
Zul berhenti sejenak, menatap mataku dan tersenyum. Aku menangkap kesan “bangga” dari caranya tersenyum. Aku merasa “harga diri”-nya mendesak harga diriku. Dan aku juga merasa, bahwa, ada kebenaran dari setiap kata-katanya. Kemudian, dia melanjutkan,
“Akhirnya, datanglah hari di mana persiapan pendek Kerajaan Pagaruyung harus diuji oleh musuh besarnya yang datang dari Timur. Majapahit berlabuh di Sumatra Barat, dengan kekuatan perangnya yang terkenal luar biasa. Namun, tidak pernah terjadi perang di Minangkabau. Yang ada hanyalah penyambutan meriah untuk kedatangan Majapahit di wilayah kekuasaan kerajaan Pagaruyung. Sesampainya Majapahit di istana kerajaan Pagaruyung, rencana perang yang telah mereka persiapkan dijungkir-balikkan oleh langkah diplomasi yang direncanakan dalam waktu singkat. Ini mungkin terdengar hebat dan membuat orang-orang Minang bangga dengan masalalu dan tradisi mereka. Tetapi, bagiku, ini sangat memalukan. Bukan hanya memalukan, tetapi juga melukai perasaanku sebagai seorang anak yang lahir dari rahim seorang perempuan. Tahu kau apa yang mereka negosiasikan pada waktu itu?
“Kenyataan bahwa mereka, Kerajaan Pagaruyung, sudah pasti kalah jika berperang, membuat mereka , aku tidak tahu, apakah ini benar atau salah, menjadikan Puteri kerajaan sebagai hadiah kepada Raja Majapahit. Tindakan seperti inilah yang mereka musyawarahkan beberapa waktu lalu. Namun, benar saja, alih-alih memerangi kerajaan Pagaruyung, Majapahit justru sepakat dengan penawaran ini dan menarik seluruh pasukannya kembali ke Timur beserta seorang Puteri yang telah dinikahkan dengan sang raja."
“Jadi, kau merasa terluka karena kerajaan Pagaruyung merendahkan derajat seorang perempuan dengan menjadikannya hadiah kepada raja Majapahit?” tetapi, ternyata Zul belum selesai dengan ceritanya.
“Bukan hanya itu yang melukaiku. Kau tahu, bahwa pada masa lalu yang sangat jauh di Afrika, mereka percaya bahwa Dewa mereka adalah seorang perempuan? The Great Mother menurut istilah Alice Walker? Mereka menghormati perempuan sebagai ras dewa. Dan aku setuju dengan konsep mereka tentang ke-dewa-an perempuan tersebut, karena ini merupakan tanda penghormatan terhadap Ibu. Tetapi, jauh dari Afrika, perempuan menjadi simbol dari alat negosiasi. Entah dari mana datangnya ide seperti itu, tetapi, satu hal yang pasti adalah pada waktu itu kerajaan Pagaruyung dikuasai oleh kaum laki-laki. Dan, dalam situasi genting seperti pada waktu itu, sudah tentu kaum laki-laki yang menentukan langkah. Lalu, mereka menjadikan seorang Puteri sebagai hadiah agar Majapahit mau berdamai. Bukan hanya selesai di titik itu, namun terjadi perubahan fundamental dalam tradisi Minangkabau. Demi kepentingan kekuasaan, dan aku akui, secara politik, trik ini memang sangat cerdas, kerajaan Pagaruyung merubah tradisi mereka yang tadinya patrilineal menjadi matrilineal. Jadi, garis keturunan tidak lagi diturunkan dari sang ayah, melainkan ibu. Bisakah kau membayangkan apa yang terjadi kemudian?
“Sekembalinya ke wilayah kekuasaannya, Majapahit memiliki permaisuri baru, putri kandung dari Raja kerajaan Pagaruyung. Kemudian, dari pernikahan antara Raja Majapahit dengan Puteri Raja Pagaruyung, lahir seorang anak laki-laki yang kelak menjadi raja Majapahit menggantikan ayahnya. Namun, jauh sebelum kelahiran anak laki-laki yang kelak menjadi raja ini, para penguasa kerajaan Pagaruyung telah mengganti tradisi patrilineal mereka menjadi matrilineal. Jika perubahan tradisi tersebut tidak pernah terjadi, maka anak tersebut bukanlah orang Minang menurut adat yang berlaku. Karena, status kesukuan mereka masih diturunkan dari garis bapak. Tetapi, tradisi telah dirubah. Jadi hal ini sama saja dengan, menurut perspektif tradisi Minangkabau, anak laki-laki tersebut adalah orang Minang yang menjadi raja di Majapahit.”
Lagi, Zul mengalihkan pandangannya cukup lama padaku dan tersenyum. Tetapi, tidak dengan “kebanggaan”, tetapi kali ini jenaka, menggoda, sekaligus mempertahankan kesan kebenaran pada ceritanya.
“Kau tersenyum. Lalu apa yang melukaimu?” tanyaku.
“Sebagai perempuan, apakah kau tidak bermasalah ketika kau mendapatkan status sebagai, aku tidak terlalu suka menggunakan istilah ini, tetapi untuk sementara kita gunakan saja, penguasa, tetapi hanya sebagai hasil dari manipulasi yang dibuat oleh dan untuk kepentingan kaum laki-laki yang takut menghadapi perang?”
“Tidak, aku tidak bermasalah. Bagiku itu cukup adil. Mereka, para petinggi kerajaan Pagaruyung itu, mungkin memang takut untuk berperang melawan Majapahit, tetapi mereka tidak lari. Apakah tradisi tersebut masih bertahan?”
“Ya, tentu saja. Kami punya suku, dan suku itu masih diturunkan oleh Ibu kami.” Zul untuk kesekian kalinya tersenyum, tetapi kali ini dengan sedikit ekspresi keheranan. Hening. Lalu, untuk pertama kali, aku memulai,
“Kau tahu, bagaimana Yesus dilahirkan? Ia dilahirkan dari seorang ibu yang tidak diketahui siapa orang yang menghamilinya? Percayakah kau bahwa seseorang bisa hamil seperti halnya yang terjadi pada Siti Mariam? Tetapi, bukan itu masalahnya. Terlepas dari kecurigaanku atas apa yang menimpa Mariam, anak yang dilahirkan tersebut, Yesus menurut orang Kristen, Isa menurut orang Islam, mewariskan sesuatu yang masih bertahan hingga sekarang. Juga sebagai sebuah tradisi. Lalu apa salahnya jika tradisi matrilineal lahir dari negosiasi yang muncul dari dalam kepala kaum laki-laki yang penuh dengan kepentingan kekuasaan?”
Zul sekarang menatapku dengan serius, lalu dia bertanya,
“Dari mana kau mendapat kecurigaan itu?” pertanyaan ini membuatku bingung untuk beberapa saat, lalu,
“Maksudmu, kecurigaanku atas apa yang menimpa Mariam?”
“Ya, tentu saja.” Jawabnya singkat.
“Alice Walker.” Jawabku lebih singkat.